Alkisah, suatu hari Nabi Musa as pernah jatuh sakit. Lantas, ia mendapat isyarat, yakni berupa perintah dari Allah untuk mendatangi sebuah gua. Di gua itu, seperti disebutkan dalam perintah yang diterimanya, ada suatu tumbuhan yang bisa ia gunakan sebagai obat atas penyakit yang ia derita.
Nabi Musa pun mengerjakan apa yang diperintahkan itu, sehingga ia benar-benar sembuh dari penyakitnya. Alhamdulillah.
Beberapa waktu kemudian, hal sama terjadi lagi. Ia mengidap penyakit yang sama seperti sebelumnya. Nabi Musa as pun langsung mengerjakan apa yang ia kerjakan sebelumnya: pergi ke gua yang sama dan menggunakan tumbuhan yang ada disana sebagai obat.
Bedanya, kepergian Nabi musa ke gua untuk mengambil tumbuhan kali ini tanpa didahului dengan adanya perintah dari Allah. Ia bergerak atas inisiaitifnya sendiri. Akhirnya, ia pun tak sembuh.
Ia lantas bertanya kepada Allah Swt.
“Tuhan, penyakitnya sama, mengapa yang kali ini saya tidak sembuh?”
“Musa, pada kasus pertama, engkau pergi ke gua atas petunjuk-Ku, maka Aku menyembuhkanmu. Sedang pada kasus kedua, engkau bertindak atas petunjukmu sendiri (tidak atas petunjuk-Ku), maka aku tak memberimu kesembuhan,” jawab Allah Swt.
Allah Swt lalu berfirman:
“Ketahuilah Musa, dunia dan seisinya itu adalah racun yang membunuh. Dan yang bisa menyembuhkannya adalah hanya mengingat Allah Swt.”
Kisah di atas terdapat dalam kitab Syarah Ratib al-Hadad, karya al-Habib ‘Alawi bin Ahmad bin al-Hasan bin Abdillah bin ‘Alawi al-Hadad Ba’alawi, dalam bab “Dzikir Ketujuh”, yaitu tentang keutamaan kalimat Bismiillahil ladzi laa yadhurru ma’asmihi syaiun fil ardli wa laa fissama’, wa huwaassami’ul ‘alim.
Lewat kisah di atas, kita dapat belajar bahwa melibatkan Allah dalam segala kegiatan kita adalah kunci kemudahan dan keberhasilan. Dengan melibatkan Allah, seseorang berarti menyadari bahwa dirinya bukan siapa-siapa dan tak bisa berbuat apa-apa. Juga, dengan melibatkan-Nya, Allah akan membimbing kita dalam setiap urusan kita.
Salah satu bukti bahwa kita selalu melibatkan-Nya dalam setiap urusan kita adalah dengan selalu beribadah dan berdoa kepada-Nya. Kedua hal ini merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Bukahkah dalam shalat kita selalu membaca ayat, Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, yang artinya “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah [1]: 5)?
Dalam tasfir Jalalail disebutkan bilamana ayat di atas menjelaskan bahwa penuturnya sedang mengkhususkan ibadah hanya kepada Allah dan memohon kepda-Nya agar dimudahkan dalam beribadah dan hal-hal selain ibadah. Tafsiran ini juga menunjukkan betapa pentingnya memohon kepada Allah dalam segala hal.
Nabi Muhammad bersabda:
“Hendaklah salah seorang dari kalian senantiasa meminta kebutuhannya kepada Tuhan, sampai pun ketika meminta garam, sampai pun meminta tali sandalnya ketika putus.” (HR. Tirmidzi)
Dalam Tuhfath al-Ahwadzi syarh Jami’ al-Timidzi, hadis ini menunjukkan beberapa hal. Salah satunya adalah hanya Allah yang dapat memberikan dan memudahkan urusan. Jika Dia tidak berkehendak, maka pasti urusan kita tidak akan menjadi mudah.
Hal lainnya yang menjadi pelajaran dari hadis di atas adalah hendaknya setiap muslim melibatkan Allah dalam segala hal yang ia hadapi, termasuk hal-hal yang remeh sekalipun. Mafhum mukhalafah-nya, jika dalam hal kecil pun kita diperintahkan untuk melibatkan Allah, sudah barang tentu dalam urusan yang besar kita harus lebih melibatkanNya, bukan?.
Walhasil, jika kita melibatkan Allah dalam setiap urusan yang kita hadapi, maka Allah akan mempermudahnya. Dalam bahasa Ustadz Yusuf Mansur (UYM), “Allah dulu, Allah lagi, Allah terus”.