Kalau kata pepatah, FPI itu “sudah jatuh, tertimpa tangga pula.” Belum lama setelah Rizieq Shihab dicokok polisi, kini giliran organisasinya yang dibubarkan oleh pemerintah. Nasib sial itu datang secara beruntun menghampiri Petamburan pada pungkasan tahun pandemi. Petamburan yang kemarin-kemarin begitu menggemparkan, nampaknya ke depan nama itu akan berangsur-angsur pudar dan dilupakan orang.
Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa pembubaran FPI itu tidak efektif untuk menghabisi sepak terjang populisme Islam yang punya rekam jejak kekerasan dan intoleransi itu. Namun, kalau kita melihat berbagai sejarah pembubaran organisasi politik di Indonesia, metode “pembubaran dan pelarangan” adalah strategi yang sangat ampuh.
Pada masa kepemimpinan Presiden Sukarno, Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan. Kedua partai itu dibubarkan dengan alasan keterlibatannya terhadap aksi PRRI Permesta yang dianggap sebagai gerakan pemberontakan oleh negara waktu itu. Apakah efektif pembubaran dua partai itu? Tentu saja efektif. Politisi dan aktivis kedua organisasi politik tersebut kelimpungan mengorganisasi diri dan kewalahan menjaga basis massanya.
Contoh selanjutnya adalah pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh rezim Suharto. Tak perlu dijelaskan lagi, pembubaran PKI itu sangat efektif–terlepas dari kontroversi sejarah, kita bisa berdebat soal itu. Pada masa kekuasaan Presiden Suharto pula, kubu Islam politik juga tidak bisa banyak bergerak. Partai Masyumi dilarang kembali untuk didirikan ulang. Kubu Islam politik juga harus dipaksa melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang jabatan dan gagasannya sudah didesain oleh Orde Baru. Artinya, pembatasan, lebih-lebih lagi sebuah pembubaran dan pelarangan adalah cara yang efektif untuk membungkam gerakan Islam politik.
Adapun contoh lain yang sering dijadikan perbandingan kebijakan negara terhadap Islam politik adalah kasus di Timur Tengah dan Turki. Di sana, kebijakan represif negara tehadap gerakan Islam politik malah semakin memperkokoh gerakan Islam politik. Namun, sebetulnya situasi Islam politiknya memiliki banyak perbedaanya dengan kita.
Jika kita menengok gerakan Islam politik di Mesir dan di Turki, penggerak konsolidasinya adalah Ikhwanul Muslimin. Di kedua negara tersebut, Adelet ve Kalkinma Partisi (AKP) di Turki dan Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) di Mesir, memiliki soliditas gerakan yang cukup kuat dan tidak terpecah belah.
Sedangkan, situasi Islam politik di Indonesia berbeda. Ia tidak hanya digerakkan oleh “ikhwan-ikhwan” saja. FPI adalah salah satu contohnya. Ia bukan organisasi politik, namun kita tak bisa meragukan betapa besarnya nuansa “politis” dari gerakan ini. FPI berangkat dari teologi Aswaja dan berporos pada sosok habib di pinggiran kota metropolitan. Basis massa FPI adalah orang-orang pinggiran Jakarta yang terpinggirkan oleh proses modernisasi.
Sedangkan, gerakan ikhwan yang termanifestasikan melalui Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia mengalami ketercerai-beraiannya. Kubu Anis Matta dan Fahri Hamzah, mantan petinggi partai tersebut didepak oleh kubu kaum tua yang lebih konservatif di internal partai. Pada akhirnya, basis massa PKS semakin menurun dan mereka juga mengalami disorientasi karena tak kunjung berkuasa dan di sisi lainnya, para kadernya terlalu nyaman dan menikmati kursi empuk di parlemen.
Nah, di situasi gerakan Islam politik di Indonesia yang tak kunjung terkonsolidasi tersebut, akhirnya salah satu bagiannya yang memiliki peran paling penting, yakni FPI, dihabisi oleh pemerintah. Pembubaran FPI tersebut semakin membuat kocar-kacir gerakan Islam politik di Indonesia dan ke depannya semakin suram.
Tindakan pembubaran FPI yang dilakukan pemerintah jika dilihat dari kacamata demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) tentu saja adalah kebijakan yang bermasalah. Namun, kekuasaan politik selalu saja memiliki syahwatnya sendiri dan tak mau dikontrol oleh dua kacamata itu. Dan kini ada kesempatannya. FPI selain disukai oleh sebagian kalangan, ia juga memiliki banyak musuh. Dan akhirnya, sampailah kita pada pembubaran FPI, habis riwayatnya.
Saya tak pernah membayangkan situasi akan berbalik dengan secepat ini. Rasa-rasanya belum lama Rizieq Shihab dan para simpatisannya berbicara dan bertindak sesuka hatinya di Bandara Sukarno-Hatta dan Petamburan. Hanya dalam hitungan hari, situasi sudah berubah dan saat ini FPI yang terpojokkan.
Setelah Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya yang baru dilantik bergerak dan ditambah kubu politik Prabowo-Sandi yang sudah bulat merapat ke kabinet. Tanpa ada rintangan yang menghadang, FPI yang standing position-nya sudah layu, kini bisa dipadamkan dengan mudah. Good bye Front Pembela Islam….