Sejak kepulangan Habib Rizieq Syihab (HRS) pada 10 November lalu, hari-hari belakangan rasanya tak pernah sepi dari ontran-ontran yang dibikin Front Pembela Islam (FPI). Mulai dari kerumunan di Petamburan yang berujung pada penahanan HRS, hingga Sekjen HRS Center, Haikal Hassan, yang mengklaim ketemu Nabi, semua itu seolah terjadi dalam cara yang saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Ini belum tentang agenda “Revolusi Akhlak” yang katanya hendak disosialisasikan ke seluruh Negeri, hingga puncaknya adalah tentu saja “NKRI bersyariah”.
Sehubungan dengan itu, Direktur Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Irfan Abubakar menduga organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) ingin membawa Indonesia ke arah paradigma agama tertutup.
“Kalau benar bahwa FPI menginginkan negosiasi dengan [Menko Polhukam] Mahfud MD itu, mereka ingin penerapan syariat [Islam], pembebasan narapidana teroris, Indonesia bertauhid dan seterusnya. Saya kira jangan-jangan mereka serius ingin membawa Indonesia kepada paradigma [agama] yang tertutup,” kata Irfan lewat konferensi video, Selasa (15/12), dikutip CNNIndonesia.
Menurut Irfan, paradigma agama yang tertutup itu marujuk pada masyarakat yang memiliki eksklusifitas terhadap kepercayaan mereka dan enggan membuka diri kepada perbedaan.
Padahal, demikian Irfan, saat ini Indonesia memiliki paradigma agama semi terbuka. Dengan paradigma itu masyarakat masih menoleransi perbedaan dalam penerapan akhlak dan muamalah (interaksi sosial).
“Doa bersama, itu tidak berarti membuat kita jadi kafir. Toh kita baca doa masing-masing. Mengucapkan natal juga tidak membuat orang keluar dari zona eksklusivitasnya,” jelasnya.
Ia mengatakan pendekatan seperti ini cocok diterapkan di Indonesia yang plural. Sedangkan, dikatakan oleh Irfan bilamana pendekatan negara berbasis tauhid yang diserukan pimpinan FPI Rizieq Shihab itu tidak cocok dengan Indonesia.
Sebagai contoh, Arab Saudi yang umumnya lebih tertutup soal agama sudah mulai membuka ruang bagi toleransi dan perbedaan. Ini karena secara ekonomi, negara itu perlu menggaet pasar di sektor pariwisata.
Sementara itu, studi CSRC di tahun 2020 ini menemukan masih ada 30 persen masyarakat yang mudah terprovokasi oleh propaganda isu agama, ras dan antar-golongan di media sosial. Ini berkaitan dengan makin menguatnya konservatisme agama di Indonesia.
Malahan, sebuah survei menemukan bahwa konservatisme ternyata disebabkan oleh maraknya politisasi agama.
“Sebelumnya ada pandangan konservatisme agama disebabkan oleh propaganda Timur Tengah, kemudian kelompok salafi mulai menguat dan mempengaruhi politik. Tidak begitu ternyata,” kata Irfan.
“Ternyata penggunaan oleh aktor-aktor politik oportunis menggunakan agensi-agensi pimpinan agama yang populis untuk mendorong mobilisasi suara mereka, itu yang kemudian menyebabkan orang yang terpolarisasi itu benar-benar konservatif,” pungkasnya.