Dalam surat at-Taghabun ayat 14 dijelaskan bahwa keluarga ternyata bisa jadi musuh seorang hamba.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ – ١٤
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Pada ayat di atas terdapat adanya peringatan kepada orang-orang beriman agar berhati-hati terhadap pasangan dan anak. Boleh jadi mereka menjadi musuh bagi kita semua sedang kita tidak menyadarinya. Faktor kedekatan dan hubungan keluarga terkadang mengandung beban tersendiri terkait “kejujuran dan keadilan” kita sebagai hamba Allah.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan terkait surat at-Taghabun di atas bahwa, Allah telah memberitakan tentang istri dan anak bahwa sebagian dari mereka adalah musuh. Dalam arti melalaikan pasangan atau orang tuanya dari amal salih. Sebagaimana terdapat pada QS 63:9.
Salah satu contohnya sebagaimana diungkap dalam tafsir Ibnu Katsir. Mengutip dari pendapat Imam Mujahid, bahwa ada kalanya seorang laki-laki terbawa oleh istri dan anaknya untuk memutus silaturahim atau bermaksiat kepada Tuhan-nya. Dan tidaklah seorang laki-laki mampu, berkenaan dengan cinta terhadap keduanya kecuali berujung menaati mereka.
Dalam konteks turunnya, Ibnu ‘Asyur mencantumkan riwayat dari Imam Tirmidzi dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini berkenaan dengan sekelompok orang yang hendak berhijrah namun dihalang-halangi oleh istri dan anaknya. Setelah mereka tiba di Madinah mereka mendapati bahwa banyak orang yang telah mendahului mereka dan telah jauh dalam memahami agama. Maka mereka ingin menghukum anak istrinya atas keterlambatan dan ketertinggalan itu lalu turunlah ayat untuk memaafkan kesalahan-kesalahan yang diperbuat anak dan istri mereka. Riwayat ini pula yang dicantumkan oleh al-Wahidi dalam kitab Asbab an-Nuzul.
Dalam riwayat Ibnu Abbas yang lain, ayat ini turun di Madinah berkenaan dengan ‘Auf bin Malik al-Asyja’i yang memiliki istri dan anak. Setiap kali ia hendak pergi berperang, keluarganya menangis dan memelas kepadanya sambil berkata, “Kepada siapa kau akan menitipkan kami?” Sehingga ia menjadi luluh dan urung berperang. Ia pun mengadukan ini kepada Nabi, maka turunlah ayat di atas sebagai tanggapan atas situasi mereka tersebut.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya menulis beberapa inti permasalahan. Salah satunya mengutip dari al-Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, kata ‘aduw (musuh) dalam ayat tersebut bukanlah musuh dalam bentuk dzat-nya secara mutlak (genuin) melainkan dari segi tindakan atau perbuatan.
Sebagaimana ditinjau dari adanya lafdz min tab’idiyyah yang berarti sebagian, jika seorang istri atau anak melakukan tindakan sebagaimana musuh, maka di situlah mereka menjadi musuh, karena tidak ada sesuatu yang lebih buruk selain upaya memisahkan seorang hamba dari ketaatan.
Kemudian penting untuk diperhatikan bahwa kategori ini tidak terbatas pada sosok istri saja. Bagi seorang istri, suami dan anak-pun bisa menjadi musuh untuknya. Hal ini ditunjukkan oleh redaksi lafadz yang umum. Kata azwaj di sana mencakup kategori keduanya tanpa adanya bias gender sebagaimana terdapat dalam ayat manapun dengan susunan lafadz yang serupa. Permasalahan tersebut juga dijelaskan oleh Imam Qurthubi.
Ayat tersebut juga bisa mengandung makna umum, terlepas dari asbab nuzul-nya, yaitu setiap potensi maksiat bisa juga disebabkan oleh anggota keluarga. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk berhati-hati dengannya. Juga sebaliknya, kita harus selalu berupaya agar tidak menjadi penghalang ketaatan bagi orang-orang terdekat kita.
Hanya Allah yang berkata benar dan Dia-lah yang menunjukkan jalan. (AN)
Wallahu A’lam