Sejak akhir Desember 2019, kita digegerkan dengan kemunculan virus baru bernama Corona. Virus itu menyerang manusia dan menularkannya lewat udara atau kontak fisik dengan penderita. Seperti yang diberitakan berbagai media, virus itu berasal dari Wuhan China, dan menyebar sampai beberapa negara. Total ada puluhan warga yang meninggal, dan ribuan yang terinveksi virus yang menyerang paru-paru tersebut.
Banyak warganet yang mengaitkan musibah itu dengan sentimen “anti-Cina” yang dilakukan oleh beberapa pihak yang tak bertanggung jawab, apalagi ada pula yang mengaitkannya dengan azab atas klaim semena-mena yang dilakukan Cina di Natuna beberapa waktu yang lalu.
Namun, untuk mendamaikan suasana, kita perlu menengok ke belakang. Bagaimanapun orang Cina berperan penting dalam sejarah “islamisasi” di Nusantara. Ada banyak bukti-bukti sejarah yang mengulas tentang itu, salah satunya dibuktikan oleh Adrian Perkasa lewat bukunya berjudul “Orang-Orang Tionghoa dan Islam di Majapahit”.
Adrian menulis, bahwa keberadaan muslim Tionghoa di masa Kerajaan Majapahit (1293-1527) bisa dibuktikan dengan adanya kompleks Makam Islam Troloyo, yang terletak di Mojokerto. Kompleks pemakaman itu, berdekatan dengan ibukota kerajaan Trowulan yang dibangun sekitar abad keempat belas sampai kelima belas, tepat ketika Majapahit berkuasa di Nusantara.
Menurut Adrian dalam bukunya, mereka adalah para tentara Dinasti Yuan (1271-1368) yang tidak ikut kembali ke Cina. Para tentara (muslim) itu kemudian melakukan amalgamasi (menikah) dengan perempuan setempat. Baru setelah itu, seiring dengan berkembangnya waktu, pendatang muslim Cina semakin banyak dan melakukan usaha perdagangan.
Pada awal abad kelima belas, ketika Islam sudah mulai tersebar di Trowulan, kondisi sosial ekonomi masyarakat Majapahit mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Bahkan, di masa itu adalah puncak kejayaan Majapahit. Hal ini disebabkan kelompok pedagang asing turut berperan penting dalam menyumbang upeti yang menguntungkan perekonomian Kerajaan Majapahit.
Kemakmuran yang dicapai oleh Majapahit terjadi karena perdagangan antardaerah dan antarbangsa semakin meningkat, yaitu ketika komoditi utama Majapahit, beras, diserap penuh oleh pasar internasional dan didukung oleh stabilitas politik di kalangan pemerintahan.
Karena besarnya peranan mereka (orang Tionghoa) dalam kemajuan Majapahit, Raja Hayam Wuruk memberikan hak istimewa kepada mereka. Hak istimewa itu tercantum dalam Prasasti Canggu (1353), yang salah satunya berisi tentang pengaruh pedagang dan pelayaran di Sungai Brantas, yang secara implisit menyebutkan kelompok pedagang Muslim Cina yang turut berperan dalam meramaikan perdagangan kawasan tersebut.
Sejak saat itu, Majapahit dengan pedagang-pedagang muslim itu ‘hidup mesra’ dan berdampingan dalam menjalankan roda kerajaan, sampai kejatuhan Kerajaan Majapahit yang dikenal dengan peristiwa Sirna Ilang Ing Kerthaning Bhumi.
Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, penyebaran agama Islam semakin pesat dan merambah ke berbagai daerah di Jawa. Anak raja Prabu Brawijaya ke-V, Tang Eng Kwat, alias Raden Patah, menjadi raja pertama di Kerajaan Demak Bintoro (1475-1554). Dia adalah lahir dari rahim Tang Eng Kian, putri asal Cina yang dinikahi Raja Brawijaya ke-5, Prabu Kerta Bhumi.
Kerajaan Demak menjadi pusat perdagangan di pesisir Jawa, dan menjadi titik persebaran Islam yang masif di Nusantara, setelah muncul pendahulunya di Sumatera seperti Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh.
Dari sejarah singkat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa muslim Cina menjadi salah satu faktor islamisasi di Nusantara, di samping da’i dan pedagang dari Arab, India, dan Persia. Kita sepatutnya bersyukur, atas usaha dari mereka kita bisa menikmati indahnya menjadi muslim Indonesia.
Sudah selayaknya kita mendoakan negara Cina yang tengah dilanda musibah Virus Korona, bukan malah nyinyir dan mengklaim itu azab dari Tuhan, memang kita siapanya Tuhan? (AN)
Wallahu a’lam.