Kelompok vigilantisme religius (main hakim sendiri) tidak mengutamakan transformasi radikal negara tetapi lebih mengusung agenda anti-kemaksiatan dan nilai-nilai yang dianggap mengancam persatuan Islam. Dasarnya adalah perintah amar makruf nahi mungkar. Reformasi keislaman yang diharapkan juga sebenarnya adalah hasil negosiasi dengan demokrasi dan bahkan logika pasar.
Prinsip nahi mungkar diterapkan dengan melakukan sweeping terhadap tempat-tempat yang dianggap tempat maksiat seperti bar, diskotek, atau klub biliar. Sementara dalam amar makruf, kesalehan yang dilakukan berupa kesalehan simbolik.
Menurut Ian Wilson dalam “’Selama Caranya Halal’: Preman Islam di Jakarta” (2012), gerakan ini tidak muncul dalam praktik sehari-hari, melainkan dalam identitas Islam yang ditampilkannya kepada publik melalui aksi vigilante dan demonstrasi-demonstrasi massa (Wilson, 2012: 198). Keislaman yang simbolik ini hanya tampak dari soal penggunaan simbol-simbol keislaman di depan publik sebagai penanda identitas mereka.
Legitimasi mereka menjadi semakin kuat dengan fatwa MUI yang menentang segala jenis bentuk liberalisme, sekularisme, dan pluralisme. MUI sendiri termasuk sebagai lembaga negara dalam urusan agama yang digaji pemerintah. Kondisi ini menjadi semacam simbiosis bagi MUI dan kelompok-kelompok ini karena keduanya saling menolong dalam memapankan diri. Kebangkitan kelompok yang mengusung vigilantisme religius juga diperkuat dengan proses demokratisasi yang sedang marak di Indonesia pasca Orde Baru. Demokratisasi tersebut memberi ruang partisipasi bagi kelompok religius (Hefner, 2010: 1042).
Meski begitu, pengorganisasian berbasis agama ini juga terjadi dalam relasinya dengan pasar. Indonesia tidak lepas dari ekspansi neoliberalisme yang mengglobal. Kondisi ini mendorong kaum miskin semakin terpinggirkan karena orientasi individualisme dalam neoliberalisme. Ormas ini bagi masyarakat miskin dan pengangguran memiliki fungsi lain selain tanda kesalehan tetapi juga sebagai wadah bagi mereka untuk mendapat pekerjaan. Kelompok ini menjadi “pengusaha kekerasan”, berperan sebagai pelindung dari ancaman yang dilebih-lebihkan.
“Mereka membentuk sejenis kewirausahaan politik baru dan organisasi massa yang mencerminkan agensi politik populis kelas pekerja dan kaum miskin urban yang dikerangkai oleh dinamika demokratisasi dan desentralisasi, sembari masih sangat dijiwai oleh logika politik teritorial yang koersif dan sistem jatah preman yang cenderung ke arah monopolisasi.” (Wilson, 2019: 290).
Kasus vigilantisme religius di Malaysia dan Indonesia menunjukkan kebangkitan agama. Ketimbang terpojok, agama justru menjadi semakin berperan dalam kehidupan masyarakat. Efek dari kebangkitan agama ini tidak tunggal tetapi bervariasi (Hefner, 2010: 1042). Salah satunya agama yang mengutamakan kesalehan pribadi, cenderung longgar dan berusaha merangkul ordinary believer. Tetapi ada pula kecenderungan ke arah konservatif. Menurut Hefner (2010: 1042), salah satu ciri khas Asia Tenggara adalah klaim sebagai really real. Hal ini adalah respon terhadap perkembangan agama secara transnasional dalam posisinya berhadapan dengan sekularisasi.
Meski begitu penolakan tidak terjadi secara total karena gerakan ini masih mengikuti logika pasar. Baik sebagai dukungan terhadap privatisasi dan developmentalisme di Malaysia maupun bisnis kekerasan di Indonesia menunjukkan adopsi logika pasar dalam gerakan agama. Dalam relasi dengan negara terjadi ambiguitas karena terkadang posisi mereka bertentangan dengan kepentingan masing-masing, namun terkadang saling menyokong.
Selain itu, gerakan vigilantisme religius ini bersifat teritorialisme. Terdapat wilayah-wilayah yang dianggap sebagai teritori kekuasaan kelompok tersebut. Di Malaysia ini disertai dengan dukungan terhadap privatisasi lahan dari kaum indigenous. Di Indonesia, ormas-ormas menerapkan iuran terhadap bisnis-bisnis di suatu lahan teritori mereka. Bahkan terkadang terjadi konflik perebutan teritori.
Dalam batas-batas tertentu, moralitas yang dijunjung kelompok ini dinegosiasikan oleh anggotanya. Negosiasi ini tampak seperti penyimpangan dari nilai moralitas mereka, namun kenyataanya ambiguitas ini justru yang memperkuat posisi mereka. Penghancuran tempat ibadah di Malaysia tidak hanya menimpa gereja atau kuil tapi juga masjid. Tindakan ini tentu tidak sesuai dengan nilai konservatif Islam. Begitu juga dengan “pajak haram” yang dipungut ormas dari bar dan diskotek yang dianggap maksiat. Nyatanya dalam kelompok konservatif ini moralitas dinegosiasikan terutama dalam kaitannya dengan kapitalisme.
Adopsi logika pasar ini sebenarnya tidak hanya berlaku pada kelompok konservatif. Bahkan kelompok yang mendaku dirinya moderat tidak bisa lepas dari logika pasar. Di hadapan pasar dan neoliberalisme, dikotomi ini menjadi tidak berlaku. Seperti yang diungkapkan Lailatul Fitriyah dalam Kata Pengantarnya di buku Tuhan, Perempuan, dan Pasar (2019), tujuan dari Islam moderat dan konservatif adalah akumulasi kapital. Banyak dari Islam moderat yang justru menerima modernisasi begitu saja dan mengikuti standar muslim yang baik berlandaskan imperialisme (Fitriyah, 2019: 9-10).
Problem-problem ini sebenarnya merupakan problem yang muncul jika keagamaan, terutama kebangkitan agama yang sedang marak, diamati dengan perspektif mikro atau meso. Hefner (2010) menunjukkan perspektif makro menimbulkan bias seolah-olah kebangkitan agama hanya sebagai konfrontasi antara negara, pasar, dan agama. Di Indonesia, perspektif makro ini misalnya digunakan sebagai pembenaran terhadap ancaman radikalisme agama yang berusaha mengganggu stabilitas negara.
Namun kenyataan lainnya dapat diamati dalam analisis di level mikro dan meso. Hal ini yang kerap luput. Dilihat dari perspektif mikro, melihat pada praktiknya, maka Islam yang konservatif maupun moderat terdesak dalam relasi negara, pasar, dan agama. Peran kapitalisme menjadi tersamarkan di balik radikalisme karena tidak ada analisis pengaruh kapitalisme terhadap fenomena keagamaan dalam ranah mikro maupun meso. Kebangkitan agama di Asia Tenggara adalah respon kreatif dan upaya partisipatif atas kondisi modern bukan sebagai mistifikasi pertentangan agama, pasar, dan negara.