Pada masa awal Muhammadiyah berdiri, K.H Ahmad Dahlan sangat gigih memperjuangkan pendidikan untuk meningkatkan kualitas SDM umat muslim pribumi, yang kala itu jauh tertinggal dari pihak kolonial Belanda.
Menurutnya, pendidikan adalah kunci bangsa agar dapat menjadi pribadi yang mandiri dan terbebas dari penjajahan. Untuk mencapai tujuan ini, dalam buku Biografi KH. Ahmad Dahlan, “Jejak Sang Pencerah”, dijelaskan bahwa ia tidak hanya mengadopsi sistem kelas ala Kompeni dengan bangku-bangku berjajar, tapi juga mengajarkan ilmu sains, termasuk ilmu falak.
Namun, terobosan yang ia lakukan ternyata tidak dapat diterima oleh semua pihak. Beberapa ulama sempat menganggapnya sebagai pihak pendukung penjajah dan terlalu liberal. Bahkan dalam suatu perjalanan kereta yang melewati wilayah Magelang, ia ditegur oleh seorang kiai yang mempertanyakan sistem pengajarannya yang menyerupai orang kafir.
Ditanya seperti itu, Haji Ahmad Dahlan menanggapinya dengan santai, “Maaf, Kiai, saudara dari Magelang ke sini tadi berjalankah atau memakai kereta api?”
“Pakai kereta api, Kiai,” sahut lawan bicaranya.
“Kalau begitu, nanti kalau Kiai pulang sebaiknya dengan berjalan kaki saja.”
“Lho… Mengapa?”
“Kalau Kiai tetap naik kereta api, Kiai akan mempertanyakan pada diri sendiri, ‘bukankah itu kendaraannya orang kafir?”