Islam mengajarkan bahwa kemajemukan adalah sunatullah. Keragaman tidak dapat dihindari oleh siapapun di belahan dunia ini. Tak terkecuali dengan kemajemukan agama. Sudah barang tentu di setiap negara terdapat agama yang mayoritas dan minoritas. Di Indonesia, Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas. Namun tidak dapat dimungkiri, di negara lain, Islam menjadi agama minoritas. Hanya saja, perlu kita pahami bahwa baik mayoritas maupun minoritas adalah sama-sama sebagai warga negara. Dijamin dan dilindungi hak dan kewajibannya.
Selain itu, bagimana cara kita menyikapi keragaman agama, sebenarnya sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat kita telusuri dalam literatur kitab-kitab hadis yang mu’tabarah, semisal kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasai, dan Sunan Ibnu Majah. Dari beragam sumber ini, setidaknya ada lima agama di masa Rasulullah SAW. Kelimanya adalah Islam, Yahudi, Nasrani, Majusi dan animisme. Di tengah keragaman ini, tidak sedikit terdapat riwayat sahih yang menggambarkan bagaimana Nabi Muhammad SAW berinteraksi dengan penganut agama lain dalam rangka membina solidaritas sosial.
Terkait hal ini, Nabi Muhammad SAW pernah menegur istrinya, Sayidah Aisyah. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Sayidah Aisyah tengah mengadakan tasyakuran dengan memotong kambing. Masakan daging kambing dibagikan kepada tetangga-tetangga terdekat. Saat Nabi melihat apa yang dilakukan oleh istrinya itu, beliau bertanya; “Wahai istriku apakah engkau telah membagikan masakan ini kepada si fulan?” Sayidah Aisyah menjawab; “Belum! Dia itu seorang Yahudi, dan saya tidak akan mengiriminya masakan.” Mendengar jawaban ini, Nabi memerintahkan agar membagikan masakannya kepada Yahudi tadi. “Kirimilah! Walaupun Yahudi, ia tetap tetangga kita.” Begitu tutur Nabi SAW untuk ibunda Aisyah. Dari riwayat ini terlihat jelas bahwa Nabi Muhammad SAW berbuat baik kepada non-Muslim tanpa melihat latar belakang agamanya.
Dalam kitab Sunan al-Tirmidzi terdapat riwayat, bahwa suatu ketika Sayidina Imam Mujahid berada di kediaman Sayidina Abdullah bin ‘Amru. Waktu itu, beliau melihat pembantu Abdullah bin ‘Amru sedang menyembelih seekor kambing. Abdullah bin ‘Amru kemudian bertanya kepadanya; “Apakah kamu sudah menghadiahkan daging ini kepada tetangga kita yang Yahudi?”Dari riwayat ini kita dapat mengambil pelajaran adanya perhatian sahabat Nabi SAW kepada tetangga. Kendati tetangganya tersebut seorang Yahudi. Berbeda keyakinan dan agama.
Riwayat-riwayat ini memberikan pengertian bahwa orang-orang muslim dengan non-muslim dapat hidup rukun berdampingan sebagai tetangga. Menjalin keharmonisan sosial dengan baik. Serta saling berbagi dan saling menghargai satu sama lain. Tidak perlu ada sekat yang memisahkan hubungan harmonis di antara keduanya. Tentunya selama tidak berkaitan dalam hal aqidah dan ibadah. Karena masing-masing sudah memiliki ajarannya masing-masing.
Selain itu, sejarah mencatat bahwa Rasulullah saw semasa hidupnya seringkali kedatangan tamu dari kalangan non-muslim. Nabi Muhammad saw menyambut mereka dengan hangat. Sebagai misal, saat rombongan Nasrani Najran yang berjumlah 40 orang bertamu kepada Nabi. Rombongan tersebut dipimpin oleh Uskup Abu Haritsah bin ‘Alqamah. Di Masjid Nabawi, mereka berdiskusi dan dialog bersama Nabi SAW perihal masalah keimanan.
Seusai diskusi, rombongan ini pamit untuk pulang dan tidak seorang pun dari mereka yang masuk Islam. Nabi SAW juga tidak memaksa mereka untuk masuk Islam. Namun beberapa lama kemudian, ada dua tokoh rombongan ini yaitu al-Sayid dan al-‘Aqib menghadap kembali kepada Nabi untuk menyatakan keislamannya.
Dalam konsep beragama, Islam sama sekali tidak membenarkan adanya kekerasan dan pemaksaan, apalagi teror kepada non-muslim untuk memeluk Islam. Dengan jelas Allah swt berfirman:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Artinya:
“Tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam, sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.” (Q.S. al-Baqarah: 256)
Dengan begitu, orang-orang muslim punya hak untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya. Begitu juga non-muslim juga memiliki hak yang sama. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Artinya: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” (Qs Al-Kafirun:6)
Inilah sebenarnya titik moderasi Islam, di mana Islam mengakui dan menerima eksistensi agama lain tanpa harus mengakui kebenaran ajarannya. Kita juga melihat contoh akhlak Nabi SAW melalui beberapa riwayat di atas. Nampak jelas begitu lapangnya Nabi menyikapi perbedaan. Tujuannya adalah untuk menghindari timbulnya konflik dan permusuhan. Nabi Muhammad SAW dan para sahabat berbuat baik kepada orang lain tanpa melihat latar belakang agamanya.
*Tulisan ini dikutip dari bulletin Muslim Muda Indonesia