Barangkali, ada setidaknya tiga tingkatan dalam bertauhid dan memaknai kalimat “Laa ilaaha illallaah”.
***
Tingkatan pertama, memaknai kalimat tersebut sebagai “Tiada Tuhan selain Allah”. Jadi yang berhak diyakini sebagai Tuhan hanyalah Allah, sedangkan selain Allah bukan Tuhan.
Dalam tingkatan ini, kita fokus kepada dzat yang bernama “Allah”. Kita meyakini bahwa nama Tuhan adalah “Allah”, berdasar apa yang disebut dalam kitab suci.
Jebakan dari tingkatan ini adalah kita terpaku pada nama. Akibatnya, muncul kasus semacam ajakan di medsos, “Tulislah ‘Alloh’, bukan ‘Allah’. Allah adalah penyebutan cara orang kafir.” Atau peristiwa yang pernah terjadi di Malaysia, ketika nama “Allah” tidak boleh digunakan oleh umat selain Islam.
Implikasi sikap seperti di Malaysia itu adalah klaim, “Allah tuh Tuhanku, Tuhanmu namanya lain.” Itu jenis klaim yang dapat membawa ke dua akibat.
Pertama, syirik karena mempertuhankan nama Allah, bukan mempertuhankan dzat Allah itu sendiri.
Hakikat nama adalah pembatasan. Pisang dinamai pisang, agar tidak rancu dengan mangga. Kambing dinamai kambing, agar tidak kacau dalam mengidentifikasi dan keliru menunjuk sapi. Bambang dinamai Bambang, biar tak salah maksud dengan Agus.
Nama adalah batasan. Padahal, dzat Allah adalah dzat yang Maha-Tak-Berbatas. Ia tidak terganjal batasan-batasan. Ia menyebut nama-Nya untuk mengidentifikasi diri-Nya, sekadar untuk mempermudah makhluk-Nya saat menyebut-Nya.
Kedua, dengan menyebut “Tuhan kita beda dong. Tuhanku beda dengan Tuhanmu!”, bisa-bisa kita meninggalkan tauhid (monotheisme), dan jatuh ke jurang politheisme. Tanpa sadar pengucap kalimat itu telah mengatakan bahwa Tuhan ada banyak, tapi Tuhannya orang Islam adalah Allah, dan Tuhannya umat lain ada lagi.
***
Tingkatan kedua, memaknai kalimat “Laa ilaaha illallaah” sebagai “Tiada Tuhan selain Tuhan”.
Di sini, kita tidak lagi mempertuhankan apa pun selain dzat Tuhan itu sendiri. Tidak menyembah harta, jabatan, karier, popularitas, martabat diri dan kelompok, cagub dan capres idola, bahkan tidak mempertuhankan agama.
Tentang poin yang disebut terakhir, ini kalimat yang acap disampaikan sebagai pengingat: “Syariat adalah bagian dari agama. Jangan melihat syariat sebagai agama itu sendiri. Agama adalah jalan menuju Tuhan. Jangan keliru menempatkan agama sebagai Tuhan itu sendiri.”
***
Tingkatan ketiga, memaknai kalimat “Laa ilaaha illallaah” sebagai “Tak lagi ada apa pun selain Tuhan”.
Di tataran ini, kita menemukan Tuhan di mana-mana. Di langit, di bumi, di tetumbuhan dan hewan, di tanah, di air, di jalanan, di buku-buku, di HP, bahkan di dalam diri kita sendiri.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, maka di situlah wajah Allah.” (QS. al-Baqarah: 115).
NB: Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan INFID