Imam al-Ghazali menjelaskan beberapa adab ziarah kubur dalam salah satu karyanya, Ikhya’ Ulumiddin.
Perbedaan ulama tentang hukum ziarah kubur serta serangkaian ritual yang terdapat di dalamnya akan selalu bergulir. Walaupun ikhtilaf (perbedaan pendapat) itu telah ada bahkan sudah tuntas sebelum kita lahir. Perbedaan itu pun akan terus mengemuka seiring adanya proses pencarian dan penyampaian ilmu pengetahuan.
Perlu kita fahami, sumber hukum yang dijadikan landasan dalam berpijak tetaplah sama, akan tetapi karena perbedaan dalam memahami teks yang dijadikan sumber–dan mungkin saja–perbedaan proses pengambilan hukum, kesimpulan hukum yang dihasilkan pun turut berbeda.
Masalah ziarah kubur ini ternyata tidak luput dari pandangan Imam Abu Hamid al-Ghazali. Namun, beliau tidak larut membahas perbedaan hukumnya semata, melainkan juga mengungkap adab ziarah kubur yang perlu diperhatikan.
Menurut al-Ghazali, ziarah kubur kaum muslimin memiliki faidah, salah satunya sebagai pembelajaran bagi masa depan manusia, juga sebagai pengingat bahwa semua manusia akan kembali kepada-Nya.
Berikut adab ziarah kubur yang perlu diperhatikan para penziarah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin:
- Dianjurkan berdiri atau duduk dengan membelakangi kiblat
Hal ini dilakukan supaya antara mayit maupun orang yang berziarah dapat saling berhadapan. Jika jenazah yang dikunjungi menghadap arah kiblat, maka yang berziarah perlu membelakangi kiblat agar dapat berhadap-hadapan. Pendapat ini tentu dapat diterima, karena sangat tidak sopan apabila seorang tamu tidak berkenan menatap wajah tuan rumah.
- Mengucapkan salam sebagai doa keselamatan untuk penghuni makam
Imam al-Ghazali mengutip penuturan Imam Nafi’ bahwa perilaku ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Ibnu Umar ketika menziarahi makam ayahnya. Ia mengucapkan salam untuk Rasulullah, Khalifah Abu Bakar, dan ayahnya: Umar bin Khatab. Selain itu, dikutip pula kaul Abi Umamah bahwa Anas bin Malik juga melakukan hal demikian ketika menziarahi makam Nabi Muhammad SAW.
Diceritakan oleh Ibnu Abi Malikah, Rasulullah SAW bersabda:
زُوْرُوا مَوْتَاكُمْ وَسَلِّمُوا عَلَيْهِمْ فَإِنَّ لَكُمْ فِيْهِمْ عِبْرَةٌ
“Ziarahilah mayit-mayit kalian dan ucapkanlah salam atas mereka. Karena mereka adalah ibrah (pelajaran) bagi kalian semua.”
- Tidak perlu menyentuh, mengusap, dan mencium makam maupun batu nisan orang yang diziarahi.
Alasannya, karena hal itu menyerupai perilaku orang-orang Nasrani ketika mengunjungi makam kelompok mereka. Memang melakukan hal tersebut tidak lantas menjadikan pelakunya sebagai orang kafir, akan tetapi patut diperhatikan untuk berhati-hati.
- Mendoakan mayit yang diziarahi secara khusus, dan kaum muslimin secara umum.
Untuk mendukung hal ini, Imam al-Ghazali mengutip hadis Nabi yang menjelaskan bahwa orang yang telah meninggal itu layaknya orang tenggelam yang menanti pertolongan dari orang yang hidup melalui doa-doanya.
Baca juga: Kalau Orang Tua Sudah Meninggal, Amalkan Ini Pada Hari Jum’at
Diceritakan juga kisah tentang Basyar bin Ismail an-Najrani yang pernah memimpikan Sayyidah Rabi’ah al-Adawiyyah. Dalam mimpi itu, Sayyidah Rabi’ah menuturkan, doa orang mukmin yang masih hidup untuk orang yang telah meninggal itu di akhirat diberikan layaknya hidangan dalam baki bercahaya yang ditutup dengan kain sutra.
- Membacakan ayat Al-Qur’an di dekat makam orang yang diziarahi.
Imam Ahmad bin Hanbal memang pernah menyatakan, perilaku tersebut merupakan perbuatan bid’ah, konteksnya saat itu beliau melihat orang yang membaca ayat Al-Qur’an di pekuburan. Akan tetapi setelah mendengar penjelasan Ibnu Qudamah, yang mengutip wasiat Ibnu Umar agar muslim membaca ayat Al-Qur’an saat ziarah kubur, Imam Ahmad bin Hanbal lantas menarik kembali fatwa bid’ah-nya.
- Memuji mayit, tidak mengatakan sesuatu selain kebaikan mayit.
Memuji mayit dan menceritakan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan oleh mayit merupakan bagian dari kesaksian orang yang masih hidup kepada orang yang telah meninggal. Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan bahwa Allah menerima kesaksian dari dari orang yang masih hidup kepada orang yang telah meninggal.
Baca juga: Tidak Bisa Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan Karena Corona, Ini Amalan yang Bisa Dilakukan di Rumah
Di antaranya adalah kisah dari Anas bin Malik, ketika dua kali jenazah melewati rombongan Rasulullah, lantas orang-orang memberikan pujian untuk orang pertama, dan cacian untuk orang kedua. Setelah itu Rasulullah menimpali “wajabat”. Ketika Umar menanyakan hal tersebut, Rasulullah Saw. bersabda:
إِنَّ هَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا وَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةَ، وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارَ. وَأَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللهِ فِي الأَرْضِ.
“Orang ini engkau pujikan padanya kebaikan, maka ia mendapatkan surga. Dan orang ini kalian pujikan padanya keburukan, maka ia mendapatkan neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di bumi.” (H.R. Bukhari & Muslim)
- Berziarah pada hari Jumat.
Penjelasan ini didasarkan pada pendapat para ulama: ketika hari Jumat tiba, arwah yang telah meninggal bertemu dan berkumpul bersama kelompoknya sembari menikmati hidangan doa yang diberikan oleh keluarga mayit. Sang mayit pun mengetahui apabila ada orang yang menziarahi makamnya berkat keutamaan hari Jumat yang dijanjikan oleh Allah Swt.
Itu lah serangkaian adab ziarah kubur yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali. Semoga bisa kita amalkan. (AN)
Wallahu a’lam bish shawab.