Setidaknya ada lebih dari tiga agama yang ada di jazirah Arab sebelum Islam datang. Pertama adalah agama yang diklaim sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS. Sayangnya beberapa ajarannya telah dianggap banyak berubah. Bahkan beberapa ibadah mereka lebih sering menggunakan berhala sebagai bagian dari ritual peribadatan agama mereka.
Para penganut agama yang dikalim sebagai agama Ibrahim (millata Ibrahim) –yang disebut oleh al-Mubarakfuri sebagai Musyrikin– ini telah melakukan banyak penyimpangan. Mereka lebih banyak melakukan maksiat dan kejahatan-kejahatan yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Nabi Ibrahim. Jika memang benar bahwa agama yang mereka anut adalah agama Ibrahim maka agama Ibrahim saat itu tengah lemah dan rusak.
Al-Mubarakfuri dalam ar-Rahiqul Makhtum menjelaskan bahwa banyak hal-hal baru yang dilakukan oleh bangsa Arab sebelum datang Islam, salah satunya adalah menggunakan berhala sebagai sarana peribadatan dan persembahan. Beberapa perubahan dan hal-hal baru ini digagas oleh seseorang bernama Amr bin Luḥay.
Al-Mubarakfuri setidaknya mencatat enam hal penggunaan berhala dalam peribadatan bangsa Arab sebelum Islam datang.
Pertama, bangsa Arab menggunakan berhala sebagai persembahan dan memohon perlindungan. Tidak hanya itu, mereka juga mengeluh, menangis dan menjerit-jerit di depan berhala, memohon kepada berhala untuk mengabulkan hajat atau kebutuhan mereka dan mereka mengira bahwa berhala itu dapat menjadi penolong mereka serta mewujudkan semua hal yang mereka inginkan.
Hal ini menunjukkan bahwa berhala bagi mereka adalah sebuah tempat untuk berkeluh kesah, tempat berdoa dan meminta pertolongan. Berhala bagi orang Arab sebelum Islam datang adalah layaknya Tuhan sebagai rabb, yang membimbing dan mengabulkan semua hal diminta manusia.
Kedua, mereka menggunakan berhala sebagai tempat berhaji. Mereka mengelilingi berhala tersebut (ṭawaf), menghambakan diri mereka, dan sujud di depan berhala itu.
Ketiga, mereka mengatasnamakan semua ibadah mereka untuk berhala-berhala tersebut. Kadang mereka berkurban, menyembelih hewan dan dipersembahkan kepada berhala-berhala itu. Hal inilah yang disinggung dalam Al-Quran surat al-Maidah ayat 3 (wa mā dzubiḥa ʽala al-nuṣubi), yaitu tentang keharaman memakan binatang yang disembelih untuk berhala. Begitu juga yang disebutkan dalam Q.S al-Anʽam ayat 121, “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.”
Keempat, menjadikan berhala sebagai bagian dari ibadah. Mereka terkadang mengkhususkan makanan dan minuman yang mereka miliki untuk berhala-berhala mereka. Bahkan secara khusus mereka menyisihkan hasil pertanian dan ternak mereka untuk diserahkan kepada berhala-berhala tersebut. Dalam hal lain, mereka juga memberikan sedikit bagian untuk Allah SWT. Hal ini disebutkan dalam Q.S al-Anʽam ayat 136:
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَٰذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَٰذَا لِشُرَكَائِنَا ۖ فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَىٰ شُرَكَائِهِمْ ۗ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.
Kelima, salah satu bentuk ibadah untuk berhala adalah nadzar atas pertanian dan makanan. Mereka bernadzar bahwa beberapa hasil makanan dari pertanian mereka tidak boleh dimakan kecuali dikehendaki oleh mereka. Hal ini disebutkan dalam Q.S al-Anʽam ayat 138.
Keenam, mereka membuat baḥīrah (unta betina yang air susunya dipersembahkan untuk berhala dan siapapun dilarang untuk meminum air susunya), saibah (unta yang dilepaskan dan tidak dibebani apapun, tidak boleh dinaiki, dan tidak boleh digunakan apapun, unta itu memang khusus diberikan atau dipersembahkan untuk berhala), waṣīlah (unta yang dua kali melahirkan anak betina. Unta ini juga dilepaskan begitu saja untuk berhala), dan ḥām (unta jantan yang digunakan dalam batas waktu tertentu, setelah masa kerjanya habis, unta itu dilepaskan untuk berhala). Juga al-ḥāmī, yaitu kuda yang melahirkan 10 anak betina berturut-turut, maka ia dilepaskan begitu saja, tidak boleh dinaiki, atau diperas susunya.
Sebutan-sebutan beberapa hewan ini juga disinggung dalam Al-Quran surat al-Maidah 103,
مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Allah sekali-kali tidak pernah mensyari’atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.”
Mereka menganggap bahwa hewan-hewan tersebut adalah wasilah untuk beribadah kepada Allah Swt. Namun jelas disebutkan dalam Al-Quran bahwa hal itu tidak pernah disyariatkan secara langsung oleh Allah Swt.
Hal ini diakui oleh Saʽid bin Musayyab bahwa orang Arab pertama yang membuat-buat hal seperti ini adalah Amr bin Luḥay, sebagaimana telah disebutkan di atas sebagai pembaharu agama Ibrahim di jazirah Arab.
Tidak hanya itu, orang-orang Arab juga memiliki kebiasaan yang sangat aneh, selain beribadah dengan berhala sebagaimana disebutkan di atas. Salah satunya, mereka mengundi nasib mereka dengan undian, sebagai tempat mereka meminta pertimbangan dalam hal menikah, bekerja dan lain sebagainya. Dalam undian tersebut terdapat dua sisi, satu sisi bertuliskan “iya (naʽam)” sisi lainnya bertuliskan “La (tidak)”. Pekerjaan atau setiap sesuatu yang akan dilakukan didasarkan pada undian tersebut.
Wallahu a’lam.