Berbicara tentang perempuan memang tidak ada habis-habisnya, terutama tentang stereotip kasur, sumur dan dapur. Perempuan juga jarang mengeyam apa itu pendidikan, karena label itulah perempuan menjadi sulit bergerak.
Ketika kita melihat konteks pada zaman jahiliyah, mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah biasa, bahkan perempuan pun bisa diwariskan. Lalu ketika Islam datang, martabat perempuan diangkat dan dimulakan oleh Allah, yang semula dianggap barang tak berharga, oleh Islam perempuan dimulakan, salah satunya terbukti dengan mendapatkan hak waris.
Masalah perempuan adalah masalah yang selalu hangat diperbincangkan dan selalu mendapat perhatian besar di seluruh dunia. Asumsi yang mendasari perbincangan itu adalah fenomena patriarkhi, di mana terdapat perbedaan antara kaum laki-laki yang dianggap sebagai makhluk kelas satu dengan segala kelebihan yang dimilikinya, sedangkan perempuan dianggap sebagai makhluk kelas dua dengan segala keterbatasan yang melekat padanya.
Anggapan seperti itu bukanlah tanpa alasan atau sekadar mengada-ada, dan berhenti pada dataran persepsi, tetapi juga menyublim dalam seluruh bidang kehidupan manusia yang diakui secara sosiologis, politis, ekonomis, kultural, dan institusional.
Mengutip bukunya Mohamad Guntur Romli berjudul “ Islam Tanpa Diskriminasi”, sebelum Islam Masuk ke Nusantara, ternyata kerajaan-kerajaan Hindu memiliki pemimpin perempuan. Demikian halnya dengan kerajaan Islam, kasus di Aceh menunjukkan bahwa kita juga memiliki pahlawan perempuan, contohnya adalah Cut Nyak Dien.
Tidak hanya itu, Indonesia mempunyai bejibun pulau yang mempunyai ciri khas masing-masing. Madura, misalnya, di balik karakter orangnya yang terlihat keras, ternyata ada sosok perempuan yang pemberani dan gigih memperjuangkan kaum perempuan, yakni Nyai Hj Aqidah Usymuni asal Sumenep.
Mengutip laman Radar Madura (2018), Nyai Aqidah Usymuni adalah putri dari pasangan KH. Usymuni dan Nyai Hj Makkiyah tingga di Terate, desa Pandian kota Sumenep Madura. Ia lahir sebelum Indonesia Merdeka sekitar tahun 1940 M.
Semasa kecil, Nyai Aqidah bersekolah di sekolah dasar milik Belanda. Ia juga melanjutkan hingga tingkat PGA Sumenep, namun sebelum lulus ia dinikahkan oleh abahnya dengan KH. Sofyan.
Di usia remaja, Nyai Aqidah sudah punya kegelisahan terhadap pendidikan masyarakat sekitar. Pasalnya, di daerahnya, waktu itu, rata-rata masyarakatnya miskin. Belum lagi tingkat pendidikannya yang masih Di rendah.
Lalu, medio 1985 Nyai Aqidah mendirikan pesantren dan baru diresmikan sekitar tahun 1990. Uniknya, pesantren yang ia dirikan diberi seperti namanya sendiri, yakni Pondok Pesantren Aqidah Usymuni. Ketika mendirikan pesantren, hanya ada empat orang yang nyantri.
Ada tiga tujuan Nyai Aqidah mendirikan pesantren. Pertama, dia ingin mengabdi kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Tujuannya, agar masyarakat menjadi pintar, bangsa semakin maju, dan negara jaya. Kedua, dia ingin mengabdi kepada agama Dengan mendirikan pesantren, dia berharap agar masyarakat semakin pandai ilmu keislaman, semakin bertakwa dan beriman kepada Allah. Ketiga, ingin mendidik keluarga. Sebab pada dasarnya setiap manusia akan berumah tangga.
Nyai Aqidah adalah sosok perempuan tangguh, kuat dan peduli terhadap kondisi masyarakat sekitar. ia memiliki prinsip yang kuat terhadap pendidikan kaum wanita seperti halnya RA.Kartini yang diperingati tiap 21 April.
Baginya, perempuan harus memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki. Perempuan tidak bisa hanya bergelut di dapur, sumur, dan kasur. Perempuan juga harus menjadi pendidik hebat bagi anak-anaknya. Tutur kata-kata dari abahnya menjadi kenyataan meskipun ia seorang perempuan, ia bisa menjadi penerus pesantren. Tidak saja nama pondok pesantren yang ia gunakan seperti namnya sendiri, tetapi perguruan tingginya pun sama STITA Aqidah Usymuni.
Kepada generasi muda, ia memberikan tiga pesan yang diperoleh dari KH Usymuni ketika masih hidup. Pertama, orang hidup harus sabar dan tawakal. Sifat tersebut merupakan cerminan dari orang yang beriman. Kedua, orang harus rajin dan cekatan. Dalam bekerja, orang harus punya etos yang tinggi. Ketiga, orang hidup juga harus jujur. Kalau bukan miliknya jangan diambil. Jika kita hidup dengan bekal itu, dunia akhirat akan selamat.
Dari Nyai Aqidah Usymuni itu kita bisa belajar bahwa tugas kaum perempuan sebetulnya bukan hanya, di dapur, sumur dan kasur. Tetapi perempuan juga bisa menunjukkan eksistensi intelektualnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.