Hidup dengan berbagai agama seperti di Indonesia memang terkadang merepotkan. Salah satunya adalah menyikapi interaksi umat muslim dengan makanan-makanan yang dianggap umat muslim haram, seperti anjing dan babi atau yang telah dicampur dengan bagian tubuh dari keduanya.
Sebab hal itu, umat Islam terkadang cenderung antipati dengan makanan yang tidak jelas halalnya, atau mungkin yang diolah oleh masyarakat non muslim. Padahal yang dihindari tidak jelas telah tercampur oleh bagian tubuh dari dua hewan itu atau tidak.
Islam yang mengkampanyekan bahwa ibadah itu mudah, menjadi tampak merepotkan. Padahal kerepotan itu tak lain muncul dari pemeluknya yang tidak memahami secara lengkap pandangan Islam terkait makanan yang dimungkinkan tercampur oleh benda najis.
Bahkan mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa Nabi Muhammad sendiri pernah memakan makanan olahan dari negeri pemeluk agama majusi tanpa menanyakan, apakah makanan yang hendak beliau makan itu halal atau tidak.
Dalam kitab syarah hadis berjudul Marqatul Mafatih syarah Misykatul Mashabih karya Mula ‘Ali al-Qari diungkapkan bahwa Imam at-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang jayyid, meski gharib:
أنه عليه الصلاة والسلام أتي بجبنة في غزوة فقال له عليه الصلاة والسلام أين يصنع هذا قال بفارس أي أرض المجوس إذ ذاك فقال عليه الصلاة والسلام ضعوا فيها السكين وكلوا فقيل يا رسول الله نخشى أن يكون ميتة فقال سموا الله وكلوا
Suatu kali, di sebuah peperangan, Rasulullah didatangi seseorang dengan membawa sepotong keju. Rasulullah kemudian bertanya, “Di mana makanan ini dibuat?” orang itu lantas menjawab, “Di negeri Persia”. Lelaki itu menerangkan makanan itu dibuat di daerah orang Majusi, atau para penyembah api. Lalu Nabi SAW pun bersabda, “Letakkan potong makanan tersebut, lalu makanlah!” Lalu ada yang protes: “Wahai Rasulullah, Kami takut makanan itu dibuat dari bangkai”. Nabi kemudian berkata: “Bacalah basmallah lalu makanlah”.
Dalam kitab Sabilul Huda war Rasyad karya Muhammad ibn Yusuf as-Shalihi as-Syami, ada bab tersendiri mengenai bahwa Nabi Muhammad pernah memakan keju buatan orang nasrani:
السابع: في أكله صلى الله عليه وسلم الجبن الذي من عمل النصارى. روى مسدد وأبو داود وابن حبان في صحيحة والبيهقي عن ابن عمر رضي الله تعالى عنهما قال: أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم بجبنة في تبوك من عمل النصارى فقيل: هذا طعام تصنعه المجوس فدعا بسكين فسمى وقطع. وروى الطيالسي عن ابن عباس رضي الله تعالى عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما فتح مكة رأى جنبة فقال: (ما هذا ؟) فقالوا: طعام يصنع بأرض العجم فقال: (ضعوا فيه السكين وكلوا). وروى الإمام أحمد ومحمد بن عمر الأسلمي والبيهقي عنه قال: أتي رسول الله صلى الله عليه وسلم بجبنة في غزاة تبوك، فقال صلى الله عليه وسلم: (أنى صنعت هذه ؟) قالوا: بفارس، ونحن نرى أنه يجعل فيها ميتة فقال صلى الله عليه وسلم: (اطعموا). وفي رواية: (ضعوا فيها السكين واذكروا اسم الله تعالى وكلوا).
Bagian ketujuh, menerangkan bahwa Nabi Muhammad memakan keju buatan orang nasrani.
