Andai judul di atas ditanyakan kepada Kiai Ali Mustafa Yaqub (1952-2016) dan Prof. Quraish Shihab, mungkin jawaban yang akan diperoleh adalah “Sangat mungkin dan harus.” Tanpa mengingkari adanya perbedaan di antara Sunnah-Syiah ataupun NU-Wahabi, kedua tokoh ini mengajak kita untuk tidak melupakan adanya titik temu. Kiai Ali Mustafa Yaqub mewariskan gagasannya itu ke dalam buku yang berjudul “Titik Temu Wahabi-NU” (2015). Sedangkan Prof. Quraish Shihab dalam buku yang berjudul “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian atas Konsep dan Pemikiran” (2007).
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada sebagian pihak yang hingga kini terus asyik mengulik-ulik perbedaan di antara NU-Wahabi ataupun Sunnah-Syiah (dalam batas tertentu, keasyikan ini juga perlu), baik kiranya jika kajian titik temu juga digaungkan. Mengimbangi kejenuhan dan kegundahan umat menyimak narasi benturan dan pembenturan di antara sesama umat Islam. Ujungnya, kita berharap masyarakat akan semakin dewasa dan cerdas. Bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Namun, kita tetap dapat bergandeng tangan dengan perbedaan masing-masing. Kita dapat berjalan beriringan tanpa harus diseragamkan.
Terkait titik temu NU-Wahabi, buku Kiai Ali Mustafa Yaqub menarik untuk disimak. Di bagian awal buku setebal 119 halaman ini, kita akan disajikan sejarah singkat Wahabi dan NU. Lebih lanjut, Kiai Ali Mustafa Yaqub yang merupakan santri Tebuireng di bawah asuhan Kiai Idris Kamali (1887-1987) itu menguraikan penyebab kerenggangan Wahabi dan NU selama ini, baik faktor internal maupun eksternal.
Di antaranya adalah karena ada sebagian pihak dari keduanya yang tidak mau untuk saling memahami dan mengenal secara lebih dekat dan objektif. Di lembar-lembar berikutnya, kita akan ditunjukkan contok titik temu Wahabi-NU. Tersaji pula dialog silaturahmi 14 Februari 1987 antara delegasi PBNU yang dipimpin oleh Kiai Sahal Mahfudz (1937-2014) dengan Mufti Arab saudi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz (1909-1999).
Di sisi lain, buku Prof. Quraish Shihab mengajak kita untuk menilik titik temu Sunnah-Syiah. Termasuk di dalamnya adalah titik bersepakat untuk saling berbeda. Sebagai dua aliran besar yang lahir dalam masyarakat muslim, keduanya memiliki persamaan sekaligus perbedaan.
Hanya saja, Prof. Quraish menyayangkan selama ini sisi perbedaan lebih banyak diangkat dan dibicarakan. Bahkan dengan sengaja dijadikan sebagai benih permusuhan. Diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menarik jika kita berani secara objektif menyinggahi sisi perbedaan dan sekaligus sisi persamaannya. Mulai dari rukun Iman dan Islam kedua aliran, sikap terhadap para sahabat dan keluarga Nabi, hingga masalah furu’ (rincian cabang ajaran) dari keduanya.
Dengan demikian, kita akan terkayakan pandangan untuk memahami mengapa perbedaan itu ada.