Melihat Allah secara Sains

Melihat Allah secara Sains

Bisakah kita melihat Allah?

Melihat Allah secara Sains

Di sebuah khutbah Jumat, Sang Khotib membicarakan tentang makna Iman, Islam, dan Ihsan. Dia  mengutip riwayat masyhur soal pembicaraan Nabi Muhammad dengan seorang laki-laki yang bajunya putih bersih dengan rambut hitam legam. Belakangan diketahui lelaki itu adalah malaikat Jibril.

Ihsan, demikian menurut Sang Khotib, dimengerti sebagai sikap dalam hidup dan beribadah yang seolah-olah melihat Allah. Sebaliknya, kalau tidak mampu melakukan cara tersebut, kita semestinya selalu percaya bahwa Allah pasti melihat kita.

Saya lalu terfikir untuk membincangnya lebih jauh secara sains. Di sini kata kuncinya adalah “melihat Allah”. Dan, itulah menariknya.  Pasalnya, indera perangkat dalam tubuh kita yang digunakan untuk melihat adalah mata.

Mungkinkah, misalnya, mata telanjang kita mampu melihat Allah?

Di era modern seperti saat ini, mata kita memungkinkan untuk dimodifikasi. Malahan, kita bisa melihat sesuatu yang sangat kecil seperti gumpalan atom dan melihat alam kosmik yang sangat besar di luar angkasa sana. Sains saat ini, dengan demikian, telah berhasil menjelaskan pola dan latar belakang alam semesta dengan sangat mengagumkan.

Namun, sebelum mengeksplorasi lebih jauh tentang mata kita yang dalam kerjanya sangat lekat dengan diskursus cahaya, menarik untuk menengok sebentar tentang konsep cahaya.

Fisika modern mengkategorikan cahaya bukan hanya sebagai seberkas sinar yang terpendar, tetapi juga sebuah materi. Cahaya terbentuk dari adanya materi yang melesat dengan kecepatan yang sangat cepat, atau mafhum kita kenal dengan kecepatan cahaya.

Sementara, materi itu sendiri sewaktu bergerak pastilah membentuk sebuah gelombang, Dan, ukuran gelombang yang dibentuk akan mempengaruhi energi yang timbul dari cahaya tersebut.

Cahaya yang memiliki panjang-gelombang besar menimbulkan energi yang kecil, sedangkan yang panjang-gelombangnya kecil akan memiliki energi yang besar. Perbedaan energi yang dimiliki masing-masing cahaya akhirnya memisahkan dalam kelas-kelas sinar.

Lalu, dari pemisahan ini kita mengenal ada beragam jenis sinar yang dibedakan berdasarkan besar kecilnya gelombang yang ditimbulkan dan energi yang dihasilkan, diantaranya seperti sinar-X, sinar tampak (mejikuhibiniu), sinar UV, dan lain-lain.

Nah, mata kita bekerja sesuai dengan energi yang dimiliki oleh sinar tambak, itu yang menyebabkan mata kita hanya mampu menagkap warna.

Kenapa, umpamanya, daun yang kita lihat itu berwarna hijau? Hal ini karena ada seberkas cahaya yang mengenai daun dan dipantulkan cahaya itu menjadi warna hijau dan kemudian menerobos mata kita.

Atau, kenapa kita melihat tanah berwarna coklat, batu bata berwarna merah, tong air berwarna biru? Hal itu tentu karena ada cahaya yang mengenai benda-benda tersebut dan akhirnya dipantulkan sesuai dengan warna masing-masing dan menerobos masuk ke mata kita. Kalau cahaya tidak mengenai benda-benda itu, apakah kita bisa melihatnya dan mendeteksi warnanya? Tentu saja tidak bukan. Nah, inilah kenapa tadi disebutkan bahwa kinerja mata kita sangat tergantung pada adanya cahaya.

Sehingga di titik ini bisa dikatakan bahwa pengelihatan mata kita sejatinya adalah sebuah akibat, alias tidak dari sononya kita bisa melihat. Ringkasnya, mata bisa melihat karena ada sebab dan sebabnya adalah cahaya.

