“Selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa”
Terkesan normatif, namun ungkapan tersebut saya rasa tidak berlebihan, terutama jika mengamati fenomena akhir-akhir ini akibat wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Boleh jadi, banyak di antara umat Islam merasa kesal, menggerutu, atau bahkan sedikit gemas dengan virus yang seolah tak tahu waktu ini.
“Datang tak diundang, entah kapan segera pulang,” begitu kira-kira dalam sebuah pemeo.
Bagaimana tidak, Ramadhan adalah waktu sakral sekaligus suci bagi umat Islam. Shalat tarawih sudah seperti ajang perlombaan ke masjid atau mushola. Jika di hari-hari biasa kekosongan shaf lebih dominan, maka tidak dengan bulan ini. Tidak sedikit bahkan yang memasang tenda tambahan untuk menampung jamaah yang datang berbondong-bondong menghadap ilahi. Sebuah pemandangan yang sungguh indah dan dirindukan oleh semua muslim. Lah ndilalah Covid-19 menjadi penghalang kerinduan ini.
Di beberapa tempat yang telah menetapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), ibadah shalat tarawih dilakukan terbatas di rumah saja. Pokoknya, sebisa mungkin umat Islam dihimbau melaksanakan ibadah bulan Ramadhan di rumah masing-masing.
Nah, dalam konteks ini ada beberapa fenomena yang cukup menggembirakan. Pertama, ada semacam tuntutan tidak tertulis bagi kepala keluarga untuk menjadi Imam tarawih. Beberapa kawan yang belum terbiasa dengan ini lantas minta dikirim bacaan dan doa selepas salat tarawih dan witir. Ada pula yang bertanya, untuk 20 rakaat tarawih, bacaan surat dimulai dari surat mana? Pertanyaan yang wajar karena di beberapa tempat ada yang memulai dengan surat al-Qariah, dan yang lebih masyhur diawali dengan surat al-Takatsur.
Cerita yang lebih ajaib lagi adalah ketika seorang anak dari kawan saya bercerita kalau bapaknya hanya “qulha-qulhu ae”, semua rakaat membaca surat al-ikhlash yang dimulai dengan “Qul huwa Allahu Ahad”. Sontak saja saya sampaikan seadanya ke yang bersangkutan: “loh, itu bapakmu dapat amalan dari Yai Anwar Zahid yang mengijazahkan Qulhu ae lek!!”
Kedua, Tidak sedikit para mubaligh yang dipaksa untuk bertransformasi menjadi da’i daring. Ceramah subuh, kajian sebelum berbuka, maupun kultum setelah tarawih dijadwalkan melalui media online Facebook, Instagram, Youtube dan sebagainya.
Masalahnya, tidak semua mubaligh akan langsung akrab dengan media-media tersebut, terutama tentang bagaimana mekanisme dan cara mengoprasikannya. Tak ayal, pertanyaan cenderung konyol mengemuka di Whatsapp Group: “bagaimana cara live facebook ya? Dapat jadwal kultum nih?”. Astaghfirullah, kaget campur pengen ketawa membacanya. Ya iyalah, itu pertanyaan mudah sekali dijawab anak SD jaman sekarang.
Tapi, itu semua merupakan kenyataan yang benar-benar terjadi. Tak heran kalau ada anak kecil tiba-tiba teriak ke bapaknya, “ayah gak usah sholat Jumat, kan imamnya ada di televisi. Sholat di rumah saja.” Sebuah tantangan serius bagi kepala keluarga tentunya.
Dua persoalan di atas tentu menyadarkan kita semua, terutama kepala keluarga untuk kembali kepada fungsinya sebagai nahkoda keluarga. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan persoalan tanggung jawab materi dan dunia saja, tetapi juga persoalan tanggung jawab keagamaan dan spritualitas keluarga.
Tantangan dunia industri memang menjadikan seorang kepala keluarga untuk bertarung dan gigih di luar rumah. Tetapi jangan lupa bahwa persoalan nilai, prinsip, dan moralitas kemanusiaan juga berada pada pundaknya. Dan, itu semua berawal dari keluarga.
Jika kita menelisik fenomena meningkatnya radikalisme di Indonesia, umpamanya, sebagaimana temuan Badan Intelejen Negara (BIN) yang menyebut 39 persen Mahasiswa terpapar radikalisme, sedangkan 24 Mahasiswa dan 23,3 persen sisswa setuju dengan Jihad demi tegaknya Negara Islam, maka mengoptimalkan kembali peran kepala keluarga merupakan keniscayaan yang tidak dapat diganggu gugat.
Terlebih, Survei Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan PPIM tahun 2018, menyebutkan bilamana ideologi Islamis umumnya menyusup melalui buku-buku dan bacaan keagamaan yang menyebar di kalangan pelajar dan mahasiswa. Bahkan dalam survei lain, Center for The Study of Religion and Culture UIN yarif Hidayatullah menyebut bahwa kemudahan akses terhadap media online telah mengubah dan mendistorsi peran keluarga dalam hal pendidikan keagamaan, terlebih terkait radikalisme ini.
Suka tidak suka, kepala keluarga adalah pemimpin bagi keluarganya. Dalam bahasa arab yah sebut saja Imam atau Ra’in. Ia bertanggung jawab penuh, bil khusus terkait keagamaan anak dan keluarga. Dapat dibayangkan betapa ngerinya jika seorang anak tiba-tiba menyalahkan bahkan mengkafirkan orang tuanya sendiri hanya karena khatam edisi pengajian Youtube yang tanpa kendali dan screaning.
Oleh larena itu, sebagai pemimpin rumah tangga sudah selayaknya para bapak merebut kembali fungsi krusial tersebut. Sebuah fungsi sosial yang tampaknya mulai direduksi oleh Youtube, IG dan media sosial lainnya. Maka, adanya PSBB pada Ramadhan yang sendu saat ini memang merupakan momentum yang tepat untuk melahirkan d/a mengembalikan khittah Imam baru di keluarga.
Ya, mereka itu adalah imam yang penuh dengan cinta, kasih sayang serta keikhlasan penuh, alih-alih imam yang sering memaki atau mengolok-olok. Terlebih naudzubillah, imam yang ngajak ngebom sana-sini.
BACA JUGA Marhaban Yaa Ramadhan ala Muslim Kampung Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini