Di masa pandemi Corona ini, jalan keselamatan yang paling masuk akal ditempuh adalah jalan sains untuk selamatkan manusia. Dengan berbagai metode ilmiahnya, para pengkaji virus adalah satu-satunya pihak yang paling bisa kita percaya dan mampu untuk menjelaskan perihal virus dengan varian baru yang belum sepenuhnya kita kenali ini.
Terlebih lagi dengan watak virus yang penularannya cepat ini menimbulkan banyak orang terinfeksi. Per data hari ini (8/6/2020), jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 secara global sejumlah tujuh juta orang. Dalam situasi seperti ini, yang paling dapat dipercaya untuk menangani jutaan orang yang terinfeksi itu tak lain adalah para dokter.
Dalam skala yang lebih besar lagi, dunia hari ini sedang mengalami disrupsi besar yang asal-usulnya dari sains. Gelombang revolusi 4.0 sedang menyapu segala hal yang masih konvensional dari perilaku manusia. Taksi Bluebird dan Ojek Pangkalan, misalnya, tergilas habis oleh hadirnya aplikasi ojek online. Sejalan dengan itu, laporan ekonomi beberapa waktu yang lalu juga mengabarkan bahwa nilai saham Garuda Indonesia dan Taksi Bluebird dilibas habis oleh Gojek.
Teknologi digital kini menjadi panglima. Seorang sejarawan selebritis, Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia pernah memberikan contoh kalau teknologi kesehatan mutakhir, mampu memantau kondisi kesehatan tubuh manusia secara lebih akurat daripada diri manusia sendiri. Lebih dahsyat lagi, Artificial Intelligence (AI) telah mampu memproses data dalam skala raksasa dan bakal menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini dikerjakan oleh manusia secara konvensional.
Bagi sebagain orang, seperti Harari, sains nampaknya telah menjadi panglima. Bagi mereka, mungkin situasi kedigdayaannya sains seperti hari ini adalah versi lain dari The End of History-nya Francis Fukuyama, yakni sains telah menjadi pemenang pada abad ke-21 ini, mengalahkan semua musuh bebuyutannya.
Namun, apakah benar sains segemilang itu dan telah menjelma menjadi dewa? Tunggu dulu.
Belakangan ini, salah satu yang dianggap penemuan sains terbesar adalah penemuan disiplin kajian ilmiah tentang otak (neurosains). Ia telah mampu menjelaskan fungsi-fungsi terkecil dengan sangat detail dari otak. Disiplin ini harus diakui mampu membuka satu penemuan penting tentang organ manusia paling istimewa yang sebelum itu belum terjelaskan, yakni otak manusia.
Setelah penemuan itu, informasi tentang pikiran dan kesadaran manusia mulai bisa dikorek. Dengan perekaman otak, saintis mampu mendeteksi otak bagian mana yang berfungsi ketika kita sedang marah, sedih, takut dan gembira. Semuanya telah dapat dipelajari. Bahkan, bagian otak mana yang aktif saat kita sedang mengingat-ingat Tuhan pun, telah diketahui oleh saintis.
Ketika fungsi-fungsi detail dari organ-organ otak telah diketahui, maka jika salah satu dari organ itu bermasalah, maka konsletlah pikiran manusia. Misalnya, organ bagian manusia merasa nyaman dengan aktivitas spiritualitas dipotong, maka segala kesadaran tentang Tuhan juga akan lenyap dari pikiran kita.
Di saat bersamaan juga, Artificial Intelligence (AI) versi yang paling maju juga ditemukan. Kombinasi penemuan neurosains dengan AI ini diprediksi akan mampu mereplikasi segala hal yang dilakukan manusia. Aktivitas dan pekerjaan yang selama ini dilakukan manusia, kini bisa direplika dengan teknologi.
Namun, tunggu dulu. Penemuan mutakhir sains itu masih ada celahnya. Setahu saya, neurosains meski mampu memetakan fungsi-fungsi dari otak, tapi ia masih belum mampu menjangkau data yang dipikirkan oleh manusia. Misalnya, meskipun ia mampu mendeteksi otak bagian mana yang aktif ketika manusia beribadah, namun ia tak mampu menjangkau kedalaman dan gambaran seperti apa yang dipikirkan manusia melalui otaknya. Data mewah pikiran manusia itu belumlah tersentuh oleh sains.
Karena sains belum mampu menggali data pikiran manusia, maka sains untuk saat ini belum mampu mereplikasi data pengalaman terdalam yang dialami oleh seorang manusia. Secara ilustratif mungkin begini, jika saja dilakukan rekam otak kepada sastrawan Pramodya Ananta Toer si penulis novel Bumi Manusia itu, maka sains hanya akan menangkap data kesedihan Pram saat dibuang di Pulau Buru.
Namun, sains belum sampai mampu menggali kedalaman ingatan, perasaan dan pergulatan batin yang mengendap dalam pikiran Pram selama ditindas dalam tanah pembuangan itu. Saya juga tak yakin sains mampu menangkap kemampuan kreatif Pram dalam menulis novel yang ia racik dari seluruh pengalaman hidup, tekanan politik, pembacaan khazanah sastra global dan berbagai latihan teknik menulis.
Gabungan penemuan neurosains dengan AI tidaklah mampu mengerjakan pekerjaan yang kompleks, rumit dan penuh penderitaan seperti yang dilakukan Pram dalam menulis karyanya. Barangkali, paling maksimal, sains hanya mampu menggandakan hal-hal yang telah ditulis oleh Pram itu.
Di contoh lain, sains tak mampu mengakses betapa tingginya tingkat kedalaman spiritual Imam Ghazali saat beruzlah hingga melahirkan maha karya Ihya’ Ulumuddin. Sains juga tak akan mampu merekam imajinasi dan mereplikasi tangan kreatif Pablo Picasso dan Vincent van Gogh sewaktu melukis.
Sains tak akan mampu melakukan pekerjaan kreatif seperti manusia, sains belum mampu mengakses pikiran dan dengan demikian ia tak bisa memproduksi sebuah pikiran baru yang persis pikiran dan perilaku manusia dalam bentuk AI. Sejauh ini, AI hanyalah kumpulan koding dan aritmatika, ia tak punya pengalaman dan pikiran layaknya manusia yang kompleks.
Sains dan teknologi terlampau sangat sederhana untuk mampu melampaui kemampuan manusia secara utuh. Barangkali mereka hanya mampu melakukan pekerjaan mekanis dan remeh-temeh manusia. Tapi tak bakal lebih dari itu. Tak mungkin sains mampu menjadi manusia seperti sastrawan Pramodya, pelukis Pablo Picasso, Vincent van Gogh, bahkan Imam Ghazali. Meski sains bisa kita jadikan salah satu pegangan kita, namun ia bukanlah segala-galanya. Sains belumlah layak kita jadikan dewa yang maha perkasa. [rf]