Sebagai seorang Muslim, kita merasa berkewajiban untuk menyampaikan dakwah supaya orang lain mendapat hidayah. Terlebih, kepada orang yang kita anggap belum Islam, atau orang Islam, tapi belum mendapatkan hidayah karena masih terbelenggu dengan kebiasan buruk yang menjerumuskan. Tak jarang, bagi kita yang awam ini, karena kadung semangat dalam berdakwah, sampai ngotot, dan menanggalkan kebijaksanaan. Hal seperti ini tercermin di hal-hal kecil, seperti dalam bermasyarakat atau di kolom komentar media sosial sekalipun.
Kita acapkali abai, bahwa kadang hakekat itu tidak sejalan dengan kenyataan. Ketika kita merasa wajib untuk berdakwah, terdapat sebuah ayat yang menerangkan bahwa beberapa orang memang tidak akan beriman.
Surat Al-Baqarah ayat 6, disebutkan:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
“Sungguh, orang-orang kafir itu – sama saja apakah kauberi peringatan atau tidak – mereka tidak beriman.” (QS. Al-baqarah: 6)
Jika dibaca dengan mata telanjang, sepertinya paradoks. Dari ayat ini timbul pertanyaan: Untuk apa kita masih harus mendakwahi, kalau memang mereka sudah dinyatakan tidak beriman?
Maka dari sini, mari kita simak apa yang dituturkan oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), seputar dakwah dan hidayah yang beliau sampaikan dalam satu pengajian beliau yang diunggah di Youtube dalam tautan ini.
Secara pribadi, Nabi Muhammad memiliki karakter yang selalu ingin mengajak manusia menuju kebaikan – menuju surga. Sehingga bersemangat sekali untuk menyelamatkan semua orang yang ada di sekitar beliau.
Ayat dari Surat Al-Baqarah itu adalah ditujukan sebagai pengingat kepada Nabi Muhammad SAW, bahwa tidak semua orang bisa beliau selamatkan, sekalipun orang-orang yang beliau sayangi. Oleh karenanya, turun pula ayat ‘pengingat’ yang lain:
إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya (QS Al-Qashash: 56)
Dalam berdakwah, kadang kita merasa ketika sebagian orang tidak mampu menerima dakwah kita, maka kita bisa seenaknya bisa melabeli mereka dengan label munafik, atau bahkan sebutan kafir. Sebagai Muslim yang keilmuannya masih ala kadarnya, kita tidak boleh asal semangat berdakwah, sampai harus memberi label ke orang lain.
Menurut Gus Mus, Nabi Muhammad diperbolehkan untuk memberi label atau mengidentifikasi kadar keimanan seseorang, karena diberi informasi secara langsung oleh Allah SWT. Sementara kita sebagai manusia biasa, yang hatinya masih terhijab dan terhalang oleh duniawi, tidak diperbolehkan untuk memberi label tersebut karena kita tak mampu menembus apa yang ada di dalam batin manusia. Mata kita hanya mampu menangkap pandangan lahir saja.
Kita seringkali melabeli orang sebagai munafik, karena berpatokan pada informasi “tanda-tanda orang munafik”, yang pada intinya terdapat ketidakselarasan antara lahir dan batin. Sementara sebagai manusia biasa, kita hanya mampu melihat pada lapisan lahirnya saja. Apakah kita mampu “melihat” lahir dan batin manusia secara seimbang, sampai bisa menilai kalau keduanya tidak sama? Bagaimana kita bisa mengatakan seseorang itu munafik, atau bahkan kafir?
Kita tidak akan pernah bisa menilai batin seseorang kecuali ketika kita sudah pada sampai pada maqam yang dekat sekali dengan Allah. Gus Mus menambahkan, sekalipun ada tanda-tanda orang munafik, tidak semua yang tampak dari sebuah tanda sudah pasti adalah benda tersebut karena keterbatasan pandangan kita.
Dari penjelasan ayat tersebut, lanjut Gus Mus, bisa kita Tarik kesimpulan, bahwa bentuk hidayah itu ada dua jalur, yakni; yang melalui ikhtiar (dalam artian melalui dakwah dan usaha manusia), dan ada pula hidayah yang mutlak dari Allah SWT.
Yang kita tidak tahu adalah, kapan hidayah (berupa dakwah) yang kita sampaikan kepada seseorang, bertepatan dengan hidayah yang datang dari Allah SWT. Ketika kedua jalur itu bertemu, hanya di momen itu lah hati seseorang bisa terketuk, dan kemudian mendapatkan petunjuk yang sebenarnya untuk menjalani jalan menuju keselamatan.
Wallahu a’lam bisshawab.