8 Juli 2005 lalu, tragedi pelanggaran HAM menimpa Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Ketika berlangsung Jalsah Salanah Nasional, Jemaat Ahmadi digeruduk oleh ribuan massa yang mengakibatkan diungsikannya ribuan Jemaat Ahmadi dan berujung pada penutupan paksa Kampus Mubarak di Parung, Bogor yang merupakan pusat JAI.
Tak hanya berhenti di situ, penyerangan hak dan kebebasan JAI berlangsung betubi-tubi. MUI sebagai lembaga yang seharusnya mengayomi, justru melakukan justifikasi sepihak dengan mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah merupakan ‘Sekte’ yang sesat, di tengah riuh suasana dan penyerangan bertubi-tubi kepada para Jemaat Ahmadi.
Hingga sekarang, tindakan diskriminatif masih kerap terjadi. Dalam sebuah perbincangan langsung antara penulis dengan salah satu anggota JAI, pihaknya menyebutkan bahwa tindakan diksriminatif masih terus menggerus hak-hak Jemaat Ahmadiyah di beberapa daerah.
“Seolah-olah nggak Cuma kelompok kami saja yang bermasalah, kami hidup pun jadi masalah,” ungkap kawanku yang saya temui beberapa waktu lalu.
Intan misalnya, seorang perempuan anggota Jemaat Ahmadiyah yang belum lama ini saya temui, ia kena PHK dari tempat kerjanya. Apa alasannya? Salah satu penyebabnya karena dia anggota Jemaat Ahmadiyah. Tak hanya di PHK dari tempat kerja, tindakan diskriminasi yang lain bisa berupa peniadaan KTP, dipersulit dalam mengurus izin pernikahan, dipersulit dalam beasiswa dan lain sebagainya.
Kenyataan-kenyataan tindakan diskriminatif di sekitar kita sebagaimana terjadi kepada Jemaat Ahmadiyah menjadi salah satu bukti atas ketidaksiapan sebagian masyarakat Indonesia dalam menerima keberagaman disekitarnya.
Jika hal ini diteruskan, kecederungan terjadinya konflik antar umat beragama akan besar sekali, dan tentunya akan sangat merugikan Indonesia sebagai Negara yang dikenal keberagamannya oleh masyarakat dunia.
Sebagai Negara heterogen yang berlandaskan asas Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai nilai dasar perjuangan, tindakan diskriminasi seperti yang dialami Jemaat Ahmadiyah sangat tidak dibenarkan dalam Undang-Undang. Tentu saja tertulis, Negara bakal menjamin perlindungan atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan seluruh warga Negara Indonesia. Dan, negara tidak memiliki hak untuk melakukan tindakan intervensi terhadap suatu kelompok keagamaan atau suatu aliran kepercayaan
Maria Ulfah Anshor dalam bukunya Perjuangan Belum Berakhir Membela Hak Konstitusi Muslim Ahmadiyah, menulis:“Jamaah Ahmadiyah di Indonesia adalah warga Negara. Mereka mesti menaati hukum nasional, menunaikan kewajiban membayar pajak, mematuhi keputusan pemerintah dan memenuhi panggilan polisi atau pengadilan. Mereka harus melepaskan state of nature: tidak melakukan kekerasan terhadap orang lain atau pembalasan atas kekerasan oleh orang lain.
Persoalan-persoalan konfliktual, lanjut Maria, mesti diserahkan kepada hukum yang berlaku. Namun ternyata kepatuhan dan ketaatan itu tidak selalu diganjar dengan tindakan nyata Negara untuk melindungi dan memediasi mereka tatkala berhadapan dengan tindakan kekerasan dan ancaman atas keselamatan mereka.
“Ketaatan itu juga tidak diganjar dengan akses yang setara terhadap jaminan hukum dan akses pelayanan public. Seringkali, Negara turut bersikap diskriminatif dengan menerapkan standar yang berbeda bagi kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dalam mengakses layanan public,” lanjutnya.
Lalu bagaimana dengan pemerintahan saat ini? Dalam periode kedua Presiden Joko Widodo ini, Kelompok Muslim Ahmadiyah masih belum menemukan titik terang nasib HAM nya di mata pemerintah. Meskipun komnas HAM dan komnas perempuan beserta sejumlah LSM terus berupaya merangkul, namun kelihatannya pemerintah masih bersikap abai terhadap hak kebebasan beragama dan berkepercayaan masyarakatnya.
Ahmadiyah adalah bagian dari cerminan pemerintah yang abai dengan tugasnya memastikan bahwa HAM setiap rakyat terjamin dengan baik, terutama hak terkait kebebasan beragama dan berkepercayaan. Namun sayangnya, seringkali terhadap tuntutan-tuntutan kelompok mayoritas, Negara cenderung bertindak pragmatis untuk menghindari gejolak yang lebih besar dengan mengorbankan kepentingan kelompok minoritas. Sehingga dampaknya, Negara terkesan lebih berpihak kepada kelompok, bukan kepada HAM itu sendiri. Bagaimana menurutmu?