Dalam kitab Hayat al-Salaf bayna al-Qauli wa al-‘Amal, karya Ahmad bin Nashir al-Thayyar, terjereng satu kisah menarik. Ceritanya, Khalaf bin Salim pernah mengikuti kajian yang diadakan dan diampu oleh Yazid bin Harun. Salah satu peserta yang mengikuti kajian di sana adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Di tengah-tengah pengajiannya, Yazid bin Harun berkelakar di hadapan para audiennya. Tanpa diduganya, ternyata Imam Ahmad berdehem. Yazid pun bertanya, siapa gerangan yang berani berdehem di majelisnya itu.
Akhirnya, ada salah satu peserta kajian yang mengatakan, “tadi yang berdehem adalah Imam Ahmad bin Hanbal.”
Yazid pun berujar, “mengapa kalian tidak memberitahu aku bahwa di sini ada Imam Ahmad bin Hanbal? Jika tahu begitu, pasti aku tak akan berkelakar tadi.”
Salah satu pelajaran yang bisa kita pelajari dari kisah di atas adalah hendaknya seseorang senantiasa menghormati kepada orang lain. Selain itu, terbaca juga bahwa Yazid menyesal telah berkelakar di majelis pengajian yang ia ampu. Hal ini karena untuk menghormati Imam Ahmad bin Hanbal. Meskipun sebenarnya juga tak masalah jika narasumber dalam suatu kajian menyelipkan humor (dengan batasan-batasan tertentu).
Akhlak menjadi hal terpenting dalam kehidupan seseorang. Di banyak pesantren, kitab Ta’lim al-Muta’alim menjadi kajian wajib yang harus diikuti oleh setiap santri. Kitab ini menjelaskan tentang etika-etika seorang murid dalam mencari ilmu, baik yang berhubungan dengan Allah atau sesama manusia (guru dan orangtua), atau bahkan berhubungan dengan ilmu itu sendiri.
Di pesantren tempat saya dulu belajar (dan mungkin di banyak pesantren), kitab ini diajarkan di masa-masa awal santri masuk di pesantren, di mana santri belum banyak mempelajari berbagai macam ilmu. Ini menunjukkan bahwa akhlak harus didahulukan daripada ilmu.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Sesungguhnya di antara orang-orang yang aku cintai dan paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat denganku adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)
‘Atiyyah bin Muhammad Salim dalam kitab Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, ketika menafsirkan hadis yang kelima belas, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan khusnul khuluq adalah kebaikan, yakni pekerti yang mulia, yang kadang berkaitan dengan ushul (pokok) atau furu’ (cabang-cabang).
Dari sini dapat dipahami bahwa adakalanya akhlak berkaitan dengan hal-hal yang besar (pokok), yang disepakati oleh semua orang, dan adakalanya berkaitan dengan cabang-cabangnya saja, yang tidak semua orang sepakat. Kesimpulan juga dilandasi oleh apa yang dilakukan Yazid bin Harun dalam kisah di atas, yang tetap merasa “enjoy” ketika berkelakar namun seketika menyesalinya karena ternyata ada Imam Ahmad bin Hanbal di sana.
Adalah benar bahwa birrul walidain (menghormati orangtua) merupakan kebaikan yang oleh karenanya semua orang harus melakukannya. Namun, cara birrul walidain tentu tidak sama antar setiap orang atau daerah (menyesuaikan budaya).
Guyon atau “cara berprilaku” bisa jadi cocok diterapkan kepada seseorang tertentu atau daerah tertentu, namun kadang tak sesuai dan akan menjadi masalah jika diterapkan kepada orang atau daerah yang berbeda.
Misalnya, kepada seorang kawan akrab, kita terbiasa memakai motornya tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu. Kita yakin kawan kita itu tidak akan marah dengan apa yang kita lakukan. Namun, tindakan memakai motor tanpa izin itu jika diterapkan kepada kawan yang tidak akrab pasti akan membuat si pemilik motor marah atau paling tidak membuatnya menggerutu.
Saya memiliki kawan yang berasal dari provinsi X. Ia biasa memanggil kakaknya dengan tanpa awalan. Ia langsung saja menyebut nama, misalnya, “Hai, Budi!”. Tidak ada awalan “Mas”, “Kang”, “Bang”, atau sejenisnya. Saya yakin, memanggil saudara yang tanpa awalan macam ini jika diterapkan di daerah saya atau beberapa daerah lain akan dianggap sebagai prilaku tak berakhlak. Wallahu a’lam.