Bulan September 2010, intelijen US menemukan 3 paket printer yang dikirim oleh kelompok Al-Qaeda di Jazirah Arab (AQAP) dari Yemen ke Chicago, US. Setelah melakukan investigasi secara mendalam, mereka tidak menemukan kandungan bahan/material berbahaya.
Bulan oktober 2010, pihak intelijen US berhasil menggagalkan pengiriman 2 printer ke Amerika saat pesawat berhenti di bandara transit terakhir, sebelum masuk ke wilayah Amerika. Berbeda dengan printer-printer di bulan September, printer- printer yang berhasil digagalkan ini mengandung bahan peledak dan mekanisme peledak. Apabila kedua paket ini tidak ditemukan dan dihentikan, maka kemungkinan kedua pesawat yang membawa paket tersebut akan meledak saat berada di wilayah udara Amerika.
Contoh di atas menunjukkan bagaimana metodikalnya kelompok teroris dalam melakukan serangan teror mereka. Mereka bukan hanya melakukan ‘mission planning‘, tapi juga melakukan ‘test run‘ alias uji coba, sebelum melakukan serangan.
Hari ini kita mendengar berita adanya ledakan yang mengakibatkan satu orang luka parah – lengan kirinya putus dan beberapa jadi di tangan kanan juga putus, sedangkan seorang lainnya mengalami luka ringan.
Berbagai berita simpang siur tentang kejadian tersebut. Ada berita menyebutkan bahwa ledakan yang terjadi adalah ledakan granat asap (Smoke Grenade), ada juga yang memberitakan bahwa ini hanya ledakan handphone.
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa baik granat asap, apalagi telpon genggam, tidak akan punya efek destruksi yang bisa sampai memutuskan pergelangan tangan seseorang. Kerusakan yang ditimbulkan hanya bisa dicapai oleh rangkaian peledak dengan kandungan ledakan (blast) tapi bukan fragmentasi. Secara kasat mata bisa terlihat dari luka yang ditimbulkan hanya pada bagian tubuh yang bersentuhan dengan bahan peledak tersebut.
Jadi kemungkinan besar, ledakan hari ini disebabkan oleh IED: Improvised Explosive Device. Hal ini tentu harus dibuktikan oleh tim Jihandak.
Nah, apa hubungannya dengan cerita pengiriman printer oleh AQAP di Yemen?
Menurut beta, apa yang terjadi adalah sebuah “test run” yang dilakukan oleh kelompok teror. Mereka memanfaatkan momentum 212 untuk melihat dan mengeksploitasi celah keamanan yang bisa dimasuki, terutama karena momentum 212 itu dilakukan di Monas yang berada di lingkaran ring 1 Istana Presiden dan kantor kementerian-kementerian.
Tidak tertutup kemungkinan, jika ada lagi reuni 212 di tahun depan, mungkin saja mereka akan memanfaatkan momen tersebut untuk melakukan serangan sebenarnya yang menyasar tokoh-tokoh pemerintah yang mungkin saja akan diundang dan bersedia ikut reuni 212 nanti. Sekali lagi, sasarannya bukan para tokoh 212, tapi tokoh pemerintah yang mungkin saja akan hadir.
Tujuannya tentu untuk menciptakan instabilitas yang diharapkan bisa memicu kerusuhan horizontal di ibukota. Jangan lupa bahwa Presiden Jokowi sendiri secara mendadak pernah hadir di aksi 212 tahun 2016 lalu. Kehadiran mendadak itu dilakukan tanpa proses sterilisasi lokasi.
Kalau terbukti bahwa kejadian hari ini adalah sebuah ‘test run‘ maka kewaspadaan di tahun depan itu sangat penting untuk dilakukan. Kenapa memilih even reuni 212? Karena mereka mengerti bahwa pengamanan yang berlebihan itu tidak akan pernah dilakukan oleh aparat keamanan, karena bisa dipolitisasi oleh kelompok 212.
Nah, dalam konteks ini, cukup masuk akal kalau jawaban atas kejadian ledakan pagi kemarin (3/12) dibuat simpang siur. Ini karena lokasi kejadian itu berada radius dalam ring 1 Istana, dan cukup mengganggu kalau ternyata kelompok teroris mampu memanfaatkan kelonggaran pengamanan di Ring 1. (AN)
Setia Waspada