Bagaimana agenda Pemberantasan Korupsi selepas kisruh ‘KPK’ dan DPR? Sebelum kita berbicara itu, ada hal lain yang perlu diketahui. Jelang berakhirnya masa jabatan anggota DPR RI Periode 2015-2019, DPR ini menggenjot terget pogram legislasi (prolegnas). Berdasarkan target prolegnas prioritas tahun 2019 ada 55 RUU prioritas prolegnas. Namun, 55 RUU prolegnas prioritas terdiri dari 35 RUU usulan DPR, 4 RUU usulan DPD, dan 16 RUU usulan pemerintah, sayangnya 55 RUU tersebut justru diabaikan DPR.
Dalam perjalanannya DPR justru memilih membahas persoalan yang notabene tidak masuk daftar prolegnas. Dalam posisi ini DPR jelas melakukan mal administrasi. Beberapa Prioritas Proleknas (2019) yaitu; RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), Pertanahan, Masyarakat Hukum Adat/ DPR, KUHP, RUU MK/Pemerintah; Ekonomi kreatif, Wawsan Nusantara/DPD. Namun, menjadi hal yang aneh justru DPR menyidangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) diluar daftar prioritas Prolegnas.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengusulkan Revisi UU 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), sidang dilaksanakan pada hari Kamis, 5 September 2019. Usulan revisi tersebut langsung disetujui seluruh fraksi di DPR dalam tegat waktu sekitar 20 menit. Sidang ini menuai kontroversi ditengah masyarakat terutama dikalangan aktivis penggerak anti korupsi.
Baca juga: Reformasi Melahirkan KPK dan Politisi Terus Berusaha Mematikannya
Selama periode Jokowi revisi UU KPK ini sudah dilakukan selama 3 kali, namun selalu mendapat penolakan dari Publik. Pertama, Juni 2015 revisi UU KPK masuk agenda prolegnas, dan baleg sempat membahas draf revisi UU KPK. Draf tersebut mengatur pembatasan usia institusi KPK hanya sampai 12 tahun, memangkas kewenangan penuntutan, mereduksi kewenangan penyadapan, membatasi proses rekrutmen penyelidik dan penyidik secara mandiri hingga membatasi kasus korupsi yang dapat ditangani oleh KPK. Pada bulan Oktober DPR dan pemerintah bersepakat menunda pembahasan revisi UU KPK.
Presiden melakukan rapat konsultasi untuk menengahi polemic ini, kesepakatan dari rapat konsultasi adalah akan direvisi mengerucut menjadi empat hal saja, yakni pemberian kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3, pengaturan kembali kewenangan menyadap, keberadaan penyidik independen, dan pembentukan badan pengawas KPK.
Kedua, tahun 2016 DPR kembali memasukkan revisi UU KPK masuk prolegnas. Draf yang dibahas memang hanya mencakup empat poin, yakni pemberian kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3, pengaturan kembali kewenangan menyadap, keberadaan penyidik independen, dan pembentukan badan pengawas KPK. Karena besarnya gelombang penolakan publik, revisi UU KPK inisiatif DPR gagal untuk kedua kalinya.
Ketiga, 2019 diakhir masa jabatan DPR RI dan Presiden periode 2015-2019. setelah lama tidak terdengar secara mengejutkan tiba-tiba DPR menetapkan untuk merevisi UU KPK. seluruh anggota DPR yang hadir kompak menyatakan setuju RUU. Tak ada fraksi yang mengajukan keberatan atau interupsi. Tak ada juga perdebatan antara parpol pendukung pemerintah dan papol koalisi. Setelah sah menjadi RUU Inisiatif DPR, maka draf RUU tersebut langsung dikirim kepada Presiden Joko Widodo. Dan Presiden Jokwi mengirimkan surat presiden yang berisi menyetujui revisi UU KPK.
Catatan Pentingnya adalah DPR mengabaikan prinsip Transparansi dalam rapat pembahasan Revisi UU KPK, dan dalam waktu yang teramat singkat.
Selain hal diatas catatan lainnya adalah subtansi revisi UU KPK, di antaranya terkait pembentukan Dewan Pengawas KPK, dalam banyak kajian Dewan pengawas berpotensi melakukan intervensi kerja-kerja KPK. Selama ini di KPK sudah ada Dewan Pertimbangan yang juga melakukan pengawasan terhadap pimpinan dan pegawai KPK. Didalam struktur KPK juga sudah ada Direktorat Pengawasan Internal yang bekerja melakukan pengawasan di Internal. Dengan posisi KPK saat ini, maka kehadiran Dewan Pengawas bukan hal yang urgen karena bisa memaksimalkan keberadaan dua organ yang sudah ada dalam tubuh KPK yaitu Dewan Pertimbangan dan Deputi Pengawas Internal.
Penyadapan Pemberian kewenangan penyadapan kepada KPK justru mempermudah kerja KPK dalam mengungkap kasus korupsi. OTT yang dilakukan oleh KPK selama ini salah satunya juga hasild ari penyadapan. Pengurangan kewenangan ini mengancam agenda pemberantasan korupsi. Penyadapan juga dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan, tidak relevan jika hanya ditujukan ke KPK. DPR selbih baik fokus untuk melakukan Revisi UU Tipikor dan KUHP.
Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), salah satu pengaturannya adalah KPK harus menghentikan Penyidikan Perkara jika selama batas waktu yang ditentukan UU tidak dapat melengkapi dengan bukti yang kuat. KPK tidak perlu diberi kewenang penghentian perkara, karena ini akan berdampak pada konflik kepentingan. Kewenangan ini akan membuka ruang permainan kasus.
Siapapun kita, selama menjadi bagian dari bangsa Indonesia semestinya memiliki semangat yang sama yaitu mendukung agenda pemberantasan korupsi berjalan lancer, memperkuat institusi KPK sebagai garda terdepan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Pertanyaannya, pedulikah kita dengan agenda pemberantasan korupsi? Bersepakatkah kita dengan penguatan institusi KPK? Dan masih banyak pertanyaan lain yang bisa kita ajukan.