Banyak sekali saudara kita yang kecepatannya nge-share lebih kencang dibanding kecepatannya berpikir. Minimal berpikir jernih apakah link, quote, atau konten yang akan disharenya benar, meragukan, tak masuk akal, dan berbahaya. Gawatnya, sebagian besar lagi melakukan itu dengan sepenuh kebanggaan jiwa. Bila itu terkait dengan al-Qur’an dan hadis, kegembirannya nge-share laksana sederajat dengan berjihad di jalan Allah Swt. Adanya pagebluk virus Corona seperti sekarang ini juga tidak selamat dari gebyah-uyah ke–merasa–heroik-an itu.
Salah satu share yang sampai ke HP saya ialah perihal ayat 33 dari surat al-Ahzab yang dihubungkan dengan virus Corona. Sejumlah orang melengkapi share itu dengan pekik Allahu Akbar, Subhanallah, mukjizat al-Qur’an, dan sejenisnya.
Saya membacanya dan geleng-geleng kepala. Ini sungguh-sungguh pembodohan umat!!!
Jika pembuatnya orang awam, semoga Allah Swt memberikannya ilmu. Jika pelakunya bersengaja mempelintir ayat Allah Swt dengan pendekatan cocoklogi yang gampang membius orang-orang awam, semoga Allah Swt mengampuninya.
Ayat tersebut berbunyi begini: “Dan tetaplah di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj seperti tabarruj jahiliyah yang lalu dan laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta taatilah Allah Swt dan RasulNya Saw. Sesungguhnya Allah Swt bermaksud hendak menghilangkan dari kamu kekotoran, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Yang dibidik oleh share cocoklogi itu ialah “wa qarna fi buyutikunna, tetaplah (tinggallah) di rumahmu.” Dikatakan olehnya bahwa kata qarna pas dengan Corona. Dan, mudah diterka berikutnya, hal itu dijadikan dasar selebrasi meletus-letus dengan caption takbir, tahlil, tahmid, tasbih, dll.
Maaf kata, perilaku nir-akal yang sungguh hanya mungkin diproduksi oleh orang bodoh yang tak tahu diri atas kebodohannya begini sama sekali tak dikenal dalam tradisi keilmuan tafsir al-Qur’an. Metode terdekat terkait gathukan begini adalah ilmu munasabah dan siyaq—itu pun banyak syarat ilmiahnya, bukan modal cocoklogi belaka.
Prof. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Mishbah jilid 10 (hlm 464-469) menjelaskan dengan menawan ayat tersebut mulai dari asbabun nuzulnya. Rasulullah Saw sedang berada di kediaman salah satu istrinya, Ummu Salamah, memanggil Fathimah Ra, Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra, dan kedua putranya, Sayyidina Hasan dan Husein Ra. Rasul Saw lalu memeluk mereka, memasukkan ke dalam jubahnya, dan berdoa, “Ya Allah Swt, mereka inilah ahli baitku, bersihkanlah mereka dari dosa, dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah yang melihat pertistiwa itu berkata, “Aku ingin bergabung ke dalam jubah (kerudung) itu, tetapi Nabi Saw mencegahku sembari bersabda: ‘Engkau dalam kebajikan…. Engkau dalam kebajikan….’” (HR. Ath-Thabrani).
Riwayat tersebut jadi sandaran bagi sebutan populer Ahlu al-Kisa’ (Orang-orang dalam selimut) dan kemudian diabadikan dalam syiir Li khamsatun.
Jadi, secara musabab turunnya, ayat tersebut ditujukan kepada ahlul bait. Soal apakah ahlul bait hanya terbatas pada lima orang dalam jubah itu atau seluruh dzuriyah Rasul Saw, terdapat berbagai pendapat di antara ulama. Jumhur mengatakan bahwa ahlul bait adalah seluruh keturunan Rasul Saw yang bersambung nasabnya hingga ke buyut Hasyim, kakek Abdul Muthalib, bapak Abdulah, Rasulullah Saw, putri Fathimah, cucu Hasan dan Husein. Begitu di antara pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Tak ada kaitannya sama sekali dengan wabah apa pun, termasuk virus Corona.
