Istilah ini (hanifan musliman) secara historis merujuk kepada sosok kekasih Allah Swt, bapak agama monetisme, yakni Nabi Ibrahim As. Di dalam al-Qur’an, sebutan beliau sebagai hanifan dan musliman difirmankan-Nya dengan terang sekali (tekstual). Ia mengandung arti sosok yang lurus (hanifan) dan berpasrah diri (musliman). Ini di antaranya bisa kita baca dari perjalanan rohani Nabi Ibrahim As saat mencari kebenaran Ilahiah dari memandang bintang, bulan, matahari, hingga kemudian berlabuh kepada pengakuan batin:
“inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas samawati wal ardhi hanifan wama ana munal musyrikin,” (sungguh kuhadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cendrung kepada agama yang lurus dan aku bukanlah bagian dari orang-orang yang menyekutukan-Nya…)
Sikap rohani hanifan musliman ini pulalah yang diwasiatkan beliau kepada anak-cucunya, dulanjutkan terus-menerus, hingga sampailah kepada sosok Nabi Muhammad Saw. Inilah tongkat estafet hanifan musliman yang lantas dinyatakan sempurna dan diridhai oleh Allah Swt dalam bentuk agama ini. Pada esensinya, Islam yang kita anut ini juga dapat dikatakan berakar pada agama hanifan musliman tersebut.
Di dalam al-Qur’an, terdapat 12 kali penggunaan kata hanif, dua di antaranya berbentuk plural (hunafa’). Begini rinciannya: surat Ali Imran 67, dikatakan Nabi Ibrahim As bukanlah seorang Yahudi maupun Nashrani, tapi seorang hanif, seorang muslim, bukan penyembah berhala. Begitupun yang terkandung dalam surat Al-An’am 79, An-Nahl 120, Al-Baqarah 135, Ali Imran 95, An-Nisa’ 125, Al-An’am 161, An-Nahl 123, Yunus 105, Hajj 31, Ar-Rum 30, dan Al-Bayyinah 5. Silakan Anda cek untuk pencermatan lenih jauh.
Lalu secara kronologi penurunan ayat, ada 6 ayat yang diturunkan di Mekkah (Makkiyah) dan 6 ayat di Madinah (Madaniyah). Uniknya, penekanan sifat sejati hanifan musliman pada sosok Nabi Ibrahim As (Anda bisa membacanya ahli tauhid dan ahli takwa) seagai “prototipenya” (karenanya disebut “millah Ibrahim, agama Ibrahim”), terdapat pada ayat-ayat yang turun di Mekkah maupun Madinah.
Padahal, pada umumnya, ayat-ayat Makkiyah bersifat ketauhidan dan ayat-ayat Madaniyah bersifat mu’amalah. Ini memperlihatkan bahwa pilar keimanan yang lurus (hanifan) merupakan suatu keniscayaan hakiki (ontologis) pada diri setiap mukmin yang mesti menyinari bukan hanya dimensi rohaniah dan ‘ubudiyah, melainkan juga dimensi sosial, mu’amalah, dan segala aspek kemanusiaan.
Hanya saja memang dalam ayat-ayat hanifan yang turun di Madinah, ada tambahan penegasan spesifik bahwa Nabi Ibrahim As tidaklah beragama Yahudi dan tidak juga Nashrani, melainkan sebenar-benarnya hanifan dan musliman saja. Ini bisa dijadikan isyarat bahwa fase Madinah memanglah lebih majemuk realitas yang dihadapi umat Islam masa itu.
Dari dua belas ayat tentang hanifan musliman itu, para pakar tafsir bersepakat bahwa surat Ar-Rum ayat 30 merupakan “hulu ledaknya”. Begitulah di antara keterangan detail dan lengkap yang bisa dijumpai dalam tafsir Al-Munir karya Prof. Wahbah Az-Zuhaili–beliau menuliskan lengkap dalam satu kajian tematik mulai ayat 30 sampai 32. Begini:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus (hanifan) kepada agama (Islam) ini; (sesuai) fitrah Allah Swt disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah Swt. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertawakkal kepada-Nya serta laksanakanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah Swt, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rum 30-32).
Secara kajian Balaghah, redaksi “hadapkanlah wajahmu dengan lurus (hanifan) kepada agama (Islam) ini” berlaku asas ijaz (penyingkatan), tepatnya kaidah dzikrul juz’i wa iradatul kulli (menyebut sebagian (wajah) untuk memaksudkan keseluruhan atau totalitas diri keyakinan dan pengabdian kepada Allah Swt). Pemahaman Balaghah ini selaras betul dengan riwayat yang diabadikan al-Qur’an tatkala Nabi Ibrahim As mencari kebenaran Ilahiah mulai dari bintang, bulan, lalu matahari dan kemudian berlabih kepada tawajjuh kepada Pencipta langit dan bumi, yakni Allah Swt. Itulah makna hanifan.
Sebelum lebih lanjut mamasuki esensi hanifan itu, dalam ayat 30 di atas juga disebutkan lema yang sangat menarik untuk digali lebih mendalam, yakni “fitrah”. Yang dimaksud “Fitrah Allah Swt” ialah ketetapan dan peraturan-Nya yang secara asali dan hakiki menciptakan manusia cenderung kepada keimanan, penyembahan, peribadatan, dan kemaslahatan.
Surat Al-A’raf ayat 172 menerangkan: “…dan Allah Swt mengambil kesaksikan terhadap ruh mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Iya, benar (Engkaulah Tuhan kami), kami bersaksi.’”
Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku sebagai orang-orang yang hanif dan sesungguhnya setan mendatangi mereka dan membawa mereka pergi menjauh dari agama mereka itu.” (HR. Muslim dan Imam Ahmad).
Juga hadis Rasulullah Saw ini: “Tiap-tiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, hingga kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, dan Majusi.” (HR. Bukhari Muslim).
Desain “pengikatan rohani” manusia kepada ketetapan dan peraturan Allah Swt inilah fitrah-Nya itu, yang diberlakukan-Nya kepada fitrah manusia dan alam semesta ini. Ini juga disebut sunnatulLah. Di antara yang berkali-kali saya sebut sebelumnya sebagai sunnatuLlah ialah khittah perbedaan dan kemajemukan antar-manusia itu sendiri.
Anda, dengan demikian, tak berhak dan juga takkan pernah bisa memaksakan keseragaman kepada manusia. Jika terus memaksakan diri, buahnya bukanlah keberhasilan ambisi Anda, melainkan kerawanan pertikaian dan permusuhan. Tiada manfaatnya. Mari pegang selalu ini.
Ketika millah Ibrahim As yang hanifan (lurus) dan musliman (berpasarah diri) dijadikan prototipe teologis yang mesti diikuti dan diamalkan oleh umat Islam–sejatinya, khitab tersebut kepada semua manusia, termasuk kaum Yahudi dan Nashrani—kita pada sisi kemanusiaan asali kita telah diberi bekal kefitrahan tersebut.
Diakui atau tidak, saat kita sedang berbuat suatu keburukan, di dalam hati kita niscaya ada desir sesal dan pengingat bagai alarm untuk tidak melakukannya, mengatakannya salah dan tercela, dan mendorong untuk bersegera kembali kepada jalan fitrah itu–inilah di antara alarm fitrah itu, yang dimaksud munibina ilaihi, kembali kepadaNya (fitrahNya).
Prof. Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya, Al-Munir, mengatakan bahwa semua dalil ini menunjukkan bahwa sebenarnya makhluk diciptakan dalam keadaan memiliki naluri dan sifat alamiah yang cenderung kepada akidah yang benar, bahwa akal manusia aslinya tercipta dalam keadaan bersih dan lurus (ihwal “akal” ini dalam tradisi sufistik disebut “tempat Allah Swt meletakkan perintah” atau dalam bahasa filsafat Yunani disebut “akal murni”).
Kemudian, demikian az-Zuhaili, terjadi perubahan dan penyimpangan akibat pengaruh-pengaruh lingkungan berupa hawa nafsu, pengetahuan dan wawasan yang menyimpang, warisan-warisan yang batil, dan sikap membabi-buta, tanpa memperunakan akal pikiran dan tanpa ada usaha pembentukan akidah berdasarkan pandangan yang independen, onyektif, dan tepat. Inilah yang menjadikan manusia melenceng dari fitrah akidah yang lurus (hanifan) dan kepasrahan hakiki kepadaNya (musliman). Bahkan seandainya manusia dibiarkan saja apa adanya, niscaya dia tidak akan memilih agama lain selain agama tauhid ini karena memang itulah fitrah yang sesuai dengan naluri dan sifat alaminya.
Sangat masuk akal karenanya kepada orang-orang yang tidak beriman atau meragukan atau membantah dan mendebat kebenaran al-Qur’an, banyak betul ayat yang mendorong secara tegas pada manusia untuk bersegera menggunakan akalnya, merenung, berpikir, bertadabbur, bertasya’ur, agar ia segera mengenali isyarat batinnya sendiri atas telah terjadinya kemelencengan atau penyimpangan pada dirinya yang membuatnya tercerabut dari fitrah agama tauhid ini. Seandainya manusia mau berpikir, merenung, memahami, dan mengetahui dengan sebenarnya dan jernih, niscaya mereka takkan berpaling dari millah tauhid, syariat Islam, petunjuk, dan tuntunannya.
Saya ingin menambahkan catatan kritis Sayyid Muhammad Husein Ath-Thabathaba’i terkait fitrah–ini bisa dijumpai dalam kitab tafsirnya tentang ayat khairul ummat (QS. Ali Imran 110). Desain Allah Swt yang menetapkan manusia pada fitrah ketauhidan secara rohani dan kemaslahatan secara sosial menjadikan relasinya klop betul dengan sifat-sifat yang melekat pada tauhid dan syariat Islam.
