Alkisah, pada suatu hari Abdullah bin Abdil Muthalib yang merupakan ayah dari Rasulullah SAW berjalan melewati seorang perempuan dari suku Khats’am yang bernama Fathimah binti Murr. Riwayat lain menyebut bahwa perempuan itu adalah Qatilah binti Naufal, saudara Waraqah bin Naufal. Dia adalah perempuan yang sangat cantik, masih muda dan sangat menjaga kemuliaannya. Karena itulah, pemuda Quraisy banyak membicarakan dirinya. Kemudian perempuan itu melihat cahaya kenabian memancar pada wajah Abdullah bin Abdil Muthalib, ayah sang Rasulullah.
Ketika bertemu dengan Abdullah dia bertanya kepadanya, “Wahai pemuda, siapa namamu?” Abdullah lalu menerangkan siapa dirinya. Dan perempuan itu kembali bertanya kepadanya, “Apakah engkau mau tidur bersamaku, dan nanti aku berikan engkau seratus ekor unta.” Kisah ini sebagaimana riwayat yang diceritakan oleh Abul Fayyadh al-Khats’mi dalam ‘Uyun al-Hikayat min Qashash ash-Shalihin wa Nawadir az-Zahidin, karya Ibnu al-Jauzi.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Abdullah memandangnya lalu berkata, “Jika engkau mengajakku melakukan perbuatan yang terlarang, maka kematian lebih kupilih. Jika itu perbuatan yang dilakukan dalam kehalalan, maka harus kupikirkan terlebih dahulu. Tentang bagaimana hari esok, apa yang engkau rencanakan?”
Setelah bertemu perempuan tersebut, Abdullah pergi menemui istrinya yaitu Aminah binti Wahab. Dan saat itu juga, sang istri sedang bersamanya. Kemudian Abdullah menceritakan tentang sosok perempuan dari Khats’miyah itu, serta kecantikannya dan tawarannya. Hari berikutnya, Abdullah kembali menemui perempuan dari Khats’miyah, namun kali ini perempuan Khats’miyah itu tidak menyikapinya dengan antusias sebagaimana yang terjadi pada pertemuan sebelumnya.
Lalu Abdullah bertanya, “Apakah engkau sungguh-sungguh dengan tawaranmu.”
Si perempuan dari suku Khats’iyah tersebut menjawab, “Waktu itu aku menawarkannya kepadamu. Sedangkan hari ini tidak. Karena aku tidak ada keinginan lagi terhadapmu.”
Sang perempuan lalu bertanya kepada Abdullah, “Apa yang telah engkau lakukan selepas bertemu denganku?”
Abdullah bin Abi Muthalib lalu menjawab, “Aku meniduri istriku, Aminah binti Wahab.”
Mendengar jawaban dari Abdullah bin Abi Muthalib, si perempuan Khats’miyah lalu berkata, “Demi Tuhan! Aku bukanlah orang peragu. Tapi waktu itu, aku melihat cahaya kenabian di wajahmu. Maka aku ingin agar cahaya itu masuk ke tubuhku. Namun Tuhan berkehendak lain, dan meletakkannya sesuai yang Dia kehendaki.”
Kejadian itu pun akhirnya menjadi pembicaraan para pemuda Quraisy, bahwa perempuan Khats’miyah telah menawarkan dirinya kepada Abdullah, namun Abdullah menolaknya. Berbagai kabar buruk pun menimpa perempuan tersebut, hingga akhirnya ia membuat klarifikasi untuk menjelaskan sebab terjadinya peristiwa tersebut. Si perempuan Khats’miyah itu pun lalu berkata, “Aku melihat, padanya ada cahaya yang bersinar, yang menyinari semesta dengan cahaya berpendar.”
Maksudnya adalah dalam diri Abdullah bin Abdil Muthalib, ayah Rasulullah, sudah terdapat sebuah cahaya, yang akan membawa perubahan besar. Yaitu cahaya kenabian Nabi Muhammad SAW. Sehingga perempuan itu sangat menginginkannya masuk ke dalam tubuhnya.
Keturunan yang baik merupakan investasi masa depan, baik di dunia dan akhirat. Karena anak yang shalih dan shalihah adalah investasi pahala yang tidak akan pernah putus, hingga ajal menjemput. Oleh sebab itu, keturunan yang baik adalah dambaan setiap orang tua.
Selain itu, keturunan yang baik juga aset bagi sebuah bangsa yang sangat berharga. Bahkan baik, dan buruknya masa depan sebuah bangsa, ditopang oleh generasi selanjutnya. Oleh karena itulah menjaga keturunan adalah bagian dari tujuan syariat Islam. Dan cara menjaga keturunan tersebut adalah dengan melakukan hubungan badan yang sah menurut agama yaitu melalui pernikahan.
Karena hubungan badan antara suami istri yang sah adalah sebuah ibadah. Dan bisa mendapatkan pahala, jika disertai dengan niat baik seperti niat menjaga kehormatan diri dan istri, memenuhi hak istri sebagai bentuk mu’asyarah bil ma’ruf yang diperintahkan, niat mempunyai anak shaleh yang bisa membela agama dan tujuan baik lainnya.
Oleh karena itulah, pernikahan juga bagian dari media dalam menjaga keturunan. Karena kehidupan manusia tidak mungkin berlangsung dan berkelanjutan, kecuali dengan melahirkan generasi-generasi yang baik lewat hubungan yang legal secara agama.