Ada dua kata kunci yang sangat penting dicerna dari ayat tersebut.
Pertama, qarna fi buyutikunna, tetaplah kamu (kalian) di dalam rumah kamu (kalian).
Kata qarna ini diambil dari kata iqrarna, artinya: tinggalah dan beradalah di tempat dengan mantap. Pendapat lain mengatakan dari kata qurratu ‘ain, yakni sesuatu yang menyenangkan hati. Pendapat lain mengatakan dari kata qarar, yakni berada di tempat. Terakhir, pendapat yang mengatakan dari kata waqar, yakni wibawa atau kehormatan. Jadi, dari empat pendapat ahli tafsir ini, tak ada satu pun yang berkaitan dengan wabah Corona.
Dengan melihat pengartian tersebut, dalam pendapat saya berdasar pada ilmu tahlili di atas, makna “qarna fi buyutikunna” sepadan dengan “tinggallah, menetaplah, beradalah kalian, wahai para istri Nabi Saw, di rumah kalian dengan mantap untuk menjaga kehormatan.”
Kedua, wala tabarrajna tabarrujal jahiliyyah al-ula, dan janganlah kalian berhias dengan perhiasan kaum jahiliyah terdahulu.
Tujuan dari frase pertama di atas adalah bagian kedua ini. Ya, tujuan, bukan sekadar kelanjutan redaksi. Pembedaan keduanya akan memiliki implikasi hukum yang berbeda.
Kata tabarrajna dan tabarruj berasal dari kata baraja, yakni tampak dan meninggi. Ia juga sepantar dengan makna jelas dan terbuka. Itu artinya, secara ilmu munasabah, makna ayat ini terkait dengan surat An-Nur ayat 31 dan 60, yang intinya “melarang kaum perempuan menampakkan perhiasannya yang tak lazim nampak” demi menghindarkan timbulnya fitnah dan gangguan dari lawan jenis non-mahram. Anda bisa meluaskan perspektif ini pada surat al-Ahzab ayat 59.
Pertanyaan hukumnya kini ialah: pertama, Apakah ayat tersebut hanya berlaku untuk istri-istri Nabi Saw dan ahlul baitnya?; kedua, apakah perempuan berarti tidak boleh keluar rumah, misal bekerja?; dan ketiga, apakah perempuan berarti tidak boleh berhias dan berdanan?
Menarik untuk terlebih dahulu menakik makna tabarrujal jahiliyah (perhiasan kaum jahiliyah). Ini bisa jadi landasan historisnya.
Al-Qur’an menyebut “jahiliyah”, dalam uraian Abul Hasan Al-Ali Hasani an-Nadwi dalam Sirah Nabawiyah, sebagai situasi kebudayaan yang mengabaikan otentisitas keimanan tauhid warisan Nabi Ibrahim As, Ismail As, dan Ya’qub As dengan memasukkan berhala-berhala ke dalam spiritualitas mereka. Pada dasarnya, kaum jahiliyah Arab dulu mengakui ketuhanan Allah Swt, akan tetapi dicemari dengan sangat parah oleh berhalaisme itu. Di halaman Ka’bah, terdapat 360 jenis berhala! Ini pertama. Kedua, praktik hidup mereka lekat dengan kekerasan, kekasaran, dan amoralitas. Perang, monopoli, eksploitasi, perjudianm, zina, perbudakan, dll., menjadi lelaku keseharian mereka.
Inilah makna otentis kejahiliyah, yakni menyingkirkan keimanan tauhid dan melebur dalam kefasikan dan kemungkaran hidup. Jahiliyah bukanlah kebodohan kognitif—sebagaimana jamak dipahami selama ini—toh buktinya di masa itu tradisi syair-syair begitu semarak yang menandakan penguasaan sastrawi yang baik.
