Satu demi satu teka-teki kematian Samuel Paty kian terkuak. Guru geografi dan sejarah yang dipenggal kepalanya di Prancis (16/10/2020) karena dugaan penghinaan Islam, ternyata tragedinya dimulai dari disinformasi. Samuel Paty terbunuh karena kebohongan muridnya, gadis cilik yang ingin menghindari kemarahan ayahnya.
Kasus terbunuhnya Samuel Paty ini menempatkan umat Islam Prancis dalam kondisi tidak menguntungkan. Atas reaksi dugaan penghinaan tersebut, dua minggu setelahnya, terjadi serangan di basilika Notre-Dame, Nice yang menewaskan tiga warga Prancis. Akibatnya, tuduhan terorisme terhadap Islam kian runcing yang berujung pada penutupan sejumlah organisasi muslim di Prancis.
Kasus ini bermula ketika seorang murid (13) sekolah Conflans-Sainte-Honorine melaporkan kepada ayahnya (Brahim Chnina) bahwa ia diskors karena tidak setuju pada Samuel Paty, salah seorang guru di sekolah tersebut. Ia menyatakan kepada Chnina bahwa Samuel Paty menyuruh murid-murid muslim untuk meninggalkan ruang kelas sebelum penayangan karikatur Nabi Muhammad SAW.
Nyatanya, pengakuan terbaru dari gadis kecil ini, Senin (8/3/2021) menyatakan bahwa ia sebenarnya berbohong. Ketika Samuel Paty mengajar di kelas kala itu, ia bahkan tidak berada di sana. Ia diskors karena perilaku buruk dan kenakalannya, bukan karena protes terhadap penayangan karikatur Nabi Muhammad SAW.
Namun, akibat dari kebohongan itu sudah terlanjur jauh bergulir. Ribuan demonstran turun ke jalan untuk membela kebebasan berekspresi. Kartun Hebdo yang menayangkan Nabi Muhammad SAW malah disiarkan di beberapa lokasi publik. Beberapa waktu setelahnya, dewan muslim Prancis atau Le Conseil Français du Culte Musulman (CFCM) tidak memiliki pilihan, kecuali untuk menyepakati Piagam Nilai Republik yang kian meminggirkan posisi umat Islam di Prancis.
Kini, terkuaknya fakta terbaru mengenai kematian Samuel Paty tidak menyumbang pengaruh banyak kecuali ungkapan pepatah: Nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Rangkaian akibat buruk sudah terjadi, mulai dari terbunuhnya beberapa orang tak berdosa, hingga menguatnya fobia Islam di negara-negara Barat.
Agaknya, peristiwa ini harus menjadi pelajaran penting bagi semua belah pihak. Bagaimanapun juga, tabayun harus ditegakkan, verifikasi, check dan recheck sebelum bertindak. Aksi (yang dipandang) heroik sebagai respons suatu (dis)informasi akan terlihat konyol jika berlandaskan kebohongan. Apalagi kebohongan anak kecil yang tidak terpikir konsekuensi atas pernyataan yang ia lontarkan.
Perintah tabayun ini sudah tertera dalam Alquran surah Al-Hujurat ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa suatu berita, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal.”
Berdasarkan ayat di atas, tabayun setidaknya dilakukan pada dua sisi. Pertama, pada sisi pembawa berita. Gadis kecil di kasus pembunuhan Samuel Paty itu seharusnya ditanyakan kejujurannya. Apalagi, sebenarnya ia khawatir dimarahi ayahnya karena keteledoran yang ia lakukan. Dari sisi psikologis, seharusnya dusta ini bisa ditebak dari tekanan karena pola asuh yang cenderung otoriter di keluarganya.
Akibatnya, yang terpikirkan oleh gadis cilik ini adalah menghindari murka melalui disinformasi (bohong) dengan menuduh guru sejarahnya berbuat tak senonoh, dengan menyuruhnya keluar dari kelas untuk menayangkan karikatur Nabi Muhammad SAW.
Namun, karena yang menyampaikannya adalah gadis cilik, tentu konyol jika tidak diverifikasi terlebih dahulu, apalagi sampai terprovokasi untuk melakukan hal berlebihan di luar batas.
Kedua, perintah tabayun juga menyasar isi berita yang dibawa. Informasi yang berkaitan dengan penistaan agama punya pengaruh besar. Karenanya, sangat tidak bijaksana jika langsung melayangkan tuduhan, apalagi langsung melakukan kampanye daring melalui media sosial, seperti dilakukan ayah gadis tersebut, Brahim Chnina. Kampanye daring ini disiarkan untuk menolak Samuel Paty agar ia segera dipecat.
Nyatanya Samuel Paty tidak lagi dipecat, ia malah terbunuh karena Abdoullakh Anzorov (18), pemuda Rusia muslim yang terprovokasi akibat kampanye Brahim Chnina ternyata bergerak lebih jauh karena menganggap bahwa darah Paty halal ditumpahkan karena sudah menghina Islam.
Lagi-lagi, segala hal tampaknya dilakukan dengan terburu-buru. Tuduhan terorisme terhadap Islam kian memanas. Menteri Dalam Negeri Prancis Gérald Darmanin bahkan menggaungkan “perang melawan musuh dari dalam”. Tentu saja kata “musuh” yang dimaksud adalah umat Islam.
Implementasinya adalah serangkaian operasi polisi dan penggerebekan terhadap organisasi dan individu muslim, yang dalam ungkapan Dermanin: “[mereka] tidak terkait langsung dengan penyelidikan, tetapi perlu diingatkan.” Darmanin bahkan terang-terangan menyatakan niatnya untuk segera membubarkan beberapa organisasi anti-fobia Islam, serta melabeli salah satu organisasi Islam itu sebagai “musuh negara Prancis”.
Rentetan konsekuensi karena nihilnya tabayun ini terlalu jauh dirasakan. Presiden Prancis Emmanuel Macron bahkan mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berisi pembatasan home schooling bagi warga muslim Prancis. RUU itu juga merencanakan memberikan nomor identifikasi bagi anak-anak dari keluarga muslim. Jika RUU ini lolos, posisi umat Islam Prancis akan kian terpojokkan.
Langkah Presiden Macron itu mengandung kecurigaan politis. Selain itu, pemerintah Prancis turut berencana merancang UU untuk mengokohkan sekularisme sebagai identitas Prancis, sebuah putusan yang punya daya untuk menaikkan elektabilitas Macron untuk menghadapi pemilu Prancis 2022.
Sementara panggung politik ditegakkan, umat Islam berpotensi jadi tumbal. Dimulai dari nihilnya tabayun, posisi muslim Prancis kini berada di ujung tanduk. Lebih dari itu, umat Muslim di Indonesia juga terlanjur berlagak heroik bilang bahwa pembunuh Paty adalah pahlawanlah, atau apalah itu.