Di media sosial, salah satu pihak yang rajin melawan narasi keislaman dari kalangan penceramah konservatif adalah para influencer fanatik pendukung pemerintah. Para influencer ini memiliki pengikut yang cukup besar di media sosial. Ketika mereka memposting sebuah narasi tertentu di medsos, ia memiliki sebaran yang luas sehingga berpengaruh cukup besar.
Namun, ada yang menjadi masalah ketika mereka juga turut melakukan kampanye narasi agama di sebuah perang wacana di media sosial. Jika diperhatikan, rumus dari konten media sosial para influencer fanatik pendukung pemerintah ini adalah melakukan reaksi penyanggahan terhadap postingan lawan mereka. Dalam konteks ini adalah narasi para penceramah konservatif.
Rumus media sosial memang mudah: pilih kalimat yang ringkas, jelas, persuasif dan berpihak. Keberpihakan di sini bukanlah sebuah pilihan yang muluk-muluk seperti berpihak kepada kemanusiaan, rakyat kecil ataupun berpihak kepada keadilan. Sama sekali tidak harus semulia itu. Keberpihakan dalam rumus medsos adalah “mengambil posisi yang berlawanan dengan pihak ataupun narasi yang hendak di lawan.” Segampang itu.
Narasi keberpihakan, belakangan sangat sering dilakukan para influencer dari semua kalangan. Misalnya penggunaan istilah “kadrun” alias kadal gurun untuk menyebut mereka yang mendukung Prabowo dan penggunaan sebutan “cebong” untuk pendukung Presiden Jokowi pada Pilpres 2019 lalu. Begitu pula penggunaan sebutan “radikal”, “intoleran”, dan “kadrun” dalam narasi agama yang dilakukan para influencer fanatik pendukung pemerintah.
Di sini kenapa yang dipersoalkan hanya narasi yang dilakukan oleh para influencer pendukung pemerintah, kenapa tidak diberlakukan hal serupa kepada para influencer kubu konservatif juga? Hal ini karena kita tak terlalu bisa banyak berharap perbaikan dari kalangan influencer konservatif. Sebab sejak awal, problem nilai dari kalangan konservatif adalah kurang terbuka terhadap berbagai wacana di luar mereka. Sedangkan di pihak para influencer fanatik pendukung pemerintah selama ini mendaku diri dan menggaungkan isu toleransi, kebangsaan dan keberagaman.
Namun, yang menjadi catatan di sini adalah, narasi agama para influencer pendukung fanatik pemerintahan Presiden Jokowi ini tidak efektif dan bermasalah dari sisi psikologi moral. Mereka selama ini, ketika membuat narasi tandingan di medsos selalu mengambil posisi yang berhadap-hadapan dan memberikan pelabelan yang sama negatifnya dengan pihak konservatif.
Sebagaimana yang dituturkan oleh ahli psikologi moral Jonathan Haidt melalui bukunya The Rightous Mind: Kenapa Orang-orang Baik Terpecah Karena Politik dan Agama. Melalui bukunya, Haidt menjungkirbalikkan keyakinan kita selama ini bahwa hakikatnya manusia secara umum lebih dulu menggunakan intuisi daripada rasionya.
Terlebih lagi kalangan konservatif. Mereka memiliki pertimbangan moral yang lebih banyak dibandingkan orang-orang yang mendaku diri lebih terbuka. Kaum konservatif sangat peka terhadap narasi yang mengancam nilai-nilai dasar keagamaannya. Nilai-nilai ini mungkin bagi kita yang memiliki perspektif yang lebih terbuka bukan menjadi masalah yang besar. Tapi berbeda bagi mereka. Ini bawaan moral kalangan konservatif.
Nah, yang disarankan oleh Haidt adalah seharusnya kita lebih santun dalam menandingi dan merespon berbagai narasi yang dijalankan oleh kalangan konservatif. Strategi narasi yang memojokkan dan menentang moral konservatif mereka tak akan pernah bisa merubah sikap-sikap mereka. Justru mereka semakin menolak terhadap narasi yang kita bawakan.
Persoalan narasi keagamaan yang sering memojokkan, penuh prasangka dan labeling sering dilakukan oleh para influencer fanatik pendukung pemerintah. Seperti cuitan Permadi Arya alias Abu Janda yang viral adalah contoh paripurna betapa tidak efektifnya kampanya para influencer pendukung pemerintah ini. Bahkan, yang terjadi adalah tingkat ketersinggungan yang semakin meluas sampai di kalangan moderat.
Cuitan yang mengatakan “Islam itu arogan” mulanya ditujukan kepada cuitan Tengku Zulkarnain, pendakwah konservatif. Namun, cuitan Permadi Arya tersebut pasti terdengar panas di telinga seorang konservatif seperti Tengku Zulkarnain. Narasi tanding itu alih-alih akan meredam sikap-sikap konservatif Tengku Zul, justru malah semakin memupuk permusuhan terhadap wacana dengan spirit kebangsaan.
Narasi agama yang dibawakan para influencer fanatik pendukung pemerintah kerapkali mengambil sikap seperti cuitan Permadi Arya di atas. Ia selalu persuasif dan memojokkan kubu lawannya. Jika yang dicari adalah harapan supaya kubu konservatif lebih terbuka terhadap isu-isu kebangsaan, nampaknya bakal salah sasaran jika strateginya seperti itu.
Haidt menyarankan bahwa supaya kita lebih santun dan penuh simpati ketika membuat narasi tanding terhadap wacana yang hendak dilawan. Daripada menggunakan kata-kata yang menyudutkan, alangkah lebih bisa diterima dan berkemungkinan mengubah sikap kalangan konservatif jika kita menggunakan kata-kata yang penuh ajakan menuju persatuan, simpatik dan penuh penghormatan.
Banyak bukti dalam riset psikologi yang menyebutkan bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh kesan awal yang mereka terima. Sikap-sikap orang terhadap sebuah stimulus ditentukan bagaimana kesan emosional petama mereka terhadap sebuah stimulus. Secara umum, rasio tidak digunakan orang ketika harus memberikan sikap terhadap sebuah stimulus.
Jika ada hadis yang menyebutkan bahwa “manusia adalah tempatnya salah dan dosa”, pernyataan itu sepenuhnya benar. Kita adalah tempatnya bias dan emosional dalam merespon stimulus yang ada. Demikian ini pula yang berlaku di media sosial.
Situasi media sosial kita akan tetap terpecah-belah jika para penganjur nilai kebangsaan hanya menggunakan narasi yang tidak ramah. Seperti yang disarankan Haidt, kognitif kita tidak didesan untuk mendahulukan rasio, tapi emosi duluan. Kita adalah rajanya pemarah. Apalagi disulut dengan narasi yang memojokkan dan tak punya simpati.
Pak Permadi Arya dan kawan-kawan, siapkah berbenah??