Gus Baha menerangkan bahwa mati syahid bukan hanya milik mereka yang memaknai jihad sebagai berperang. Jihad dalam cinta juga mendapatkan tempat syahid tersendiri di mata Allah SWT.
Selayaknya, perasaan cinta itu memang harus diungkapkan. Namun tidak semua punya nyali sedemikian besar. Pernahkah kalian ada pada sebuah momen merasa tidak berdaya? Harapan melayang tinggi, deretan kata-kata beterbangan di kepala, tapi ujungnya selalu jadi batu kerikil di ujung lidah. Akhirnya cinta urung diungkapkan, dan harus berdamai dengan diri sendiri.
Tulisan ini sengaja penulis susun untuk kalian sobat-sobat pejuang cinta di manapun berada, yang selama ini dirundung gelisah tak berkesudahan. Terkadang memang hidup tidak memberi kesempatan sehingga cinta dibawa sampai mati. Jihad cinta yang dibawa mati, ternyata punya tempat tersendiri di hadapan Allah SWT.
Oleh karenanya, mati karena memendam cinta merupakan salah satu bentuk syahid. Demikian disampaikan oleh ulama kharismatik asal Rembang, KH. Bahauddin Nursalim, atau yang akrab dengan panggilan Gus Baha.
“Jihad itu berjuang. Jihad dimaknai berperang itu kan sejak ada ekstremis. Tiap kondisi kamu kesusahan itu juga jihad.” Ujar Gus Baha.
Dalam sebuah pengajiannya, Gus Baha memberikan keterangan bahwa jihad itu sebenarnya tidak ada hubungannya dengan perang. Karena artinya adalah kepayahan, bertahan dalam kesusahan, atau bersungguh-sungguh. Perang sendiri sebenarnya masuk dalam bab ‘qital’ (membunuh) dalam kitab-kitab fiqih.
Bagi Muslim Ahlussunnah, jihad itu bersungguh-sungguh. Jahada-yajhadu-jihaadan. Itu artinya bersungguh-sungguh. Maka dalam kitab-kitab Ahlussunnah yang membicarakan adab mencari ilmu, kata jihad selalu diikuti perintah agar jangan malas. Karena memang malas itu lawan dari jihad (bersungguh-sungguh).
Jihad sendiri berarti situasi tertentu yang karena penuh keterbatasan dan kepayahan, memaksa kita untuk bertahan menghadapinya. Menuntut ilmu juga merupakan jihad, bertahan di situasi kemiskinan juga bentuk jihad, termasuk dalam urusan cinta. Memendam cinta yang tak tersampaikan yang dibawa sampai mati juga merupakan upaya bertahan, sehingga mati karena cinta bisa masuk kategori mati syahid.
Kok bisa?
Gus Baha mengisahkan, suatu ketika Rasulullah bertanya: “Siapa orang yang mati syahid menurut kalian?” Lalu ada yang menjawab “Syahid itu orang yang mati di medan perang!” Lantas Rasulullah menimpali: “Kalau begitu, orang yang mati syahid jumlahnya sedikit sekali.”
Masih menurut Gus Baha, kemudian Rasulullah menyebutkan bahwa orang yang mati syahid itu adalah: al-math’un (orang yang mati karena wabah/tha’un), wal-mabthun (orang yang mati karena sakit perut atau kelaparan), dan orang yang mati karena kerubuhan bangunan. Di sebagian riwayat, orang yang mati tenggelam juga masuk kategori mati syahid.
“Dan termasuk tadi, mati cinta itu ya masuk mati syahid.” Ujar Gus Baha. Hanya saja, Gus Baha memberi catatan beberapa kondisi seseorang bisa disebut mati syahid karena cinta: “Ketika mencintai perempuan (seseorang) tidak kesampaian, orang itu mau berzina juga tidak berani, menahan pun tidak sanggup, sampai mati. Itu mati syahid.”
Sehingga bisa disimpulkan, kondisi orang disebut mati syahid karena cinta, adalah ketika cintanya ia pendam sendiri sampai mati, dengan menjaga kesucian diri. Yakni menjaga diri tidak melakukan zina selama menjaga cintanya.
Pada akhirnya, yang bernilai adalah tentang kesungguhan hati dan menjaga kesucian diri. Menyatakan cinta tentu mensyaratkan kesungguhan dan kemantapan hati. Begitu pula bagi yang memilih untuk memendam cinta sampai mati. Bahwa mencintai dalam sepi, dan selalu sabar untuk menjaga kesucian diri, juga membutuhkan nyali.