Dalam al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 104 Allah SWT berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Tidak ada riwayat yang secara spesifik menujuk sabab nuzul pada ayat tersebut. Tapi, ia ada hubungannya dengan ciri masyarakat yang, menurut definisi Kontjaraningrat, disebut sebagai sekumpulan manusia yang saling berinteraksi dengan ciri-ciri adanya interaksi, adat istiadat, kontinuitas waktu, serta rasa identitas yang kuat yang mengikat semua warga. (Koentjaraningrat, 2009: 115-118). Dalam ciri sosial seperti itulah masyarakat baru yang sedang coba dibangun oleh kanjeng Nabi saat surat ini turun pada tahun ketiga hijrah (al-Jabiri, 2004: 135-136).
Meski begitu, literatur-literatur asbab an-nuzul seperti Al-Wahidi dan as-Suyuthi mengatakan bahwa tidak ada asbab an-nuzul sehubungan dengan ayat di atas. Keduanya menyebutkan sabab nuzul Q.S. Ali Imran ayat 101 kemudian melompat ke ayat 110. Izzah Darwazah merujuk pada riwayat Thabari yang menyebutkan bahwa ayat ini turun bersamaan dengan dua ayat sebelumnya. (Darwazah; 2000, juz 7, 445).
Riwayat Ibn Abbas menceritakan perselisihan antara beberapa orang dari suku Aus dan Khazraj yang berselisih paham sehingga masing-masing mengambil senjata dan siap untuk adu pedang. Kejadian ini kemudian disampaikan kepada Nabi SAW. Mendengar ini, beliau SAW kemudian mendatangi mereka, lalu turunlah Surat Ali Imran ayat 101-103 (al-Wahidi: 1991, 120-121).
Pesan utama ayat ini adalah dorongan untuk adanya sebagian elemen dari kelompok masyarakat yang pertama, menyeru pada kebaikan (khair). Kedua, memerintah pada makruf. Ketiga, mencegah dari berbagai perkara kejahatan (munkar). Ketiga elemen ini adalah prasyarat utama untuk terbentuknya masyarakat yang beruntung.
Ayat ini seringkali dipahami sebagai landasan utama bagi setiap muslim untuk menjalankan perintah amr ma’ruf nahy munkar, menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. sebuah cara pandang yang memunculkan fenomena saling mengingatkan antar sesama yang pada dasarnya adalah nilai-nilai positif. Namun tidak jarang pula karena satu dan lain hal, sikap ini sampai pada level cringe, nyebahi, dan kontraproduktif.
Perbedaan term khair dan ma’ruf telah banyak diulas para mufasir. Di sini penulis ketengahkan uraian Prof Quraish Shihab yang menyebutkan khair sebagai nilai-nilai universal yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunah. Sedangkan ma’ruf, sebagaimana akar katanya, adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan al-khair.
Ibn Asyur juga membagi term khair dalam ayat ini ke dalam dua kategori. Pertama, khair yang umum. Sehingga semua orang bisa saling menghimbau dan mengajak. Kedua, khair tertentu yang butuh keahlian khusus sehingga tidak semua orang bisa berbicara tentang persoalan ini. Di titik inilah seringkali kita bertemu dengan keruwetan.
Sampai saat ini, sudah tidak terhitung broadcast menghiasi grup-grup whatsapp kesayangan yang berisi petuah-petuah dari orang-orang entah siapa namanya lewat orang-orang yang kita kenal dan sayangi. Kebanyakan menggunakan bahasa-bahasa provokatif dan/atau sentimentil untuk menarik atensi pembacanya. Sekali kita terperangkap dalam logika berpikir broadcast-broadcast tersebut, maka dalam hitungan detik, kita akan menjadi agen pesan-pesan anonim tersebut.
Sampai beberapa waktu lalu, kata-kata jangan berhenti di kamu masih menjadi senjata ampuh. Namun sekarang sudah tidak laku lagi. Kini, cara-cara norak itu telah beralih ke pola-pola narasi provokatif yang lebih canggih. Di tahap ini, kita banyak menemui beberapa orang tertentu yang tiba-tiba ahli dalam segala bidang; tentang terorisme dia aktif jadi kriminolog, lagi rame isu keagamaan mendadak ustaz, lagi ramai isu kesehatan dia jadi lebih ahli dari dokter spesialis.
Ayat di atas tidak meminta semua orang untuk aktif melakukan tindakan-tindakan prasyarat-prasyarat pembentukan masyarakat termaktub. Ia menyebutkan waltakun minkum ummat. Hendaklah sebagian di antara kamu segolongan umat.
Ibn Asyur menyebutkan mereka adalah para segolongan orang yang terikat oleh satu landasan dan tujuan yang sama; baik nasab, tempat tinggal, maupun agama. Dalam konteks sekarang, mereka adalah sekelompok orang-orang tertentu dalam tatanan masyarakat yang dipersatukan oleh kompentensi dan kewenangan masing-masing.
Hal ini karena dalam keterangan keterangan selanjutnya, Ibn Asyur mengaitkan keterangan mengenai sekelompok orang ini dengan Q.S. at-Taubah 122.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ
Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.
Akhirnya, pembentukan konstruksi sosial merupakan tanggung jawab para hukama; mereka yang memiliki kompetensinya masing-masing. Lebih-lebih modernitas mencirikan semakin kompleksnya pengetahuan. Sehingga adalah sesuatu yang mustahil satu orang, atau satu kelompok orang menguasai bermacam kelompok ilmu pengetahuan. tak terkecuali ustaz. Apabila pada kenyataannya ditemui oknum-oknum seperti itu, pada dasarnya ia tak tahu apa-apa.