Tanggal 10 Muharram (peringatan hari Asyuro) selalu disambut sebagai peringatan terhadap tragedi gugurnya Sayyid Husein di Karbala. Banyak keutamaan di tanggal tersebut, yang mendorong umat Islam dari kalangan Sunni-Syiah mengekspresikan hari itu dengan bermacam tradisi dan peringatan. Termasuk di dekat tempat tinggal saya dari kalangan masyarakat Adat Kabuyutan Dayeuh Luhur Geger Kalong di kota Bandung.
Dikutip pada laman status Facebook Kabuyutan Geger Kalong, peringatan Asyuro diklaim untuk melestarikan adat budaya leluhur Geger Kalong peninggalan Sesepuh Mama Muhammad Hasan Nur Ali. Peringatan juga sebagai wujud kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Arak-arakan budaya dimulai dari depan masjid Nurul Falah hingga makam sesepuh. Lebih lengkapnya bisa diakses di tautan ini.
Perlu diketahui, lokasi perayaan berada di Jalan Geger Kalong yang sangat dekat dengan pesantren Darut Tauhid asuhan Abdullah Gymnastiar (Aa Gym). Di daerah ini cukup banyak bermukim masyarakat Islam Ahlusunah Waljamaah atau kelompok Sunni. Lokasi ini juga dekat dengan Universitas Pendidikan Indonesia, tempat banyak mahasiswa indekos yang bermukim.
Peringatan Asyuro justru mendapat protes dari berbagai kelompok Islam. Penjelasan ini perlu diutarakan karena masyarakat Adat Kabuyutan Dayeuh Luhur sebagai kelompok kecil di tengah kota yang merasa perlu menampilkan identitasnya.
Beberapa ormas Islam di Bandung ramai menolak perayaan Asyuro tersebut. Penolakan yang terjadi di tahun ini bukan pertama kalinya. Penolakan terhadap peringatan Asyura ini sudah bertahun-tahun mendapat penolakan dari berbagai ormas Islam di Bandung. Ditambah lagi lewat propaganda yang memuat kebencian dari media keislaman online macam suaraislam.id dan arrahmah.com. Situs tersebut kerap menyebut bahwa ritual Asyuro merupakan tradisi Syiah yang menyesatkan umat menuju kemusyrikan dan mengundang datangnya musibah.
Walaupun sudah mengantongi izin dari pihak kepolisian, namun kebencian kolektif sebagian kelompok Sunni terhadap kelompok yang dianggap Syiah sudah demikian terinternalisasi. Hasilnya, kelompok yang mengklaim dirinya sebagai representasi Sunni menolak keberadaan peringatan ini, karena dianggap meyakini ajaran Syiah.
Jika Kabuyutan Dayeuh Luhur diidentifikasikan sebagai penganut Syiah, tradisi yang dilakukanya justru berbeda dengan tradisi Syiah di Indoenesia lainya yaitu perilaku Taqiyya. Perilaku Taqiyya diartikan sebagai melenyapnya identitas seseorang Syiah dalam sebuah kelompok masyarakat non-Syiah. Ini dilakukan untuk membela diri secara diam-diam dan melindungi identitas individu dan komunitas Syiah yang jumlahnya minoritas. Kesalehan yang ditampilkan terbuka oleh Kabuyutan Geger Kalong tentu berbeda dari konsep ajaran Taqiyya secara umum.
Syed Vali Nasr, dalam bukunya The Shia Revival: How conflicts within Islam will shape the future mengungkapkan konflik Sunni dan Syiah bermula setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Ini terjadi setelah Abu Bakar terpilih menjadi suksesor pemimpin umat Islam setelah Nabi. Di sisi lain, keluarga dekat Ahlul Bait mengharap Ali bin Abi Thalib yang layak menggantikan karena pertimbangan kedekatan keluarga.
Tragedi Karbala menjadi puncak terpecahnya Sunni-Syiah dalam terbunuhnya Sayyid Husein bin Ali oleh Pasukan Khilafah Yazid bin Muawiyah (Hazleton, 2010). Saat itu, Sayyid Husein merepresentasikan Ahlul Bait dan Yazid bin Muawiyah merepresentasikan kalangan Sunni (Nasr, 2007). Gugurnya Husein tidak hanya berimplikasi secara sosial-politik, namun juga menjadi pokok ajaran teologi dari Syiah.
Sementara konflik historis Sunni-Syiah di Indonesia terjadi dalam waktu cukup panjang. Kita semua mendengar kasus Syiah di Sampang Madura. Konflik ini bahkan mencatat banyak korban jiwa yang berjatuhan. Selama itu juga, umat tidak bisa menampilkan identitas ritual keagaaman secara merdeka dan terbuka. Bahkan harus beribadah secara sembunyi agar tidak mendapat tekanan dari maasa.
Di Yogyakarta, Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia melakukan propaganda anti-syiah dan bahkan Front Jihad Indonesia menyerang jamaah Syiah yang tergabung dalam lembaga studi Rausyan Fikir. Fenomena anti Syiah dilakukan sebagai bentuk homogenisasi gerakan Islam oleh kelompok Suni Konservatif (Makin, 2017). Artinya, klaim yang dilakukan berdasar hanya pada kebenaran sepihak versi kelompok Sunni konservatif saja.
Termasuk di Solo belum lama ini pada tanggal 8 Agustus 2020, persekusi berupa penyerangan fisik juga terjadi di rumah Habib Umar Asegaf di komplek Pasar Kliwon. Penyerangan ini dipicu oleh kecurigaan kelompok terhadap keluarga Habib Umar Asegaf yang diduga melaksanakan ritual Syiah.
Bhineka Tunggal Ika sebagai asas keberagaman di Indonesia saat ini sudah menjadi mitos yang terus diproduksi. Betapa tidak, jika kelompok etnis-agama yang dianggap pinggiran dan kelompok yang selalu mendapat diskriminasi tidak mendapatkan hak yang sama untuk bersuara. Religiusitas bukan menjadi masalah yang kecil, Religiusitas terus berkelindan dengan kehidupan sehari-hari.
Kita tidak cukup membuka ruang dialog antar kelompok dengan modal toleransi. Toleransi seringkali hanya berujung pada pengakuan terhadap kelompok lain saja, tapi masih memiliki implikasi superioritas kelompok sendiri. Hanya sebatas pengakuan untuk ada, belum sampai pada aspek bahwa kita semua adalah warga Indonesia yang setara. Sikap dan pandangan multikulturalisme harus dimaknai sebagai bentuk praktik dan usaha mengakui sekaligus memberi penghargaan pada kesederajatan dalam bernegara.