Salah satu sahabat Abu al-Qasim al-Anbari, sebut saja Fulan, pernah mengalami kejadian aneh saat ia berkunjung ke rumah Bisyr al-Hafi, ulama Sufi kenamaan di zamannya. Saat itu, ketika sudah berada di rumah Bisyr, ia mengetuk pintu rumahnya. Namun pintu tak segera dibuka.
Ia justru mendengar sebuah suara dari dalam rumah. Ternyata itu adalah suara Bisyr al-Hafi, sang tuan rumah. Ia mengintip apa sebenarnya yang ada di dalam rumah. Ia melihat Bisyr al-Hafi sedang memegang semangka dan seraya berkata mengutuk dirinya sendiri.
“Sungguh tercela kamu. Kamu ingin menkonsumsinya, padahal ia adalah benda yang tak bernilai.”
Kalimat itu ducapkannya secara terus menerus dan berlangsung cukup lama, sedang Fulan dengan setia mendengarnya. Kejadian itu ia alami sampai siang hari. Setelah mendengarkannya cukup lama, Fulan memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah Bisyr untuk kedua kalinya.
“Siapa di luar?,” tanya Bisyr al-Hafi dari dalam rumah.
Fulan menjawab pertanyaan itu, “Saya Fulan”
Setelah mengetahui siapa gerangan yang menjadi tamunya, Bisyr al-Hafi pun mempersilakannya masuk, “Masuklah!”
Fulan pun masuk ke dalam rumah. Setelah ia duduk, ia berkata kepada Bisyr al-Hafi, “Wahai Tuan, tidak selayaknya engkau melakukan hal ini kepada diri Anda sendiri. Mengapa berulang-ulang engkau mencela diri Anda? Padahal sebagaimana diketahui bersama, hal yang engkau cela ini adalah sesuatu yang dihalalkan Allah. Juga, Dia telah memberi keringanan akan hal ini.”
Setelah Fulan memberikan saran seperti itu, Bisyr al-Hafi berkata dan memberi klarifikasi, “Selama ini, saya telah bersabar atas beban hidup di hari-hari saya yang telah lalu. Saya juga telah menekan dan memaksa hawa nafsu saya untuk bisa bersabar dari segala keinginan. Hingga ia pun tetap bertahan hidup (nafsunya tidak mati).”
(Jika dilanjutkan, agaknya kalimat itu akan bertambah, “Namun mengapa kali ini, semangka ini begitu menggodaku padahal aku tak membutuhkannya”, pen.)
Semangka yang dipegangngnya itu kemudian ia letakkan, dan Bisyr al-Hafi memberikannya kepada Fulan, “Ambillah semangka ini!”.
Selepas itu, ia mendendangkan sebauh syair,
“Usaha saya untuk mengenyangkan perut saya dengan menjual agama adalah kemustahilan”
“Siapa yang menggapai dunia tanpa tuntutan agama, maka dia akan mendapatkan kehancuran atas kehancuran”
Kisah ini terdapat dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Kisah ini menginformasikan kepada kita betapa zuhudnya seorang Bisyr al-Hafi. Meski agaknya terlalu berat bagi kita untuk mengikutinya secara keseluruhan, namun kita bisa menirunya sebagiannya saja, semampu kita. Utamanya tentang tidak terlalu menuruti hawa nafsu (salah satunya adalah nafsu untuk makan).
Tentang nafsu, Allah Swt. berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى # فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya)” (QS. Al-Nazi’at [79]: 40-41)
Manusia tidak diperintahkan untuk membunuh hafsunya. Hal ini karena nafsu selalu dibutuhkan manusia untuk menjalani tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Beberapa di antaranya adalah nafsu amarah dibutuhkan manusia untuk menampik perbuatan aniaya, bukan untuk menganiaya, serta nafsu makan/minum untuk menjaga kesehatan badan, bukan untuk dituruti secara berlebihan sehingga merusak tubuh.
Begitu juga dengan nafsu birahi yang berguna untuk meneruskan keturunan, bukan untuk dilampiaskan secara sembaranga. Begitu kurang lebih penjelasan M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah.
Walhasil, nafsu memang tidak selalu salah. Ia tidak harus dibunuh/dihilangkan, hanya perlu diarahkan saja. Nafsu yang harusnya kita atur, dan jangan sampai ia mengatur kita, lebih-lebih menggunakan dalil agama. Na’udzubillah.
Sumber:
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Tangerang: Lentera Hati, 2009.