Lebih jauh, segala bentuk penyekutuan kepada keesaan Allah Swt–yang berseberangan dengan fitrah tauhid—hanya akan menjadikan hati dan pikiran serta perbuatannya didera ketidatenangan hidup. Apapun serta bagaimanapun ia membangun narasinya!
Hal ini mudah dipahami sebagai akibat bagi tidak dipunyainya Sandaran Yang Maha Segalanya, sehingga walhasil segala sandaran yang dibuatnya kemudian (hawa nafsu, ilmu, hingga amal) yang sama sekali bukanlah Kemahaan tak pernah mencukupi kebutuhannya untuk bersandar dengan tenang, tenteram, dan mantap. Saat kemudian ketidakmantapan sandaran rohani itu dibawa kepada dunia tindakan (ucapan dan perbuatan), yang niscaya bertemu dengan khazanah sandaran liyan, terjadilah tabrakan, benturan, dan ketegangan. Segala bentuk tabrakan, benturan, dan ketegangan berpunggunganlah dengan khittah kemaslahatan itu. Akibatnya, semakin manusia mendesakkan sandarannya (pemikiran dan perbuatan yang dipandangnya benar) ke ruang sosial yang luas rawan semakin terjungkal-lah ia dalam ketidaktenangan dan ketidaktenteraman.
Dalam redaksi yang agak berbeda, namun dengan esensi yang senapas, keterangan tersebut juga bisa diketemukan dalam kitab Al-Mishbah karya Prof. Quraish Shihab, At-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur, hingga Al-Tafsir Al-Kabir karya Imam Fakhruddin al-Razi dan Al-Muwafaqat karya Imam Syatibi –dan niscaya pada karya-karya ulama pada umumnya.
Hal terakhir yang penting direnungkan pula dari ayat ayat di atas ialah bagian “janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah Swt, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”
Fitrah ketetapan Allah Swt adalah agama tauhid, millah Ibrahim As, kini kita sebut Islam yang dibawa dengan sempurna oleh Rasulullah Saw, menisbatkan “jalan yang lurus” (hanifan) dan sekaligus sikap “pasrah diri kepada-Nya” (musliman). Setiap usaha atau kecenderungan untuk tidak mengimaninya–entah atas dasar keawaman, hawa nafsu, gelap mata, atau bahkan progresivitas ilmu pengetahuan yang makin mengikatkan diri pada tali agama alias tidak berkah—seketika menjatuhkan pelakunya kepada penyekutuan Allah Swt. Semua usaha begitu adalah nyata merupakan bagian dari kesyirikan.
Pada umumnya, muasal cenderung retaknya keimanan yang telah ada bila didasari oleh perjalanan keilmuannya akan bercirikan kecenderungannya kepada perdebatan, lalu perpecahan, lalu permusuhan. Di tengah konstelasi konflik keilmuan tersebut, mereka saling mengklaim diri benar dan lurus secara ilmu sembari tentu saja menginjak-injak pemahaman keilmuan lainnya. Mereka saling membanggakan diri sedemikian rupa, hingga–sadar atau tidak—justru tercerabut dari hal-hal pokok ketauhidan itu.
Saya telah menerangkan batasan patut dari Imam Ghazali yang seyogianya dipegang oleh semua kita di hadapan kerawanan pemahaman dan keilmuan ini agar tak terjatuh pada keburukan yang dimaksud ayat di atas, yakni mengutamakan hal-hal atau paham-paham yang disepakati luas oleh para ulama dan umat, seperti meningkatkan keimanan dan ketakwaan dan peridabatan serta amal-amal saleh. Ini bagaikan pagar yang akan menjaga kita tetap jumeneng secara utama dan hakiki dalam kepatuhan dan ketaatan kepada iman dan takwa kepada-Nya serta dari risiko terjerumus kepada jurang sikap-sikap melampaui batas–seperti perpecahan, pertikaian, dan permusuhan.
Kemudian, kepada ikhtilaf ilmu itu sikap rasional dan etisnya tiada lain ialah penerimaan kepada hak liyan walau tidak pula pembenaran, serupa dengan keinginan kita sendiri dari liyan. Ihwal kebenaran hakikinya sepenuhnya dikembalikan kepada Kebenaran Mutlak Allah Swt.
Bila sikap begini selalu bisa kita rawat, maka niscaya kita akan senantiasa selaras dengan sifat-sifat kemaslahatan. Dan inilah bagian dari fitrah berpegang kepada tali agama Allah Swt di hadapan bentuk fitrah lainnya yang berwujud perbedaan dan keragaman.
Selesai, bukan?
BACA JUGA Kultum Ramadhan Lainnya di Sini