Dalam masyarakat jahiliyah wanita tak memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, jika ada seorang wanita yang melahirkan bayi perempuan, tak sedikit dari ayah si bayi yang memilih untuk menguburkan anaknya tersebut secara hidup-hidup karena kekhawatiran mereka bahwa bayi tersebut hanya akan menyebabkan kesialan bagi komunitas mereka, kebiasaan tersebut dinamakan dengan tradisi (wadul banaat). Bukan sekedar itu, bahkan wanita pada masyarakat jahiliyah tidak memiliki hak waris, lebih parahnya, wanita dijadikan sebuah komuditas yang bisa diwariskan.
Ketika Rasulullah SAW datang dengan ajaran islam yang dibawanya, beliau berusaha mengubah sudut pandang negatif masyarakat terhadap wanita ketika itu. Tradisi mengubur bayi perempuan yang lahirpun diharamkan oleh islam. Wanita mulai diberikan hak waris, dan tidak lagi dijadikan sebuah komuditas yang bisa diwarisi, bahkan wanita sangat dihargai dan diistimewakan dengan kodratnya sebagai wanita.
Di antara riwayat yang mendeskripsikan keistimewaan wanita yang diajarkan baginda Rasulullah SAW adalah sebuah riwayat dari sahabat Abu Hurairah RA yang menceritakan, bahwa suatu ketika ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang siapa orang yang paling berhak diperlakukan baik olehnya? Ketika itu Rasulullah SAW menjawab, ibumu, ibumu, ibumu, baru setelah itu ayahmu. (HR. Bukhari Muslim)
Tuntunan Rasulullah untuk berbuat baik kepada wanita tidak terbatas kepada wanita yang baik saja secara perilaku, bahkan kepada seorang wanita pezina yang hamil di luar nikah, dan ia memiliki itikad baik untuk bertaubat, Rasulullah SAW sangat bersikap baik kepadanya. Hal tersebut terbaca dari sebuah riwayat yang menceritakan kisah seorang perempuan dari kabilah ghamidiyah.
Dari Sahabat Buraidah RA, “Suatu ketika seorang perempuan dari kabilah al-ghamidiyah mendatangi Rasulullah SAW, dan ia berkata: “wahai Rasulullah, aku telah berzina, bersihkanlah aku dari dosaku!” kemudian Rasulullah SAW memintanya untuk pulang, keesokan harinya perempuan itu datang kembali, dan berkata “wahai Rasulullah SAW mungkin kamu akan menolak (untuk menghadku) sebagaimana engkau menolak pengakuan Maiz bin Malik, demi Allah aku telah hamil (dari hasil berzina), Rasulullah SAW “Aku akan tetap menjawab tidak, pergilah kamu sampai kamu melahirkan”, maka ketika perempuan itu telah melahirkan, ia datang kembali bersama bayi yang ia gendong dengan sebuah kain, dan ia berkata “ini bayinya, aku telah melahirkannya (wahai Rasul)”, Rasulullah SAW pun menjawab “pergilah, dan susui dia sampai engkau menyapihnya”.
Maka setelah ia selesai menyapih anaknya, ia kembali kepada Rasulullah SAW dengan membawa anaknya yang sedang memegang roti di tangannya, dan ia pun berkata “wahai Rasulullah, aku telah menyapihnya, dan ia telah bisa makan”, akhirnya Rasulullah SAW menyerahkan anak bayinya kepada salah seorang sahabat, kemudian meminta yang lain untuk membawanya ke tempat pengeksekusian rajam, akhirnya yang hadir ditempat itupun merajamnya, hingga datanglah sahabat khalid bin walid merajam dia sehingga muncratlah darah mengenai muka khalid bin walid, kemudian khalid pun mencela perempuan itu, (tanpa sengaja) Rasulullah SAW mendengar celaan khalid terhadap perempuan tersebut, lalu Rasulullah menegur khalid dengan keras “jaga ucapanmu wahai khalid, demi Allah, ia telah benar-benar bertaubat dengan taubat yang jika seorang yang banyak mengambil hak-hak kaum muslimin (dengan jalan yang tidak halal) bertaubat seperti taubatnya niscaya dosanya diampuni oleh Allah SWT” kemudian setelah perempuan itu wafat, Rasulullah SAW meminta para sahabat untuk menshalatinya dan menguburnya. (HR. Muslim)
Melalui riwayat tersebut kita dapat menyaksikan keengganan Rasulullah SAW untuk melaksanakan hukum had kepada perempuan dari kabilah ghamidiyah tersebut. Oleh karenanya, beliau beberapa kali mencari jalan keluar untuk menolak permintaan perempuan ghamidiyah tersebut, baik dengan memintanya untuk pergi dan datang kembali setelah melahirkan, kemudian memintanya untuk pergi dan datang kembali setelah ia menyusuinya, kemudian beliau memintanya untuk pergi dan kembali lagi setelah ia menyapihnya.
Bahkan dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh Abu Daud dalam kitab sunannya, sahabat Buraidah RA berkomentar kami para sahabat ketika itu membicarakan tentang kejadian Maiz bin Malik dan perempuan dari Kabilah Ghamidiyah, menurut kami, seandainya mereka berdua tidak kembali meminta untuk dirajam, niscaya Rasulullah SAW tak akan meminta untuk merajam mereka, tapi karena mereka terus meminta hingga empat kali, akhirnya beliau memerintahkan untuk mengabulkan permintaan mereka (HR. Abu Daud)
Dari keterangan tersebut, sebenarnya Rasulullah SAW lebih mengutamakan jalur pertaubatan untuk menebus dosa dibandingkan harus memilih jalur penjatuhan hukum had. Dan semua itu terlahir karena sisi kerahmatan, serta kelembutan hati yang dimiliki oleh Rasulullah SAW.
Karena sejatinya, pengakuan dari perempuan dari kabilah ghamidiyah itu, serta permohonannya untuk menebus dosanya dengan pelaksanaak eksekusi had kepadanya, sudah cukup membuktikan kesungguh-sungguhan dirinya untuk bertaubat. Dan ada kemungkinan Rasulullah SAW lebih mengharapkan ia untuk merawat anak yang ia lahirkan dengan baik, dan melakukan hal-hal baik lainnya, sebagai sebuah penebusan atas dosa zina yang telah ia lakukan, dibandingkan harus memutuskan hukuman had baginya yang pada akhirnya mengakhiri hidupnya di dunia.