Tulisan ini berusaha mengurai posisi non-muslim dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanut Jinayat). Secara sederhana, Qanun Jinayat dapat didefinisikan sebagai peraturan daerah yang berlaku di Aceh yang mengatur sejumlah perbuatan dan dikonstruksikan dari dua sumber ajaran Islam, yakni al-Quran dan Sunnah (Nurdin, 2019).
Argumen utama yang hendak dikembangkan dalam artikel ini bahwa non-muslim di Aceh sesungguhnya berada dalam posisi tidak dapat memilih ketundukan mereka terhadap Qanun Jinayat. Hal ini berbeda dengan pendapat yang selama ini berkembang bahwa non-muslim di Aceh diberikan pilihan untuk tunduk ataupun tidak tatkala melanggar Qanun Jinayat.
Ketidakbebasan non-muslim dalam memilih hukuman dilatari oleh ketentuan Pasal 5 huruf c Qanun Jinayat yang memposisikan non-muslim tidak dapat memilih ketundukuan mereka. Lengkapnya, pasal tersebut berbunyi, “setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan perbuatan Jarimah di Aceh yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau ketentuan pidana di luar KUHP, tetapi diatur dalam Qanun ini.”
Dengan kata lain, berdasarkan pasal tersebut, kebebasan memilih hukuman bagi non-muslim hanya berlaku jika terdapat tindak pidana serupa yang diatur dalam KUHP dengan Qanun Jinayat. Hal itu bisa dilihat dalam Pasal 5 huruf b, “setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan Jarimah di Aceh bersama-sama dengan orang Islam dan memilih serta menundukkan diri secara sukarela pada Hukum Jinayat.” Sementara jika terdapat perbuatan yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana di luar KUHP, maka non-muslim harus menerima dihukum dengan Qanun Jinayat.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan krusial, apakah Qanun Jinayat di Aceh telah memaksa non-muslim untuk tunduk pada hukum agama lain yang tidak dituntut oleh agama mereka? Dan apakah pemberlakuan Qanun Jinayat telah melanggar hak kebebasan beragama non-muslim di Aceh?
Pertanyaan ini menjadi penting dicarikan jawabannya, mengingat pada dasarnya Qanun Jinayat dibuat hanya untuk muslim yang berada di Aceh (Pasal 5 huruf a), yakni merujuk pada asas personalitas dan teritorial. Sehingga berdasarkan asas tersebut, orang yang melakukan jinayat bukan beragama Islam dan tidak berada di Aceh, tidak dapat dihukum.
Oleh karena itu, tak mengherankan jika Danial (2012) menyimpulkan bahwas asas personalitas dalam Qanun Jinayat tidaklah murni, begitu juga dengan asas teritorialnya yang bersifat semu. Meskipun kesimpulan Danial itu untuk mengomentari beberapa qanun yang bermateri muatan jinayat sebelum Qanun No 6 Tahun 2014 lahir (Qanun Nomor 12, 13, dan 14/2003 masing-masing tentang Larangan Khamar, Larangan Maisir, dan Larangan Khalwat), nyatanya Qanun yang lahir belakangan pun menempatkan posisi non-muslim sebagai pihak yang dirugikan dalam pemberlakuan Qanun Jinayat.
Hal itu setidaknya diakibatkan oleh Pasal 5 huruf b dan c yang memberlakukan Qanun Jinyat bagi non-muslim. Pasal itu memberikan dampak besar bagi pemberlakuan Qanun Jinyat bagi non-Muslim. Dampak pertama, persis kata Danial (2012) bila kejahatan pidana dilakukan bersama-sama yang salah satunya beragama non-muslim, maka atas dasar kerelaan ia dapat menundukkan diri untuk diberlakukan hukuman kepadanya menurut syari’at Islam. Karena secara psiko-sosial kelompok minoritas non-muslim agak sulit untuk menyatakan tidak rela dan tidak tunduk kepada hukum syari’at Islam di tengah mayoritas masyarakat Muslim.
Sementara dampak kedua lebih menganga lagi, di mana setiap orang termasuk non-muslim bila melakukan kejahatan pidana yang tidak diatur dalam KUHP atau peraturan perundang-atau ketentuan pidana di luar KUHP, maka terhadapnya akan diberlakukan hukuman berdasarkan Qanun Jinayat.
Di antara kejahatan pidana yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah khalwat, ikhtilat, zina, lesbian, gay, qadzaf, khamar, dan maisir. Implikasinya, kelompok minoritas non-muslim yang melakukan tindak pidana yang tidak diatur dalam aturan yang berlaku secara nasional, akan dihukum berdasarkan ketentuan hukum Islam. Di sinilah problematika dan dilema penerapan hukum pidana Islam di Aceh.
Di satu sisi, sebagai hukum publik, Qanun Jinayat serupa dengan hukum pidana yang menganut asas teritorial, yakni berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak kejahatan di wilayah diberlakukannya hukum itu.
Di sisi lain, dalam pluralitas sosial, agama, dan sistem negara modern seperti Indonesia. Pemberlakuan hukum yang berbasis agama tanpa sikap kritis dan kajian mendalam dapat mencederai hak kebebasan beragama dan mengamalkan agama atau dalam bahasa lain melanggar hak asasi manusia. Sehingga tak mengherankan jika dikatakan keberlakuan Qanun Jinyat telah menjadikan umat agama non-muslim untuk terpaksa menerima jenis perbuatan dan hukuman yang tidak ada dalam keyakinan agama mereka.
Lantas, mengapa Qanun Jinayat menempatkan non-muslim dalam posisi demikian? Jawabannya karena model perumusan qanun tersebut cenderung melihat non-muslim dengan paradigma fiqh klasik. Dalam fiqh klasik, status hukum non-muslim berada dalam kondisi serba terbatas (Utriza, 2007). Non-muslim mengalami perlakuan yang tak sama di depan hukum; sumpah non-muslim tidak diterima, non-muslim tidak petnah bisa bersaksi melawan muslim, diyat non-muslim dihargai hanya setengah dari diyat muslim dan lainnya.
Dalam menjalankan ajaran agama, non- muslim mengalami bermacam-macam diskrimmasi seperti pelarangan mendirikan gereja di negara-negara Islam. Untuk urusan publik tetap menjadi hak ekslusif umat Islam, non-muslim tidak mempunyai hak. Mereka tidak bisa menjadi kepala pemerintahan, menteri, hakim pengadilan, sekretads, bendahara, sebab semua posisi itu hanya disediakanuntuk Muslim. Dalam masalah hukum keluarga dan perdata, non-mnslim harus tunduk pada hukum Islam. Jika mereka terlibat suatu masalah dengan Mus lim,tnaka hukumIslamyanghatus diterapkan.
Lantas, bagaimana respon masyarakat non-muslim terhadap kehadiran Qanun Jinayat itu? Salah satu riset yang coba menelusuri hal tersebut dilakukan oleh Bahiej, Makhrus & Amilia, (2017). Kesimpulan dalam paper mereka menunjukkan bahwa masyarakat non-muslim di Aceh menganggap tidak bermasalah dan menerima kehadiran karena Qanun Jinayat karena mengajarkan kebaikan yang diajarkan di semua agama.
Bahkan beberapa warga non-muslim memilih untuk menundukkan diri secara sukarela dengan alasan praktis dan cepat selesai dalam pelaksanaan hukumannya. Di pihak lain, beberapa tokoh umat non-muslim di Aceh menyatakan bahwa qanun seharusnya diberlakukan hanya bagi umat Islam. Namun demikian, karena pemberlakuan ini berdasarkan amanat undang- undang, maka syarat penundukan diri secara sukarela tetap diserahkan kepada pribadi-pribadi umatnya.
Karena itu, tak mengherankan jika Ichwan (2017) mengatakan bahwa non-muslim yang hidup di Aceh dianggap sebagai “tamu”, sedangkan pemerintah daerah dan muslim sebagai “tuan rumah”. Dalam kerangka berpikir demikian, sebagai tamu non-muslim telah diberikan hak melakukan kepercayaan dan agama mereka, tetapi semuanya dalam batas yang ditetapkan oleh tuan rumah. Sebagai imbalannya, para tamu harus menghormati tradisi, kepercayaan, dan peraturan yang dibuat tuan rumah. Sehingga ajaran agama di luar mayoritas harus dibatasi, baik secara hukum, politik, dan sosial. (AN)
Wallahu a’lam.