Dalam unjuk rasa 1310, Habib Rizieq Syihab (HRS) dikabarkan akan memimpin revolusi setibanya di Indonesia. Ini menurut Ketum FPI Ahmad Shabri Lubis. Publik pun heboh. Sialnya, Istana merespon, seolah-olah tidak ada yang lebih penting dari itu.
Tapi, revolusi seperti apa yang dibayangkan oleh FPI?
Rupanya, lewat Sekretaris Umum FPI, Munarman, revolusi yang dimaksud di sini adalah revolusi akhlak.
“Kalau rezim Pak Jokowi dengan pimpinan Pak jokowi membuat slogan revolusi mental, maka Habib Rizieq menyuarakan, dan membawa, serta akan memimpin revolusi akhlak,” kata Munarman via Channel YouTube Front TV, Minggu (18/10/2020).
Nah, masalahnya adalah akhlak seperti apa yang dibayangkan akan direvolusi oleh HRS?
“Akhlak yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, akhlak yang dari orang suka bohong direvolusi jadi tidak bohong, orang yang tidak suka salat menjadi orang yang suka salat, orang yang suka khianat jadi tidak khianat, itu yang mau diajak oleh Habib Rizieq, revolusi orang yang terjajah menjadi tidak tertindas, orang yang dizalimi jadi orang yang bebas dari penzaliman,” jelas Munarman lebih lanjut.
Terus terang, mendengar kata “revolusi akhlak” itu, saya jadi terkesima. Niatan tersebut tentu saja sungguhlah mulia. Sejak dulu, Nabi Muhammad pun diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Lebih dari itu, saya jadi curiga bahwa jangan-jangan HRS secara diam-diam telah mengamini petuah sekolah Frankfurt generasi awal. Ya, lewat tokoh sekolah Frankfurt yang masyhur, Max Horkheimer dan Theodor Adorno, keduanya mengatakan bilamana segala aktivisme revolusioner yang penuh kekerasan hanya akan menghasilkan penderitaan yang lebih mengerikan.
Maka perkiraan saya, klaim “revolusi akhlak” yang, konon, akan dipimpin oleh HRS itu tak ubahnya sebuah upaya FPI untuk mencitrakan kembali dirinya sebagai kelompok yang (seolah-olah) berperangai adiluhung, rajin beribadah, dan punya keberpihakan kepada mereka yang lemah. Ini kalau saya boleh berbaik sangka, dan kalau “revolusi akhlak” dimengerti secara netral.
Sialnya, dunia ini bekerja dengan penuh kepentingan. Membayangkan “revolusi akhlak” FPI sebagai bebas nilai, itu sama halnya dengan menanam uang koin dan berharap jadi pohon duit: mustahil.
Baik, mari kita tela’ah.
Sejak awal, adanya kumandang bahwa HRS akan memimpin sebuah revolusi saja, itu sudah kelewat keliru. Apalagi jika diksi revolusi itu disandingkan dengan kata “akhlak”, yang terjadi justru hadirnya sebuah kontras.
Ada tiga kata kunci penting di sini: revolusi; akhlak; dan HRS. Jika “revolusi” bersanding dengan “akhlak”, maka itu masih bisa dimengerti. Tapi, jika “revolusi akhlak” disandingkan dengan HRS, saya kira itu bermasalah. Tapi, ini bukan berarti saya meragukan akhlak seorang Habib Rizieq, bukan!!
Sebagai seorang personal, saya yakin betul kalau HRS tidak awam lagi dengan pendidikan akhlak. Bahkan, cermin dari akhlak HRS itu terpantul dalam gaya dakwahnya yang mencoba untuk mentobatkan para preman dan berandalan. Dan, itulah masalahnya.
Lewat buku Politik Jatah Preman, Ian Douglas Wilson mencatat sebuah wawancara dengan Habib Rizieq. Dalam wawancara itu, HRS mengakui bilamana banyaknya kasus pemalakan dan pemerasan oleh anggota FPI merupakan dampak dari upaya “merangkul” para berandalan dan preman.
Sementara itu bagi preman-preman lokal, FPI seolah memberi tudung baru bagi laku pemerasan. Mereka “hijrah” dari, misalnya, Pemuda Pancasila dan Ormas vigilante lainnya dengan anggapan bahwa “Islam” dapat menjadi tudung organisasi yang paling mutakhir dan paling ampuh untuk menyalurkan hasrat bar-barisme, seperti palak dan pungli kepada mereka yang tidak memiliki tameng kultural maupun politik.
Dan, dengan retorika amar ma’ruf nahi munkar FPI kerap mengobrak-abrik tempat-tempat yang dianggap sebagai sarang maksiat. Meski begitu, target operasi yang dipilih oleh FPI bukan tanpa perhitungan. Dalam catatan Wilson dikatakan bahwa keberadaan bar, kelab malam, atau bahkan rumah bordil yang memiliki irisan (bahkan perlindungan) dengan militer atau tokoh-tokoh kuat lainnya adalah pengecualian.
Di titik ini, FPI sudah tidak lagi konsisten. Malahan, mereka terkadang ikut bermain dalam pusaran “pajak haram” dari berbagai bisnis legal dan kotor, sejenis centeng moralitas yang mengambil untung dari keberadaan industri “maksiat” yang, katanya, hendak dienyahkan. Demikian Wilson mewawancari anggota FPI di Jakarta, medio 2007 silam.
Lebih dari itu, kekuatan FPI hari ini senyatanya telah menjadi perhitungan tersendiri bagi elit politik. Dalam beberapa kasus, seperti dikatakan oleh Mantan Kapolri Sutanto (2005-2008), FPI selalu berguna bagi “anjing penyerang” manakala dibutuhkan, dan karena itu mereka secara reguler menerima pendanaan dari polisi serta Badan Intelejen Negara.
Alhasil, tidak mengherankan jika output dari aksi-aksi FPI berujung pada sebuah anarki, karena tidak saja bermasalah sejak perekrutan anggotanya, tetapi FPI juga terkadang dimanfaatkan oleh (oknum) aparat untuk memuluskan persekutuan bawah meja.
Jadi, kalau HRS benar-benar akan melakukan “revolusi akhlak”, maka revolusi itu pastilah akan digalakkan kepada para anggota FPI terlebih dahulu. Ini jika akhlak dimengerti sesuai tuntunan al-Qur’an dan as-Sunah.
Lagi pula, kalau mau saklek mengikuti pedoman ayat suci, setiap orang yang menegakkan shalat pastilah memancarkan aura kebaikan yang outputnya berupa kesantuan, kedamaian, dan keteduhan perangai. Sayang, kelakuan FPI sementara ini masih jauh dari itu semua.
Yah, kecuali sebatas “aksi damai” berjilid-jilid. Itu pun kalau mau diperdebatkan lebih jauh, klaim damai dalam aksi damai tersebut masih teramat-amat-amat-amatttttt sangat rapuh.