Tabarrujal jahiliyah al-ula, berhias ala jahiliyah terdahulu (sebagaimana dimaksud ayat di atas) berarti perilaku hidup bebas liar tanpa kendali iman, syariat, dan moral. Ini selaras dengan asas pokok maksud dan tujuan narasi ayat “tidak menampakkan perhiasan yang tak lazim nampak”, juga “menundukkan pandangan”, yang mesti dijadikan asas relasi lelaki-perempuan non mahram agar tak terjatuh ke dalam praktik relasi kaum jahiliyah. Inilah poinnya.
Maka, dari konteks historis tersebut, kini kita dapat menarik dan memahami luasnya khazanah pendapat para ulama perihal hukum boleh/tidaknya perempuan keluar rumah, misal bekerja.
Masih dari Al-Mishbah, Al-Qurtubhi dan Al-Maududi hanya membolehkan perempuan keluar rumah untuk urusan yang darurat atau diperlukan mendesak. Thahir Ibn ‘Asyur mengatakan hal tersebut bukanlah kewajiban, tetapi bersifat kesempurnaan. Muhammad Qutub mengatakan ayat tersebut bukanlah berarti terlarang bagi perempuan keluar rumah dan bekerja. “Hanya saja,” lanjutnya, “Islam tidak mendorong hal tersebut. Islam membenarkan mereka bekerja sebagai keadaan darurat, bukan menjadikannya sebagai dasar. Ini mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adakah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.” Sa’id Hawa memberikan detail lebih jauh bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan/kedaruratan ialah seperti mengunjungi orang tua, belajar yang sifatnya fardhu ‘ain dan kifayah, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak ada orang yang bisa menanggungnya.
Clear and distinct, ya.
Terakhir, ini berarti ihwal “berhias, berdandan, macak, dan perawatan” oleh kaum perempuan kontemporer menjadi terbatasi langsung secara hukum pada ejawantah jahiliyah atau tidak. Jika terjadi kejahiliyahan, otomatis terlaranglah seluruh proses menujunya—–termasuk perhiasan, berdandan, dll. Jika tidak, artinya bisa menjaga martabat, wibawa, dan rasa malunya, sehingga relasinya bersih dari fitnah, berarti telah tegaklah asas pokok maksud dan tujuan narasi ayat “tidak menampakkan perhiasan yang tak lazim nampak” dan “menundukkan pandangan”. Berarti tidak ada masalah, karenanya boleh-boleh saja.
Dengan berdasar dua kajian tersebut, jawaban atas pertanyaan pertama pun kiranya telah terselesaikan.
Teranglah kini, ya, bahwa surat al-Ahzab ayat 33 ini sama sekali tak ada hubungannya dengan virus Corona. Maka, berhentilah semena-mena pada ayat-ayat Allah Swt dengan membenarkan cocokologi. Bahkan umpama-pun desir di hati para pelakunya adalah pengangngan Allah Swt, ia tetaplah bermuatan kezaliman kepada al-Qur’an. Belum lagi bila berhitung dampak madhararnya bagi pembodohan umat luas.
Mari mengerti selalu bahwa semua bahasa, termasuk bahasa Arab, memiliki weltanschauung-nya sendiri-sendiri. Ada dasein-nya. Ada nilai khas, khusus, lokal, dan bahkan personalnya masing-masing. Karenanya, adanya kesamaan bunyi atau tulisan suatu lema bahasa, misal qarna, tidak bisa blas disepadankan dengan Corona; lema “birr” Arab tak bisa disepadankan dengan “bir” Indonesia; lema “sirr” Arab tak bisa disepadankan dengan “sir” Jawa; lema “sambi” Jawa tak bisa disepadankan dengan “sambi” Madura; lema “poke”-nya Inggris mutlak jauh telak dengan “poke”-nya Madura. Anda bisa kehilangan nyawa bila mengatakan lema tersebut kepada orang Madura secara sembarangan. Saporah.
BACA JUGA Hukum Menaikan Harga Masker dan Sanitizer di Tengah Pagebluk Corona ATAU Artikel-artikel tentang Virus Corona lainnya