Nabi Muhammad SAW merupakan yatim piatu sejak kecil. Ayahnya meninggal di Darun Nabighah ketika Nabi SAW masih berusia dua bulan dalam kandungan, sedangkan ibunya meninggal di Abwa ketika beliau SAW berusia enam tahun. Kedua orangtua yang seharusnya merawat nabi meninggal dunia, ia pun hidup berdikari sedari kecil.
Setelah kepergian ibunya, Nabi Muhammad SAW diasuh oleh kakeknya yang bernama Abdul Muthalib (pemimpin kota Mekkah). Namun usianya sudah sangat lanjut (berusia 110 tahun), sehingga Nabi SAW berada dalam pengawasan dan asuhan Abdul Muthalib hanya selama dua tahun saja.
Baca juga: Kisah Abdul Muthalib dan Perebutan Sumur Zamzam
Setelah kepergian Abdul Muthalib, Nabi Muhammad SAW diasuh oleh paman beliau bernama Abu Thalib. Pada saat itu, usia Nabi SAW masih delapan tahun. Namun, ada pertanyaan besar yang perlu sebuah jawaban, yaitu mengapa Abu Thalib yang menjadi pengasuh dan perawatnya? Apakah tidak ada pamannya yang lain?
Syekh Hamami rah.a dalam tafsir surat Yasin ketika menjelaskan ayat innaka laminal mursalin menerangkan bahwa, paman Nabi Muhammad SAW itu berjumlah dua belas. Delapan orang tidak diketahui keberadaannya, sementara yang empat orang lagi adalah Hamzah, Abbas, Abu Thalib, dan Abu Lahab. Dua orang beriman kepada Nabi Muhammad SAW yakni Hamzah dan Abbas; dan dua orang lainnya tidak beriman kepada Nabi Muhammad SAW yaitu Abu Thalib dan Abu Lahab.
Pada kitab tafsir itu dijelaskan bahwa, sebelum meninggal Abdul Muthalib memanggil putra-putranya yang notabene merupakan paman Nabi SAW tersebut. Abdul Muthalib bertanya kepada mereka terkait kesanggupan mereka untuk mengasuh, merawat dan mendidik Nabi SAW.
Orang yang pertama menawarkan diri adalah Abu Lahab. Dengan sigapnya Abu Lahab berkata bahwa dirinya akan sanggup untuk mengasuh, merawat dan mendidik Nabi SAW sesuai dengan wasiat dan seperti perlakuan Abdul Muthalib kepada Nabi SAW.
Namun, Abdul Muthalib merasa ragu akan kesanggupan itu, karena beliau mempertimbangkan harta kekakayaan dan jabatan yang dimiliki Abu Lahab. Menurut Abdul Muthalib, kedua hal tersebut dapat membawa diri menjadi seorang yang kurang penyayang terhadap orang lain. Oleh karena itu, Abdul Muthalib tidak menyerahkan Nabi SAW kepada Abu Lahab.
Kemudian Hamzah langsung menyambut kesempatan itu dan menyatakan kesanggupannya untuk mengurus, merawat dan mendidik Muhammad SAW kecil. Akan tetapi, Abdul Muthalib berkata padanya bahwa Hamzah lebih bagus dan lebih cocok jika menjadi penolong Nabi SAW ketika susah dan ketika sedih. Akan tetapi Hamzah tidak cocok untuk menjadi pengasuhnya. Sebab dirinya itu tidak memiliki anak, sehingga tidak mengenal karakteristik anak kecil. Dengan kata lain, Abdul Muthalib tidak menyerahkan Muhammad kecil pada Hamzah.
Mendengar ada kriteria punya anak, Abbas langsung menawarkan diri. Sebab, Abbas merupakan paman Nabi SAW yang memiliki banyak anak. Akan tetapi tidak dapat disangka ternyata Abdul Muthalib malah menolaknya juga, dengan alasan bahwa dirinya memang pantas menjadi pengasuh Muhammad kecil, akan tetapi anaknya terlalu banyak. Abdul Muthalib khawatir nanti Nabi SAW kurang mendapat perhatian dan kasih sayang darinya, sehingga Nabi SAW akan terlantar.
