Apakah Front Pembela Islam (FPI) pantas dibubarkan? Membaca ini memang tidak mudah. Paling tidak ada dua hal. Pertama, karena FPI sangat lihai menopang segala bentuk tindakannya dengan dalil-dalial agama, sehingga tampak jadi kebenaran, dan kedua karena negara ini menjunjung tinggi hak azasi serta nilai kebebasan dan kesetaraan bagi seluruh warganya.
Kedua alasan dimaksud cukup syarat untuk membuat siapapun, termasuk juga oknum dan pemerintah, untuk berhati-hati menetapkan satu putusan hukum dalam menyikapi kasus FPI. Sebab, jika salah melangkah—entah melanggar dalil agama yang digunakan FPI dalam me-justice keberadaannya atau bahkan menyalahi koridor azasi hukum negara—pelakunya (pemerintah) akan mendapat kecaman keras melalui—ehm, mungkin—demontrasi berjilid-jilid.
Lain lagi, misalnya, jika ada persepsi bahwa FPI merupakan salah satu anak kandung suatu rezim yang beberapa oknumya masih memiliki pengaruh kuat di lingkungan birokrasi hari ini. Maka bisa jadi nama aparat sebagaimana disebutkan seperti Jenderal Wiranto, oknum yang dirilis Institut Studi Arus Informasi (ISAI): Komjen Pol Purn Nugroho Djayusman dan Mayjen TNI Djaja Suparman, serta nama yang dibocorkan dari dokumen dari Wikileak: Mantan Kapolri Jenderal (Purn) Sutanto yang diduga pernah mendanai FPI bisa jadi akan dengan mudahnya lepas tangan terhadap kondisi FPI hari ini.
Namun demikian, posisi FPI yang sepintas terlihat kebal hukum bukanlah suatu hal yang mustahil jika pada waktunya nanti negara beserta seluruh perangkat “kekuasaan” dan kewenangannya membungkam atau bahkan membubarkannya. Sebab yang demikian ini dapat berubah secara tentatif seiring dengan hasil kajian dan pertimbangan pemerintah atas eksistensi FPI itu sendiri. Dan sejauh ini, secara pribadi penulis menilai FPI sudah tak lagi dibutuhkan oleh rezim yang membentuknya (Orde Baru) dan jejak kekerasan yang memang sudah banyak media yang mengungkapkannya.
Bila coba ditelaah secara seksama, FPI tak selalu menorehkan prestasi dan kebanggaan bagi bangsa ini. Dapat dibilang, segala bentuk perjuangan yang digelorakan FPI tidak satupun yang memperoleh nilai istimewah dan dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Sebab, jika kasusnya adalah penegakan hukum, negara dengan hukum positifnya yang transparan sudah mampu mengawal tegaknya hukum itu sendiri. Jika kasusnya memperjuangkan rakyat tertindas, di rezim demokratis sudah tidak ada lagi penindasan. Bahkan jika kasusnya adalah jihad serta pembelaan agama, penulis pastikan bahwa agama—Islam—tak butuh pembelaan Ormas, FPI.
FPI, Mujahid Islam Pembela Tuhan?
Berangkat dari “tesa” yang penulis sampaikan tentang tidak dibutuhkannya FPI dewasa ini, nampaknya akan banyak argumen yang niscaya disuguhkan untuk tetap mempertahakan esksistensi FPI di negeri ini. Mungkin salah satu di antaranya adalah alasan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar serta menjaga persaudaraan umat islam. Bersamaan dengan itu, tentu dalil-dalil agama akan disertakannya. Sehingga argumen mereka mesti diterima. Dan yang menolak akan “dicap” melawan perintah agama.
