“Jangan salah, pembeli lingeri paling banyak justru temen-teman yang bercadar. Wah bentuknya tidak karuan pokoknya, saya yang jualan saja ngga pernah pakai model itu.” akhwat poligami
Kami ngakak bersama mendengar obrolan salah satu instruktur pilates kami yang kebetulan juga merupakan seorang pengusaha pakaian dalam wanita. Ia berkisah panjang lebar tentang lingerie yang ia dapatkan dari Tanah Abang. Setiap kulakan yang bentuknya aneh-aneh (di mata kami), konsumen tetapnya adalah teman-temannya yang bercadar dan yang sudah beranak banyak.
Ya, masalah lingerie kerapkali menjadi obrolan yang lucu-lucu sedap jika dibahas, apalagi antar sesama perempuan. Kenapa masalah lingerie ini tiba-tiba mencuat begitu saja dalam pikiran saya?
Tak lain dan tak bukan berawal dari viral nya video seorang istri yang mengantarkan suaminya untuk poligami. Haduh, kenapa ya kisah poligami dan pelakor selalu saja ramai diperbincangkan. Apalagi di grup WA bapak-bapak, yes apa iyes?
Terkait pelakor, saya pribadi sebenarnya kurang begitu sreg dengan sebutan itu. Karena biasanya yang selalu menjadi objek pemberitaan adalah perempuan. Dan kenapa laki-lakinya bebas donk dari jeratan maut mulut netizen? Para lelaki ini bebas beraktivitas apa saja, tanpa adanya pandangan negatif yang menusuk-nusuk hati.
Poligami, akhwat dan lingerie? Ya, mau ngga mau bahasan ini turut menjadi topik utama dalam perbincangan ibu-ibu di beberapa media sosial. Ragam komentar muncul dari berbagai macam sudut pandang. Tapi ada satu hal yang lucu dan membuat saya agak terkekeh dibuatnya. Yaitu obrolan salah satu di grup WA perihal masalah yang paling intim dalam rumah tangga, yaitu tentang sex dan berbagai macamnya sampai ke ragam anjuran khusus para ibu untuk memakai lingerie.
Ya, lingerie. Untuk apa? Ya untuk ‘mengamankan’ suami-lah– betapa rendahnya lelaki jika kesetiaan hanya diukur dari lingerie. Saya saja sebagai perempuan ga mashoook kalau ukuran kesetiaan lelaki hanya diukur dari selembar lingerie.
Tetapi saya juga tidak menafikannya begitu saja. Sebut saja kisah instruktur saya tadi, ia mendapat jawaban yang beragam dari konsumen setianya.
“Alhamdulillah mbak, sejak pakai lingerie suami saya sudah jarang ngomongin poligami”.
Ya, salah satu konsumennya itu merupakan seorang akhwat bercadar yang sudah punya 5 anak. Dalam pengertiann, yang didapat dari pengajian, poligami memanglah sunnah alias dianjurkan. Dan barang siapa (istri) yang memberi jalan suami untuk poligami ia akan mendapatkan surga.
Pengertian ini ia telan mentah-mentah, meskipun di hati kecilnya sangat tidak sepakat. Beranak lima, masih kecil-kecil, dan suami acapkali membincang tentang poligami merupakan jalan dakwah yang harus dibantu oleh istri salehah.
Coba, istri mana yang hatinya tidak ketir-ketir? Mau salehah, menuju jannah, tapi jika harus dipoligami, tunggu dulu. Begitu terangnya.
Di sinilah kemudian kisahnya berlanjut ke perihal lingerie. Iya lingerie. Ia bercerita, bahwa teman-teman akhwatnya juga merasa insecure dan resah jika suami mereka poligami. Obrolan tentang lingerie pun mencuat di kalangan akhwat yang takut dipoligami.
Jadi, sebenarnya ketakutan menolak poligami itu lebih karena urusan menolak ajaran agama yang melulu didoktrinkan suami dan seringkali didengungkan dalam beberapa kajian yang mereka ikuti itu.
Mereka resah, mereka berontak dalam sepi hingga akhirnya menjadi konsumen tetap penjaja lingerie. Mereka merasa berhasil membungkam para suami dengan lingerie. Ya semudah itu. Lingerie kemudian menjadi topik hangat dan juga komoditas yang paling dicari para akhwat saat ini.
Saya tidak menafikan rasa insecuritas para akhwat tentang maraknya ajakan poligami. Di satu sisi, ajaran dan pengertian itulah yang mereka dapatkan dari para ustadz, namun perempuan tetaplah perempuan. Ibu tetaplah ibu. Istri tetaplah istri. Membagi cinta dan kasih, terlebih sudah memiliki anak bukanlah perkara mudah yang hanya bisa diiming iming dengan bualan surga.
Mereka tidak bisa berontak dengan terang-terangan, yang dapat dilakukan adalah berikhtiar dengan lingerie. Aneh juga sebenarnya, tapi begitulah setiap istri mempunyai caranya sendiri untuk melindungi anak-anak dan dirinya sendiri.
Cerita ini juga bisa dibaca di Neswa.id situs alternatif muslimah yang berbasis di Yogyakarta