Apa kabar RUU PKS, Semoga tetap kuat ya! Perjuangan untuk mengesahkan ruu-pks masih panjang, mulai dari perumusan yang dilakukan dari bebagai kalangan, penelitian, artikel ilmiah, kampanye melalui media sosial tentang urgensinya ruu-pks hingga aksi turun jalan ternyata belum mampu mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan ruu-pks.
Ruu-pks masih menjadi sorotan dan perbincangan di berbagai media, menimbulkan pro kontra dari berbagai kalangan, kalau kamu ada di golongan mana, pro atau kontra? Coba kita lihat sama-sama isu beredar yang menjadi sorotan, jika saat ini kamu ada di pihak kontra, apakah isu-isu di bawah ini termasuk isu yang kamu yakini?
Karena isu yang muncul terkait ruu-pks pun semakin beragam, bahkan tidak jarang isu tersebut diluar konteks pembahasan ruu-pks, seolah sengaja disambungkan dengan ruu-pks untuk menolaknya, padahal dalam draft pengajuan ruu-pks tidak menyatakan demikian. Menanggapi hal itu Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tidak tinggal diam, mereka menyampaikan tanggapan atas penolakan yang dilakukan oleh fraksi hingga masayarakat melalui nota dinas.
Penolakan yang terjadi di masayarakat terjadi karena anggapan ruu-pks adalah produk barat dan disusun oleh feminis radikal. Faktanya ruu-pks disusun oleh akademisi, lembaga kemanusiaan, advokat hukum, tokoh pemuka lintas agama hingga elemen masyarakat serta pemerintah. Jika yang dikhawatirkan adalah feminis radikal, coba kita pahami secara sederhana, apakah feminisme itu? feminisme adalah ide/pemikiran untuk melawan ketidakadilan yang menimpa perempuan, sedangkan yang memperjuangkannya disebut feminis. Feminis bisa dimanapun, tidak hanya ada di barat, bisa tumbuh di komunitas, ras, agama hingga negara meskipun istilah penyebutannya berbeda tetapi memiliki esensi yang sama.
Penolakan selanjutnya kemudian muncul ‘berarti hanya perempuan saja yang dilindungi ruu-pks, padahal laki-laki juga bisa jadi korban, hal ini bertentangan dengan asas ruu-pks dong, yakni asas nondiskriminatif’.
Coba kita simak definisi korban menurut ruu-pks “setiap orang yang mengalami peristiwa kekerasan seksual”, dari definisi tersebut memungkinkan untuk korban perempuan maupun laki-laki. Sebenarnya dari definisi tersebut sudah terjawab kekhwatiran masayarakat tersebut, tapi memang tidak dipungkiri latar belakang penyusunan ruu-pks berdasarkan data angka kekerasan terhadap perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.
Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) menyatakan jika 1 dari 3 (33,4%) perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual selama hidupnya, ditambahkan pula dengan temuan Komnas Perempuan yang menunjukkan jika rata-rata pelaku adalah laki-laki, baik dari unsur keluarga, orang terdekat maupun umum, korban takut untuk menceritakannya karena akan mendapat stigma dan prasangka buruk, nah dari situlah perempuan mengalami berulang kali kekerasan (reproduksi kekerasan) dari berbagai aspek kehidupan.
Frasa ‘salah satu jenis tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan aborsi’ tersebut menimbulkan penafsiran jika ruu-pks melegalkan aborsi yang tanpa paksaan. Bukan berati aborsi tanpa paksaan menjadi legal dan tidak bermasalah, tapi konteks ruu-pks dalam ranah kekerasan seksual, maka adanya unsur pemaksaan perlu diperhatikan untuk identifikasi adanya tindak kekerasan.
Penolakan akibat kekhawatiran atas penafsiran frasa tidak hanya itu, terjadi pula pada pasal 11 ayat (3) draft ruu-pks. Adanya definisi kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, kemudian pada pasal 11 ayat (3) menjelaskan peristiwa tersebut dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya.
Nah frasa ‘ketimpangan relasi kuasa’ itulah menimbulkan kekhawatiran potensi kriminalisasi suami jika suami mengajak berhubungan intim istri namun istri tidak mampu menolak karena adanya ketimpangan relasi kuasa. Terkait tentang pemaksaan berhubungan seksual sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pasal 8 yang menyatakan bahwa kekerasan seksual meliputi:
- Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; dan
- Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Jadi kekhawatiran ruu-pks akan mengkriminalisasi suami tentu salah, pemaksaan dalam hubungan seksual sudah diatur sejak dulu dalam Undang-Undang Pengahapusan Kekeraasan dalam Rumah Tangga. Munculnya isu-isu penolakan tersebut karena tidak membaca ataupun mencari tahu tentang penjelasan draft ruu-pks maupun naskah akademik resmi. Kita bisa meminimalisirnya dengan memperkuat critical thinking agar tidak menelan mentah-mentah berita yang beredar, menganalisa dan mengkritisi informasi yang didapat dengan sumber terpercaya.
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang ruu-pks, sebaiknya kamu membaca seksama dokumen resmi ruu-pks yang bisa diakses pada laman DPR RI, berikut link nya;
- Draft resmi ruu-pks pada http://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf
- Naskah Akademik resmi pada http://www.dpr.go.id/doksileg/proses1/RJ1-20170307-091105-5895.pdf