Imam Musaddad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dalam sahihnya, serta al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibn ‘Umar Ra bahwa ia berkata: Rasulullah tatkala di perang Tabuk dibawakan sepotong keju buatan orang Nasrani. Lalu ada yang protes: “Ini makanan buatan orang Nasrani”. Kemudia Nabi meminta pisau lalu menyebut nama Allah dan memotong keju tersebut
Imam at-Thayalisi meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas ra bahwa Rasulullah salallahualaihi wasallam tatkala Fathul Makkah melihat sepotong keju. Beliau lalu bertanya: “Ini apa?” “Makanan yang dibuat di daerah non arab” jawab orang-orang. Nabi lalu berkata: “Potong dan makanlah.”
Imam Ahmad, Muhammad ibn ‘Umar al-Aslami, al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah didatangi dengan dibawakan sepotong keju di perang Tabuk. Lalu Rasulullah salallahualaihi wasallam bersabda: “Dimana ini dibuat?” mereka menjawab di Persia. Dan kami mengira bahwa ada campuran bangkai di dalamnya. Lalu Nabi berkata: “Makanlah”
Dalam satu riwayat: “Potong, sebut nama Allah, lalu makanlah”.
Hadis-hadis di atas dijadikan pijakan oleh para ulama’ fikih dalam menyikapi makanan-makanan yang diragukan kehalalannya, dalam artian ada prasangka bahwa makanan itu terkontaminasi oleh benda najis. Para ulama’ menyatakan, menghindari najis, entah itu pada benda dengan cara tidak menyentuhnya atau pada makanan dengan cara tidak memakannya, dilakukan pada sesuatu yang diyakini bahwa itu memang benar najis.
Kalau masih diragukan, seperti apabila benda atau makanan itu dibuat oleh orang non-muslim, maka tidak perlu dilakukan. Bahkan meski makanan itu sudah masyhur diolah dengan benda yang dihukumi najis. Dan hukumnya dikembalikan pada kaidah hukum, hukum asal.
Dalam kitab Fathul Mu’in karya Zainuddin Al-Malyabari diungkapkan:
(قاعدة مهمة): وهي أن ما أصله الطهارة وغلب على الظن تنجسه لغلبة النجاسة في مثله، فيه قولان معروفان بقولي الاصل. والظاهر أو الغالب أرجحهما أنه طاهر، عملا بالاصل المتيقن، لانه أضبط من الغالب المختلف بالاحوال والازمان، (وذلك كثياب خمار وحائض وصبيان)، وأواني متدينين بالنجاسة، وورق يغلب نثره على نجس، ولعاب صبي، وجوخ اشتهر عمله بشحم الخنزير، وجبن شامي اشتهر عمله بإنفحة الخنزير. وقد جاءه (ص) جبنة من عندهم فأكل منها ولم يسأل عن ذلك. ذكره شيخنا في شرح المنهاج.
Kaidah penting, yaitu benda yang asalnya suci dan muncul prasangka kuat terkena najis sebab umumnya bersinggungan dengan najis, maka dalam menyikapinya ada dua pendapat yang dikenal berdasar dengan kaidah hukum asal. Dan yang dzahir atau yang umum, yang paling unggul adalah yang menyatakan benda itu suci, berdasar hukum asal yang telah diyakini. Karena itu yang lebih dapat dideteksi daripada keumuman yang berbeda-beda bergantung keadaan serta waktu. Hal tersebut seperti halnya pakaian jenis selubung, pakaiannya orang yang haid serta anak kecil. Serta wadah-wadah yang dicetak dengan najis, kertas yang umumnya dihamburkan pada najis, air ludah anak kecil, kain yang masyhur dibuat dengan lemak babi, dan keju Syam yang mashur dibuat dengan infahah (semacam bagian perut) babi. Dan sudah ada riwayat Nabi pernah dibawakan sepotong keju buatan orang Syam lalu memakannya dan tidak menanyakan perihal infahah. Hal ini dituturkan oleh Imam Ibn Hajar dalam Syarah Minhaj.
Wallahu a’lam.