Selanjutnya Abu Thalib berdiri dan berkata bahwa dirinya sanggup untuk melayani, merawat, melindungi, dan mendidik Muhammad kecil dengan sebaik-baiknya perhatian, pelayanan dan pendidikan melebihi yang dia berikan kepada anaknya. Dengan catatan sesuai kemampuan dan selama nyawa masih dikandung badan.
Abdul Muthalib tersenyum, kemudian berkata kepada Abu Thalib bahwa dirinya memang layak dan pantas untuk merawat, mengasuh, melindungi dan mendidik Muhammad SAW. Tetapi Abdul Muthalib tidak menginginkan keputusan sepihak dari dirinya saja. Sehingga, Abdul Muthalib memanggil Muhammad kecil dan bermusyawarah serta bertanya padanya terkait kesiapan pengasuhan Abu Thalib padanya. Apakah Muhammad kecil bersedia untuk diasuh oleh Abu Thalib atau malah bersedia diasuh oleh paman-pamannya yang lain?
Setelah Abdul Muthalib melakukan musyawarah dengan Muhammad kecil, lantas beliau membawanya kehadapan paman-pamannya itu, lalu memerintahkannya untuk memilih sendiri terkait siapa yang lebih layak dan lebih pantas menurut dirinya untuk mendapatkan hak asuh dan hak rawat bagi dirinya diantara para pamannya itu.
Muhammad kecil kemudian berdiri dan menghadap para pamannya itu, lalu mendekati mereka dan selanjutnya memeluk Abu Thalib yang menandakan bahwa dirinya memilih dan ingin diasuh serta dididik dibawah asuhan Abu Thalib.
Melihat hal itu, Abdul Muthalib merasa senang karena ternyata pikirannya sinkron dengan pikiran Muhammad kecil. Dengan kata lain, pendapat Abdul Muthalib sesuai dengan pendapat Muhammad kecil terkait orang yang benar-benar layak untuk mengasuhnya itu.
Kemudian dengan sepenuhnya Abdul Muthalib menyerahkan pengasuhan Muhammad kecil kepada Abu Thalib. Dengan demikian, wajar kalau kafir Quraisy menyebut Muhammad sebagai anak yatimnya Abu Thalib.
Berdasarkan kisah ini, ternyata hampir seluruh paman Nabi SAW ingin menjadi pengasuh, perawat, pelindung, dan pendidik Muhammad kecil. Namun, tidak semua mendapat kesempatan dan kemulian tersebut, kecuali Abu Thalib.
Selain itu, pada kisah ini ada beberapa pesan penting yang bisa diambil yakni: pertama, mengasuh anak kecil haruslah dengan perhatian dan kasih sayang. Kedua, pengasuh anak kecil haruslah orang yang memahami anak kecil dan memiliki sifat kasih sayang. Ketiga, terlalu banyak anak akan mengurangi perhatian dan kasih sayang pada anak yang lain.
Keempat, orang yang memiliki harta dan/atau jabatan tidak cocok menjadi pengasuh anak kecil. Kelima, setiap keputusan di antara keluarga atau secara internal harus diketahui oleh seluruh keluarga dengan jalan musyawarah. Tidak boleh langsung memutuskan berdasarkan sebelah pihak saja. Keenam, anak yang baik berawal dari didikan yang baik, bemutu dan berkualitas di lingkungan keluarga.
Baca juga: Kisah Ayah Rasulullah SAW Yang Dirayu Perempuan Suku Khats’miyah
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kasih sayang adalah pondasi utama dalam sebuah pendidikan, sehingga akan menghasilkan anak yang bermutu, berkualitas, dan memiliki kredibilitas yang tinggi. Dari cara Abdul Muthalib menyeleksi orang yang akan merawat nabi, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa anak yang bemutu mesti berasal dari didikan yang bermutu pula. (AN)