Dalam realitas dhohir, kita tidak mampu melihat sumber cahaya. Bagaimana kita kesulitan melihat matahari misalnya, mata kita hanya mampu sepersekian detik saja dalam menatap matahari.

Serupa dengan itu adalah silaunya mata kita sewaktu melihat bola lampu berlama-lama dan mata kita pasti segera kesakitan. Pendeknya, ketika kita tidak bisa, atau lebih tepatnya tidak mampu melihat sumber cahaya, bukan berarti bahwa sumber cahaya itu tidak ada.

Bukti bahwa sumber cahaya itu ada adalah ketika kita bisa melihat benda yang kita lihat. Kita tidak memerlukan pengalaman langsung melihat matahari untuk mengatakan bahwa sumber cahaya itu ada. Kita yang hanya melihat daun berwarna hijau adalah bukti bahwa matarahi sebagai sumber cahaya ini eksis.

Lalu bagaimana kondisinya dengan realitas yang sifatnya adalah metafisik?

Gus Ulil Absor Abdallah, selanjutnya akan disapa dengan Gus Ulil, dalam buku menjadi manusia rohani memberikan syarah (keterangan) pada hikmah “Seluruh Keadaan (alam raya, “al-kawn”) ini adalah kegelapan. Yang membuatnya bercahaya dan terang benderang ialah terbitnya Yang Maha Benar di dalamnya”.

Di sana Gus Ulil menjelaskan bahwa sesungguhnya alam raya ini semulanya adalah gelap, rumit, dan ruwet. Namun, para pemikir yang dalam hal ini saintis membuatnya terkonsepsi dan akhirnya mampu menakar pola kerja alam.

Dalam buku tersebut, Gus Ulil menyebutkan bahwa para saintis adalah seorang sufi dalam dunia dhohir, karena mereka adalah orang yang mampu mengurai dan menjelaskan segala keruwetan yang ada di alam semesta. Hal yang sama juga dilakukan oleh para sufi, para sufi adalah ilmuan dalam wilayah rohani.

Para ilmuan yang mampu mengurai keruwetan (kegelapan) alam semesta adalah bukti bahwa “Cahaya”  itu eksis. Ilmuan menemukan bahwa bumi memiliki grafitasi, angin bergerak dari tempat dengan tekanan tinggi ke yang lebih rendah, suhu dapat diukur dengan raksa, menemukan seragkaian atom dengan berbagai sifatnya adalah paralel maknanya dengan kemampuan mata dhohir kita melihat daun.

Apa yang saintis lihat tentang alam semesta sehingga mampu merumuskan teori-teori seharusnya tidak lantas membuatnya “songong” dan mengatakan tidak memerlukan Tuhan dalam menjelaskan alam semesta. Karena tanpa tajalli Allah yang terang benderang, tidak akan mampu manusia mengurai keruwetan Alam semesta. Karena sekali lagi, Alam raya terurai dan ditemukan pola kerjanya adalah akibat dari adanya Cahaya yang menyinari dan akhirnya membuat mata batin bisa melihat pola dalam keruwetan alam semesta.

Kalau dalam realita dhohir, sumber cahaya adalah matahari, dan objeknya adalah daun yang diterima dengan mata fisik lalu mengakibatkan kita bisa mendeskrispikan bahwa daun itu berwarna hijau dan bentuknya sedikit oval. Sementara dalam realitas batin, sumber cahaya adalah Allah, dan objeknya adalah alam semesta dengan segala keruwetannya, dan hasil teorema yang terkumpul atas itu adalah serupa mata.

Pada tataran ini, menjadi saintis bukanlah semata-mata urusan dunia. Jika mengunakan persepektif seperti ini, saintis adalah orang yang paling sering mendapatkan pancaran Cahaya dari Allah. Bagaimana tidak, mereka adalah orang-orang pertama yang ditunjukan rahasia di balik keruwetan alam semesta dari pancaran Cahaya Allah.

Ala kulli hal, jalan mencapai Ihsan itu luas. Caranya pun sangat beragam. Kadang kala juga jalan itu adalah Allah sendiri yang menunjukan dan memilih sendiri siapa yang akan diangkat-Nya. Semoga kita bisa sampai di level itu. Amin.