Untuk keluar dari “kedok” dalil agama yang selalu disampaikan oleh FPI di masa-masa yang telah berlalu dan masa yang akan datang, termasuk untuk menolak “tesa” ini, adalah dengan cara menyamakan persepsi tentang dua hal. Pertama, “Tuhan” beserta (agama) Islam bersifat abstrak. Kedua, dalil agama: al-Qur’an dan Hadis sifatnya interpretatif. Dua persepsi ini mesti harus diterima oleh semua kalangan, lintas ormas dan lintas sekte sekalipun.
Dari dua persamaan persepsi tersebut akan memberikan dua konsekwensi pula secara berkaitan. Pertama, setiap manusia yang mengalih-predikatkan Tuhan dari yang abstrak menjadi konkret akan meniscayakan bentuk, meniscayakan bekas bahkan meniscayakan butuhnya pada ruang dan waktu. Maka, siapapun yang mengasumsikan tuhan demikian, menjadi kafir dengan sendirinya.
Oleh karena Tuhan abstrak, setiap umat beragama tidak bisa dipaksakan sama dalam merasakan tuhan itu sendiri. Sehingga dari itu tingkat keyakinan dan kepercayaan manusia kepada tuhan berbeda-beda. Dari perbedaan itu pula manusia tidak sama dalam mengimplemintasikan keberagamaannya-keislamannya dalam praktek sehari-hari.
Pada tataran ini FPI tidak dibutuhkan untuk menyamakan persepsi, menyamakan ekspresi bahkan menyakan kelakuan manusia dalam memperaktekkan keyakinan dan kegamaannya masing-masing. Artinya, bagaimana mereka bisa membela Tuhan jika meyakini Tuhan saja belum tentu sama tingkatannya. Dan bagaimana pula mereka bisa membela Islam jika memahami dan pemahaman keberislamannya saja berbeda.
Maka, FPI yang getol melakukan aksi bela Islam, bahkan mencatut “atas nama agama” tentu salah. Sehingga gerakan itu tak lagi dibutuhkan, kecuali hanya untuk kepentingan politik.
Kedua, dalil agama: Al-Qur’an an Hadis sifatnya interpretatif, butuh tafsir dan pemahaman. Jika tidak, maka teks Al-Qur’an an Hadis menjadi naskah mati yang tak bisa dikontestasikan untuk menjawab berbagai macam persolan abad mutakhir ini. Bahkan jika Al-Qur’an an Hadis dialih predikatkan menjadi “tak interpretatif”, seluruh bentuk ijtihad ulama yang telah menafsirkan Al-Qur’an an Hadis adalah kegiatan yang salah. Tentu, yang demikian ini pola pikir yang salah total.
Oleh karena dalil agama: Al-Qur’an an Hadis sifatnya interpretatif, maka setiap golongan bahkan setiap interpreter/mufassir memiliki pemahaman dan koridor kebenaran masing-masing. Sehingga tafsiran seorang tidak dapat dipaksakan untuk sama dengan tafsiran orang lain. Sebab itulah, jika ada suatu kalangan, termasuk FPI yang sering me-justice kegiatan, tindakan dan kemauannya dengan dalil agama bahkah sampai memaksa orang lain untuk mengikuti dalil yang ia gunakan, tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab itulah, FPI tak perlu lagi berlindung dibawah kedok dalil-dalil agama. Karena dalil agama bukan hanya milik FPI belaka.
Dari itu semua, apalah arti kehadiran FPI hari ini? Tak ada, kecuali hanya menambah lapisan subkultur struktur masyarakat. Dan tambahan itu pula tak dibutuhkan oleh bangsa ini. Karena FPI tak terbukti memberi prestasi yang gemilang bagi sejarah perjuangan bangsa ini. Bahkan sering menyalahgunakan “atasnama agama” dan gerakan “bela Islam” untuk kepentingan politik saja.
Sudahlah, FPI bubarkan saja. Bangsa Indonesia akan berdaulat dengan hukum dan konstitusi negaranya, serta terbela dan terbebaskan dengan akidanya masing-masing. Bukan karena jasa dan perjuangan FPI. Artinya, FPI benar-benar tak dibutuhkan oleh negara dan agama.