Perayaan hari raya Idul Adha tahun ini jatuh di tengah pandemi COVID-19 yang masih belum menunjukkan perbaikan meski pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan New Normal dan sebagian masyarakat sudah menjalani tatanan hidup baru tersebut, tetapi kewaspadaan terhadap penyebaran virus Corona harus tetap dipertahankan.
Bagi masyarakat Indonesia, Idul Adha tidak hanya dianggap sebagai hari raya umat Islam. Idul Adha merupakan momen spesial, solidaritas dan saling berbagi antar-warga. Namun Idul Adha tahun ini harus digelar sedikit berbeda karena berlangsung di tengah pandemi Covid-19. Sejumlah daerah pun telah membuat regulasi agar pelaksanaan Idul Adha berlangsung sesuai protokol kesehatan.
Menanggapi situasi seperti ini, Kementerian Agama sudah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 18 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Salat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Kurban Tahun 1441H/2020M menuju Masyarakat Produktif dan Aman COVID-19. Surat edaran itu mengatur mengenai ketentuan salat Idul adha di tanah lapang atau kerumunan, namun tetap mempertahankan protokol kesehatan. Tujuannya, agar pelaksanaan ibadah dapat berjalan optimal dan terjaga dari penularan COVID-19.
Dalam hal ini pemerintah ingin memastikan bahwa pelaksanaan Idul Adha baik shalat dan penyembelihan hewan kurban di masa pandemi Covid-19, selain harus melaksanakan sesuai syariat Islam, juga harus diperhatikan protokol kesehatan, untuk menghindari penyebaran Covid19.
Sedikitnya ada tiga tradisi baru perayaan Idul Adha tahun ini di masa pandemi yang akan dan harus dilaksanakan masyarakat, yaitu pertama masjid-masjid yang melaksanakan shalat Idul Adha digelar betul-betul menggunakan protokol kesehatan. kedua, panitia kurban tidak membagikan daging kurban di masjid tetapi mendatangi rumah warga. Ketiga adanya pola baru dalam masyarakat dalam berkurban, yakni dengan memanfaatkan teknologi yakni kurban online.
Berqurban dengan sistem online di masa pandemi ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan ibadah qurban umat Islam. Selain untuk menghidari penyebaran covid-19 qurban online juga memudahkan masyarakat yang akan melaksanakan qurban. Hari ini kehidupan masyarakat sangat gencar dalam penggunaan media internet. Karena, internet bukan hanya sebagai alat menjaring pertemanan di sosial media belaka, namun juga memudahkan masyarakat umum untuk melakukan transaksi dan mendapatkan barang dengan mudah, termasuk pembelian hewan kurban.
Berbagai lembaga atau penyalur kurban, biasanya bersedia mengadakan dan menyembelih hewan kurban. Sedangkan masyarakat yang ingin berkurban, hanya cukup mentransfer sejumlah uang senilai harga hewan ternak ke rekening yang dicantumkan oleh lembaga atau panitia tersebut. Namun pertanyaan selanjutnya bagaimana hukum berqurban melalui online (digital)?
Dalam praktik ibadah qurban di masa normal biasanya kita menyaksikan sendiri pengurus masjid biasanya atau lembaga tertentu bersedia menerima qurban dalam bentuk hewan atau uang yang kemudian dibelikan hewan ternak yang dikehendaki. Mengacu pada praktik ini, qurban online atau digital tersebut dapat dikategorikan ke dalam wakalah atau perwakilan, di mana kita mewakilkan keperluan kita kepada pihak masjid atau lembaga tertentu yang dapat membantu kita memenuhi keperluan dalam ibadah kurban.
Praktik wakalah secara umum diperbolehkan menurut al-Qur’an, hadis, dan kesepakatan para sahabat. Para sahabat sepakat bahwa praktik wakalah diperbolehkan menurut Islam. Praktik wakalah ini cukup membantu manusia secara umum dalam memenuhi keperluannya serta membantu dan mempermudah terselenggaranya ibadah. Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menjelaskan:
(Ulama) umat ini sepakat atas kemubahan wakalah secara umum karena keperluan menuntut adanya wakalah karena setiap orang tidak mungkin menangani segala keperluannya sendiri sehingga ia memerlukan perwakilan untuk hajatnya,” (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, [Riyadh, Daru Alamil Kutub: 1997 M/1417 H], cetakan ketiga, juz VII, halaman 197)
Adapun praktik mewakilkan penyembelihan hewan qurban pernah diangkat oleh para alim ulama dan kiai dalam Forum Muktamar Ke-4 NU di Semarang pada tahun 1929 M. Para kiai ketika mendapat pertanyaan perihal kebolehan seorang ulama yang mewakilkan penyembelihan hewan kurban kepada orang fasik. Forum Muktamar Ke-4 NU di Semarang pada tahun 1929 menjawab bahwa mewakilkan kepada orang fasik itu boleh. Dan sah sebagai qurban.
Para kiai mengutip Imam Jalaluddin Al-Mahalli dalam Syarah Al-Mahalli: “Masing-masing dari mereka itu disyaratkan sudah pandai, terpercaya, dan diduga kejujurannya. Pengertian ‘menyampaikan hadiah’ mencakup undangan untuk pengantin, menyembelih binatang kurban dan membagikan zakat,” (Lihat Jalaluddin Al-Mahalli, Syarah Mahalli ‘ala Minhajut Thalibin pada Hasyiyatul Qulyubi, (Indonesia: Al-Haramain: tanpa catatan tahun), jilid III, halaman 337).
Dari penjelasan di atas, hukum qurban online (digital) adalah mubah karena merupakan bentuk dari wakalah atau perwakilan. Namun, harus meliputi berbagai syarat, agar antara yang berkurban dan lembaga yang terkait saling terbuka dan tidak ada yang dirugikan. Yang berqurban juga perlu memverifikasi kredibilitas lembaga atau ormas yang menerima hewan qurban masyarakat sehingga ibadah qurban kita dapat dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan syariat.