Ibnu Jauzi menuliskan sebuah kisah yang sangat inspiratif dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat, yakni tentang dua orang yang sangat rajin ibadah dan sama-sama rendah hati dengan mengaku sebagai orang yang teledor. Begini kisahnya.
Amir bin Abdi Qais adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Ia melakukan shalat sebanyak seribu rakaat setiap harinya. Untuk melakukannya, ia membutuhkan waktu dari pagi sampai ashar. Waktu selama itu hanya ia gunakan untuk beribadah ritual kepada Allah Swt, bukan yang lain. Ibadahnya yang begitu rajin bahkan tak jarang sampai membuat betis dan kedua telapak kakinya bengkak. Subhanallah.
Meski demikian, ia tetap rendah hati. Hal ini terlihat ketika pulang dari tempat ibadahnya di sore hari, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai nafsuku yang selalu menyeru kepada keburukan, sungguh, engkau diciptakan Allah hanya untuk beribadah. Maka demi Allah, aku akan terus beribadah yang sampai membuatmu tak pernah nyaman dan tak pernah merasakan nikmatnya tempat tidur.”
Satu hari, ia berkunjung ke suatu lembah Wadi al-Siba’. Di tempat itu, ada Humamah, seorang ahli ibadah dari kota Habasyah. Ia terbiasa melakukan shalat sunnah sebanyak delapan ratus rakaat setiap hari.
Di tempat itu, keduanya tak pernah sempat berkenalan. Mereka berdua, saban hari, hanya melakukan shalat sunnah secara sendiri-sendiri di dua tempat berbeda, namun masih dalam satu kawasan.
Pertemuan antar keduanya hanya akan terjadi ketika waktu shalat fardlu tiba, yakni untuk melaksanakan shalat berjamaah. Selepas itu, mereka kembali kepada rutinitas masing-masing: shalat sunnah. Kejadian berlangsung sampai empat puluh hari.
Empat puluh hari pun berlalu. Amir bin Abdi Qais pun menemui Humamah. Mereka berdua akhirnya saling berkenalan. Ternyata masing-masing dari mereka telah mengetahui kiprah dan “sepak terjang” lawan bicaranya. Hal ini menunjukkan betapa mereka adalah orang yang sudah viral di zamannya. Dalam kesempatan saat itu, mereka saling meminta nasihat satu sama lain.
Humamah berkata kepada Amir, “Saya ini orang yang teledor. Jika shalat tidak dibatasi waktu, maka aku akan melakukan rukuk dan sujud sepanjang hidupku sampai ajal menjemputku”.
Humamah juga meminta nasihat kepada Amir tentang hal yang paling utama. Amir berkata, “Aku ini orang yang teledor. Namun aku selalu tanamkan dalam hatiku tentang keagungan Allah, sehingga aku tak takut barang sedikit pun kepada selainNya”
Tak lama kemudian, ada beberapa binatang buas yang mengepung Amir. Bahkan ada satu binatang yang meloncat dan menerkam pundaknya. Ia sama sekali tak gentar dan lalu membaca potongan ayat:
ذَلِكَ يَوْمٌ مَجْمُوعٌ لَهُ النَّاسُ وَذَلِكَ يَوْمٌ مَشْهُودٌ
“….Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadap)-Nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh semua makhluk).” (QS. Hud [11]: 103)
Karena melihat mangsanya tak takut sama sekali, binatang itu pergi. Humamah merasa heran dengan sikap Amir yang tak ada takut-takutnya itu. Ia pun mengajukan pertanyaan, “Apa kamu tidak takut dengan binatang barusan itu?”
“Aku malu kepada Allah manakala aku takut selainNya,” jawab Amir dengan penuh keyakinan.
Humamah berkata, “Ketika lapar aku akan makan. Dan hal itu mau tidak mau akan membuatku ke kamar mandi untuk buang air besar. Andai Allah tak mengujiku dengan rasa lapar, maka aku akan selalu rukuk dan sujud kepadaNya.”
Lewat kisah ini kita membaca bagaimana seharusnya menjadi seorang ahli ibadah sejati. Ibadah dan prestasi memang harus semakin melangit, namun sikap harus tetap membumi. Seorang bijak memberi wejangan, “Jadilah kamu seperti padi, yang semakin berisi maka semakin merunduk”. Wallahu a’lam.
Sumber:
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.