FPI dibubarkan dan ganti nama jadi Front Persatuan Islam. Ada pertanyaan esensial, apa yang seharusnya dipadamkan dari ormas ini?
FPI telah dibubarkan. Begitu tulis sebuah berita baris ketika saya melihat televisi. Tak lama berselang, FPI yang dibubarkan itu katanya berganti nama jadi Front Persatuan Islam. Jokowi telah melakukan langkah mengejutkan di akhir tahun 2020 dan sepertinya, ormas yang dibubarkan itu telah menyiapkan langkah-langkah perlawanan. Tapi, mari kita bicara soal keputusan mengejutkan soal FPI ini.
Bagaimana tidak, di tengah gelombang pasang politik identitas yang dimotori di antaranya oleh FPI, Pemerintah mengeluarkan sebuah keputusan yang ditandatangani enam pejabat tinggi Negara yang mengatur berbagai hal tentang penetapan ormas tersebut dibubarkan.
Berbagai aturan dan ketetapan telah diatur oleh Pemerintah dalam surat keputusan bernomor ….. Menariknya, aparat penegak hukum langsung menuju Petamburan untuk menertibkan berbagai atribut FPI di sana. Namun, apakah politik identitas akan berhenti seketika pasca pembubaran FPI? Atau apakah ujaran kebencian berbau agama juga akan berhenti? Saya ragu semua itu akan terwujud.
Saya masih sependapat dengan unggah status salah satu sahabat saya, Wahyudi Akmaliyah, yang diberi judul “Percuma FPI Bubar, Kalau Hukum Masih Tebang Pilih.” Dalam status yang ditulis cukup panjang oleh mas Wahyudi, begitu saya akrab memanggilnya, dia menyoroti bahwa pembubaran FPI harus ditekankan kepada masyarakat agar mereka mengerti bahwasanya main hakim sendiri itu adalah bentuk pelanggaran hukum yang justru selama ini dibiarkan. Pembiaran terjadi karena memang negara abai dalam melindungi hak-hak warganegara.
Jika mas Wahyudi menyoroti persoalan “main hakim” sendiri yang seringkali dilakukan oleh FPI, maka saya akan mengulik permasalahan krusial lainnya dari ormas macam FPI ini, yakni politik identitas. Sebab, glorifikasi identitas Islam yang dimotori oleh FPI sejak kasus Ahok dan Pilkada DKI Jakarta kemarin masih bisa dirasakan dampaknya hingga mencapai puluhan ribuan kilometer dari ibukota.
Diskursus politisasi agama atau identitas keislaman di Ibukota terbang jauh hingga berbagai wilayah, terutama di daerah yang dikenal religius. Beberapa Pilkada juga terlihat mulai tergoda menduplikasi atau meniru keberhasilan politisi di Jakarta yang berhasil memenangkan pertarungan politik dengan memainkan emosi umat dengan narasi agama.
Pilihan seseorang yang disandarkan dengan alasan agama yang dipeluk atau dipraktikkan oleh sang calon adalah sesuatu yang wajar. Namun, ada hal yang terlupakan sering ketika ini dijadikan modal untuk mobilisasi massa dalam memilih maka dampaknya sangat sulit disembuhkan. Buktinya, kita hingga sekarang masih disibukkan dengan berbagai masalah terkait politisasi agama. Orang yang seharusnya bertanggungjawab pun rasanya sulit untuk menghentikan atau menyembuhkan berbagai luka yang diakibatkan oleh perbuatannya.
Sementara itu, kita sekarang dihadapkan dengan pembubaran ormas FPI yang telah bertanggungjawab dalam politisasi agama dan identitas. Di mana kita harus sadar dengan kondisi masyarakat akibat perbuatan mereka, yang sangat terpolarisasi dan sering mengglorifikasi identitas secara berlebihan.
Baru baru ini, saya membaca beberapa komentar negatif di postingan status akun media sosial salah satu penggiat toleransi di daerah saya. Saat itu, penggiat toleransi tersebut menuliskan status yang menyiratkan bahwa Indonesia sebagai rumah bersama dan bukan milik umat Islam saja.
Baca juga: FPI Ganti nama? begini Rapor merah FPI yang ganti nama yang diprediksi tetap pro kekerasan
Hanya beberapa setelah status itu mengudara berbagai komentar negatif mulai bermunculan. Di antaranya, “umat Islam yang populasinya mayoritas di negeri ini, karena wataknya tenggang rasa, tepo sliro, maka justru ummat Islam yang selalu menjadi korban ketidak adilan kebijakan publik, dari rezim ke rezim, terutama oleh rezim saat ini. Intinya, umat Islam tak ada yang punya watak mau mendzolimi umat lain” tulis salah satu netizen.
Dari komentar warganet di atas, kita bisa melihat bagaimana imaji keberagamaan yang sedang populer di masyarakat adalah mayoritas yang terzalimi. Dengan modal inilah FPI menjadi populer di masyarakat Indonesia, dengan mengaduk-aduk emosi publik muslim yang terjebak dalam keberagamaan tersebut. Namun di sisi lain, mereka juga sering membangun wacana tentang umat Islam sebagai umat utama, kalangan muslim dinarasikan mereka sebagai kelompok yang paling toleran, paling dapat menjaga kedamaian dan lain-lain.
Oleh sebab itu, keberislaman kita seperti anomali, di satu sisi glorifikasi identitas agama sangat massif, bahkan terjadi mobilisasi, seperti kasus Pilkada DKI. Namun, di sisi lain kita malah merasa inferior dan terancam dalam relasi Agama dan Negara, sebagaimana kasus di Syiah dan Ahmadiyah, yang selalu dicurigai sebagai ancaman bagi keislaman.
Baca juga: Meski FPI ganti nama, mereka harus ingat kisah Umar dan Pemabuk ini
Kondisi di atas sudah seharusnya menyadarkan kita bahwa permasalahan krusial dari FPI, adalah mobilisasi wacana keberislaman yang anomali tersebut untuk kepentingan sesaat belaka. Padahal, dampaknya sangat sulit disembuhkan dan dapat dijadikan modal politik elektoral bagi siapa saja yang tergoda.
Permasalahan politik identitas ini harus menjadi perhatian utama dibanding pembubaran FPI. Sebab, jika ini tidak diperhatikan maka tidak heran jika di kemudian hari bermunculan kelompok-kelompok lain macam FPI. Pemerintah dan kita semua harus mulai berusaha membangun “imunitas” dalam masyarakat terhadap berbagai ideologi dan wacana kaya FPI sebarkan. Hal ini terasa lebih elegan ketimbang permainan hukum yang dikedepankan oleh Pemerintah.
Secara pribadi, saya melihat pembubaran malah berpotensi mencederai demokrasi, jika kita tidak kritis melihat pembubaran ini. Makanya, saran Gus Dur sebenarnya lebih keren dibanding langkah hukum yang diambil oleh pemerintah, di mana dia malah menilai bahwa FPI itu akan bubar sendiri (jika ideologi dan wacana yang mereka produksi tidak laku lagi).
Ya, kalau FPI ganti nama lagi, itu ya terus akan terjadi lagi, lagi.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin