Sastra pada dasarnya mempunyai peran ganda, ia tidak hanya menghibur tetapi juga mempunyai berbagai manfaat dan juga menjadi media untuk mengungkapkan sesuatu. Karya-karya sastra juga tidak semata-mata menyuguhkan hiburan dengan cerita naratifnya, tetapi juga menjadi media untuk mengubah paradigma masyarakat, melakukan kritik dan lain sebagainya. Termasuk dalam membela hak-hak kaum perempuan yang sering termarjinalkan.
Salah satu sastrawan yang tidak hanya menjadikan karya sastra sebagai sebuah hiburan tetapi juga sebagai sebuah media untuk sebuah kritik adalah Jamil Sidqi Al-Zahawi. Beliau adalah seorang sastrawan dari Irak yang lahir pada tahun 1863 M.
Nama lengkapnya adalah Jamil Sidqi al-Zahawi bin Muhammad Faydhi bin Ahmad bin Hasan bin Rustam bin Khasar bin al-Amir Sulaiman al-Zahawi, lahir di Zahawa yang berada di wilayah Kermanshah, Baghdad Irak pada 18 Juni 1863 M. Ayahnya bernama Muhammad Faydhi merupakan ulama dan mufti di Baghdad berbangsa Kurdi yang masih keturunan Baban, serta keluarga bangsawan Sulaimaniyah dan ibunya adalah seorang Turki asli.
Al-Zahawi adalah sosok penyair dan filsuf Irak berbangsa Kurdi, yang masa kecilnya digunakan untuk belajar Al-Qur’an di sekolah Al-Qur’an. Beliau juga belajar kepada ayahnya dalam berbagai disiplin keilmuan, mulai dari belajar dasar-dasar bahasa Arab sampai dengan puisi klasik. Selain itu, beliau juga belajar berbagai ilmu pengetahuan kepada para ulama yang ada di Baghdad pada waktu itu. Tahun 1885 M, al-Zahawi menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Sulaimaniyah di Baghdad. Setelah itu, beliau berpindah dari Baghdad ke Istanbul dan Yerussalem untuk melanjutkan pendidikannya.
Al-Zahawi adalah sosok yang mempunyai kemampuan berbagai bahasa, mulai dari bahasa Arab, Kurdi, Persia dan Turki. Sehingga ketertarikannya terhadap kasusastraan Barat, ilmu pengetahuan dan filsafat selalu beliau pelajari. Ketertarikannya terhadap berbagai bidang keilmuan mulai sastra sampai dengan hukum, mengantarkannya menjadi redaktur surat kabar Al-Zaura pada tahun 1890 M.
Surat kabar al-Zaura sendiri adalah surat kabar yang diterbitkan oleh Midhat Pasha, Gubernur Turki untuk Irak pada masa Turki Utsmani. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Julie Scott Meisami dalam Encyclopedi of Arabic literature.
Dalam kehidupannya, beliau pernah menjadi Profesor filsafat Islam di Royal University dan Profesor kesusastraan Arab di College of Art, Istanbul pada tahun 1908 M. Selain itu, beliau juga pernah berkecimpung dalam dunia politik dengan bergabung di partai federal yang ada di Irak pada waktu itu. Al-Zahawi juga pernah mendirikan sebuah komite untuk menerjemahkan undang-undang pemerintahan Turki Utsmani ke dalam bahasa Arab.
Kehebatan al-Zahawi sebagai salah satu sastrawan terkemuka pada masanya pernah mendapat pujian dari Taha Husein, di mana Taha Husein mengatakan bahwa al-Zahawi bukan hanya seorang penyair dan bukan hanya penyair Irak, tetapi juga penyair Mesir dan negara-negara lainnya. Beliau menggunakan ilmu pengetahuan sebagai senjatanya.
Males Sutiasumarga dalam bukunya Kesusastraan Arab; Asal Mula dan Perkembangannya, menjelaskan bahwa konsen al-Zahawi tidak hanya pada satu bidang keilmuan saja, tetapi beliau juga mempunyai tema yang sangat luas dalam menulis karya-karyanya mulai dari filsafat, elegi, pujian, pendidikan dan berbagai masalah sosial yang terjadi pasca perang dunia ke-satu. Pada masa ini, banyak sastrawan yang menyuarakan kebebasan dan kemerdekaan melalui puisi-puisinya.
Nama al-Zahawi mulai dikenal dalam dunia kesusastraan Arab lewat puisi-puisi filsafat, sosial, politik dan hak asasi perempuan dan agama. Dalam pandangan al-Zahawi, perempuan mempunyai peran yang sama pentingnya dengan laki-laki dalam membangun bangsa dan keluarga.
Sehingga al-Zahawi banyak menuntut kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Di masa hidupnya, beliau adalah pahlawan bagi kaum perempuan karena banyak puisi dan prosanya yang membela hak kaum perempuan dan pentingnya peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam artikelnya yang dipublikasikan oleh Jurnal Syro-Egyptian dan Al-Muqtathaf serta Al-Mu’ayyad, beliau menulis pembelaannya terhadap kaum perempuan terkait dengan penggunaan hijab yang pada waktu itu memunculkan banyak kontroversi.
Selain itu, beliau juga memperjuangkan hak-hak perempuan dalam Islam, di mana beliau banyak mengkritik penggunaan kerudung perempuan di depan laki-laki, sistem perceraian dalam hukum Islam yang merugikan kaum perempuan, perlakuan laki-laki terhadap perempuan yang semena-mena dengan menyakiti dan menganiaya.
Kurangnya pendidikan dan interaksi sosial bagi perempuan, kemudian kontribusi perempuan yang diremehkan dalam kehidupan publik. Keberanian al-Zahawi memperjuangkan hak-hak perempuan ini dilatarbelakangi oleh istrinya, karena beliau adalah sosok yang sangat menghormati istrinya. Beliau menganggapnya sebagai seorang yang membantunya, dan beranggapan bahwa istrinyalah yang membawa kebahagiaan ke dalam kehidupannya.
Salah satu karyanya yang terkenal adalah Tsawra Al-Jahim, sebuah kumpulan puisi yang salah satu puisinya berjudul Setan dan Malaikat. Di mana puisi tersebut menggambarkan kebesaran ciptaan Tuhan. Selain itu, al-Zahawi juga mempunyai berbagai karya di antaranya Al-Jadzabiyah wa Ta’liliha, Addhowahir at-Tabi’iyah wa al-Falakiyah, al-Khail wa Sabatiha, al-Fajr Shodiq, Anni, al-Fajr Shadiq ar-Radd ala al-Firqoh al-Wahabiyah, al-Fajr al-Shadiq ar-Radd ala Munkiti al-Tawassula wa al-Karamata wa al-Khawariq, Diwan al-Nahdah, Diwan Jamil Sidqi al Zahawi dan lain sebagainya.
Jamil Sidqi al-Zahawi meninggal pada 24 Februari 1939 M, beliau dimakamkan di Khaizuran, kota Al-Adhamiyah, Baghdad, Irak. Namanya tercatat sebagai seorang sastrawan Arab yang membela hak-hak kaum perempuan, lewat karya-karyanya dalam bentuk puisi dan berbagai karya ilmiah lainnya.