Pada suatu zaman, hidup seorang raja yang sangat jahat. Bengis. Selalu berbuat semena-mena. Suka menyiksa orang lain. Memperlakukannya seperti binatang. Mencincangnya. Bahkan kepada mereka yang tak bersalah sekalipun.
Di zaman itu pula, hidup seorang yang bijaksana. Namanya Uqaib. Ia ahli ibadah. Ia tinggal di pegunungan. Di sanalah, ia menghabiskan waktunya untuk beribadah dan mendekat kepada Allah SWT, Tuhan semua alam.
Kabar tentang kezaliman dan kejahatan yang dilakukan sang raja begitu mengusiknya. Ia merasa kasihan. Tidak saja kepada sang raja. Namun juga kepada mereka yang disiksa. Oleh karenanya, ia sempat kepikiran untuk turun gunung, menasihati sang raja agar menjadi baik dan taat beribadah kepada Allah SWT.
“Bukankah akan menjadi lebih baik manakala aku mendatangi raja tersebut. Menasihatinya agar selalu bertakwa kepadaNya,” katanya dalam hati.
Ia pun segera berbegas meninggalkan gunung. Pergi ke kerajaan menemui sang raja zalim tersebut. Di hadapan raja, ia berkata, “Wahai raja, bertakwalah kepada Allah SWT?”
Alih-alih mengiyakan, sang saja malah menghinanya. Mengancamnya dengan sebuah siksaan. Ia sangat murka.
“Dasar anjing. Beraninya kamu menyuruhku untuk bertakwa kepada Allah. Aku akan menyiksamu dengan siksaan yang sangat berat. Yang belum pernah dirasakan oleh orang di muka bumi ini,” kata sang raja penuh amarah.
Raja pun memberikan instruksi kepada para algojonya untuk menguliti Uqaib. Sekujur tubuhnya. Dari kaki hingga kepala.
Tak lama kemudian, proses penyiksanaan pun dimulai. Uqaib diperlakukan lebih hina daripada binatang. Dikuliti hidup-hidup. Ketika siksaan pengulitan itu sampai perutnya, ia merintih kesakitan.
Saat itu, tiba-tiba Allah SWT berfirman kepadanya, “Wahai Uqaib. Bersabarlah. Aku akan mengeluarkan kamu dari negeri kesedihan menuju negeri yang penuh dengan kesenangan dan kebahagiaan. Dari negeri yang sempit menuju negeri yang sangat lapang”
Proses pengulitan tetap berlanjut. Ia benar-benar merasakan kesakitan. Namun ia mencoba untuk bersabar dan tidak merintih. Namun ketika pengulitan sampai ke wajah, ia benar-benar tak kuat. Terpaksa ia merintih.
Allah SWT pun segera berfirman kepadanya, “Wahai Uqaib, engkau telah benar-benar membuat makhlukKu yang ada di langit dan bumi menangis. Engkau juga telah membuat para malaikatKu tertegun. Bahkan, karenamu, mereka sampai berhenti bertasbih kepadaKu.”
Dalam kelanjutan firmaNya, Allah menjelaskan bahwa jika Uqaib masih merintih sampai ketiga kali, maka Dia berjanji akan memberikan siksaan kepada mereka.
PernyataanNya itu membuat Uqaib mau tidak mau untuk bersabar dan tidak merintih. Ia kasihan kapada kaumnya. Tak ingin mereka mendapat siksa dari Allah SWT. Subhanallah.
Kisah di atas tertulis dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Lewat kisah di atas kita bisa belajar banyak hal. Salah satunya adalah kasih sayang. Seorang pendakwah hendaknya memiliki sifat welas asih yang besar.
Di satu sisi, ia memang memiliki kewajiban untuk mengajak orang lain untuk taat kepada Allah SWT. Namun di sisi lain, ia hendaknya juga menghindarkan mereka dari siksaNya. Memang berat. Namun di sanalah tantangannya. Ia dituntut untuk tidak emosian dan tersinggungan.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
“Orang yang pengasih akan dikasihi oleh Sang Maha Pengasih. Kasihilah mereka yang di bumi. Maka mereka yang ada di langit akan mengasihimu” (HR. Baihaki)
Walhasil, seorang juru dakwah hendaknya memiliki kasih sayang yang tinggi. Tidak saja kepada obyek dakwahnya, namun kepada semua makhluk. Jangan sedikit-sedikit melibatkan Allah SWT. untuk memberikan siksaan. Soalnya, yang bersalah dan akan disiksa bisa jadi hanya satu/beberapa orang saja. Namun yang terdampak siksa itu bisa siapa saja. Wallahu a’lam.
Sumber:
Al-Baihaki, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain. Sunan al-Baihaki al-Kubra. Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994.
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.