Bagaimana cara menjalani hidup? Hal seperti apa yang perlu kita lakukan dan tinggalkan? Itu mungkin salah satu pertanyaan yang pernah setiap manusia ajukan. Terkait hal ini, ada pesan yang disampaikan secara turun temurun dari para Nabi sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Pesan turun temurum tersebut termaktub dalam hadis:
عَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الْأَنْصَارِيِّ الْبَدْرِيِّ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُوْلَى: إذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud dari ‘Uqbah ibn ‘Amr al-Anshari al-Badri –semoga Allah menridhainya- ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya sebagian dari apa yang diketahui manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah ketika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu’.” (HR: Bukhari)
Redaksi hadis yang berbunyi “Sesungguhnya sebagian dari apa yang diketahui manusia dari ucapan kenabian yang pertama” menunjukkan bahwa apa yang hendak disampaikan Nabi Muhammad bukanlah hal baru di kalangan para Nabi sebelum beliau. Imam al-Munawi dalam Faidul Qadir berkomentar mengengenai redaksi tersebut. Berdasar keterangan beliau, apa yang hendak disampaikan Nabi Muhammad adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para Nabi.
Menurut Imam al-Munawi, kenabian yang pertama berarti zaman Nabi Adam. Pesan yang terkandung dalam hadis di atas semenjak Nabi Adam ada sampai zaman Nabi Muhammad. Pesan tersebut terus menerus ada dan tidak pernah direvisi. Sehingga tidak ada seorang Nabi pun yang tidak memberikan dorongan untuk melaksanakan pesan tersebut.
Pesan yang disampaikan adalah terkait dengan rasa malu. Sebagian ulama memahami bahwa yang ingin Nabi Muhammad sampaikan adalah ukuran hal yang bisa dilakukan dan tidak dilakukan adalah rasa malu kepada Allah. Dalam artian, bila hal yang hendak engkau lakukan itu tidak menimbulkan rasa malu sebab sudah sesuai dengan ajaran Islam, maka lakukanlah sekehendak hatimu. Tidak perlu perduli dengan hinaan atau cibiiran orang lain.
Berdasarkan pemahaman ini, maka pesan tersebut menjadi salah satu pondasi penting ajaran Islam. Sebab, dalam Islam suatu perbuatan adakalanya memalukan untuk dilakukan seperti hal yang diharamkan, dimakruhkan atau berkebalikan dari yang utama. Dan adakalanya yang tidak memalukan, seperti hal wajib, sunnah dan mubah.
Rasa malu adalah bagian dari iman. Hal disebabkan, sebagai watak yang tertanam dan tanpa adanya unsur kesengajaan untuk memunculkannya, rasa malu mencegah seseorang untuk melakukan hal-hal yang dilarang agama. Juga mencegah untuk meninggalkan hal-hal yang diwajibkan dalam ajaran Islam.
Hal memalukan hendaknya diukur dari apakah Allah ridha dengan prilaku tersebut, atau tidak. Jangan diukur dari penilaian manusia. Sebab manusia menilai seringkali hanya berdasar keinginan pribadi yang kadang berbeda-beda antara satu manusia dengan manusia yang lain. Yang lebih pantas dibuat penilaian adalah ridha Allah sebagai pencipta alam.
Maka tak perlu malu berhutang sebab berhutang diperbolehkan dalam ajaran Islam. Tak perlu malu meminjam, menyewa, atau mengakui kesalahan sebab hal itu dilegalkan oleh ajaran Islam. Yang perlu ditanamkan rasa malu dalam hati, adalah seperti menyakiti hati orang lain, menombongkan diri, berlebih-lebihan menggunakan harta dalam hal yang tak berguna dan hal lain yang dianggap membanggakan oleh kebiasaan manusia, padahal ajaran Islam melarangnya.
Imam al-Munawi menyatakan, rasa malu adalah watak yang tertanam pada manusia. Dan manusia dapat digolongkan dalam beberapa bagian berdasar rasa malunya. Ada yang rasa malunya lebih besar dari kebalikannya, adapula yang memiliki kebalikan lebih besar. Ada yang memiliki rasa malu yang besar hingga seakan-akan tidak memiliki kebalikannya sama sekali. Tapi, ada juga orang yang rasa tidak tahu malunya amat besar, sehingga seakan-akan tidak memiliki rasa malu.