Di suatu masa, hidup seorang pekerja seks komersial (PSK). Ia merupakan PSK papan atas. Artinya, tarifnya pun mahal. Seratus dinar untuk satu kali kencan. Sangking cantiknya, sampai membuat Fulan (sebut saja begitu) tertarik. FYI, Fulan adalah seorang yang rajin ibadah.
Fulan bekerja keras. Agar bisa mengumpulkan uang. Agar bisa untuk membayar si PSK. Beberapa waktu berlalu. Uang seratus dinar berhasil terkumpul. Ia langsung bergegas ke rumah si PSK.
Fulan mengutarakan maksud dan tujuannya. Tak lupa, ia juga jelaskan kerja kerasnya selama ini. “Ketika melihatmu, aku langsung terkesima. Engkau begitu cantik. Sejak saat itu, aku bekerja keras mengumpulkan uang. Kini, aku telah memiliki seratus dinar,” kata Fulan apa adanya.
Fulan dan si PSK masuk kamar. Di dalamnya, terhampar ranjang yang terbuat dari emas. Tempat melayani para tamu.
“Ayo kita mulai!” ajak si PSK mempersilakan Fulan untuk menjamah dirinya.
Fulan bersiap melakukannya. Seketika, ia terbayang keadaan di akhirat. Yakni saat ia berdiri di hadapan Allah SWT. Mempertanggungjawabkan semua amalnya. Tubuhnya gemetar. Ia membatalkan perzinaan yang harusnya terjadi itu. Uangnya ia berikan kepada si PSK. Cuma-Cuma.
“Uang ini untukmu saja. Sekarang biarkan aku pergi!” kata Fulan.
Si PSK merasa aneh dengan Fulan. Ia mengatakan, “Kamu ini bagaimana. Barusan kamu bilang kamu tertarik denganku. Oleh karenanya, kamu bekerja keras. Peras keringat banting tulang. Kini, setelah semuanya sudah siap, kamu membatalkannya begitu saja. Uang ini pun kamu berikan kepadaku dengan gratis. Ada apa sebenarnya?”
Fulan menjawab, “Hal yang membuatku membatalkan semuanya adalah rasa takutku kepada Allah. Ingatanku tiba-tiba melayang. Membayangkan ketika kelak aku berdiri di hadapan Allah mempertangungjawabkan semuanya. Aku begitu takut.”
Tak hanya itu, dalam kondisi yang sedemikian genting itu, ia mengatakan bahwa dia (PSK) itu adalah orang yang paling ia benci. Apa kata si PSK? Ia tak marah. Malah ia terkesima dengan perkataan si Fulan.
“Jika apa yang engkau katakan barusan itu benar, maka izinkan aku menikah denganmu!” pinta si PSK.
Fulan tak merespon. Satu kenginannya: bisa segera pergi. Yang ada di kepalanya, bagaimana bisa segera pergi. Si PSK juga keukeuh dengan pendiriannya. Ia hanya akan mengizinkan Fulan pergi manakala ia berkenan menikahinya.
“Tidak. Biarkan aku terlebih dahulu pergi dari tempat ini,” kata Fulan juga ngotot.
PSK itu menimpali, “Okelah kalau begitu. Engkau harus berjanji. Jika kelak aku datang kepadamu, maka engkau akan menikahiku!”
“Mungkin,” jawab Fulan singkat.
Fulan langsung mengambil pakaiannya dan pergi. Meninggalkan rumah si PSK. Ia kembali ke kampung halamannya.
Sementara itu, si PSK menyesali perbuatannya selama ini. Ia bertaubat kepada Allah SWT. Tak lama setelah itu, ia pergi mencari Fulan. Setelah bertanya ke sana kemari, si (mantan) PSK itu menemukan rumah Fulan.
“Wahai Fulan, ada seorang ratu mendatangimu,” seseorang berkata kepadanya sesaat setelah PSK itu datang.
Melihat PSK benar-benar datang, Fulan kaget. Jatuh pingsan dan akhirnya meniggal dunia. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Cita-cita si PSK untuk bisa menikah dengan Fulan pun kandas.
Sebagai gantinya, ia pun memilih untuk menikah (baca: dinikahi) dengan saudara kandung Fulan. Dari keduanya, di kemudian hari, lahir orang-orang shaleh. Bahkan, ada yang mengatakan (qila), lahir Nabi. Wallahu a’lam.
Kisah di atas termaktub dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi dengan judul “Aku Takut kepada Allah SWT”. Jika rasa takut kepada Allah sudah sangat besar, maka semua akan dikerjakan. Bahkan tak segan untuk meninggalkan segala kenikmatan sekalipun. Dalam al-Risalah al-Qusyairiyah, disebutkan, Abu Hafsh berkata, “Takut adalah cambuk Allah SWT yang berguna untuk meluruskan orang-orang yang lari dari pintuNya”.
Walhasil, ketakutan kepada Allah akan mendatangkan banyak manfaat. Di antaranya, seseorang akan menjadi semkain menjauh dari kemaksiatan dan semkain mendekat kepadaNya. Semoga selalu ada rasa takut dalam hati kita. Amin.
Sumber:
Al-Qusyairi, Abu al-Qasim. al-Risalah al-Qusyairiyah. Kairo: Dar al-Sya’b, 1989.
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.