Al-Hujwiri dalam kitab Kasyful Mahjub mengetengahkan pandangan menarik tentang posisi kenabian dan kewalian, yakni, bahwa puncak kewalian ialah awal kenabian (ghayatul wilayah bidayatun nubuwwah). Pandangan al-Hujwiri yang merupakan teoretikus tasawwuf Sunni ini jelas sangatlah kontroversial karena membuka jalan bagi adanya klaim kenabian pasca Nabi Muhammad SAW. Dari pandangan ini, paling tidak kita berimplikasi pada adanya dua jenis kenabian: nabi secara fitrah dan nabi secara iktisab.
Nabi secara fitrah maksudnya ialah nabi yang diangkat dan dipilih oleh Allah secara langsung sedangkan nabi secara iktisabi ialah wali yang memiliki posisi paling tinggi (ghayatul wilayah). Nabi secara iktisabi dengan demikian dapat diperoleh melalui olah spiritual dengan riyadhah dan mujahadah secara terus menerus sampai mencapai derajat kewalian dan di puncak derajat kewalian, sang wali kemudian bisa juga disebut sebagai nabi. Inilah kira-kira yang bisa ditafsirkan dari pernyataan al-Hujwiri dalam kitabnya, Kasyful Mahjub. Tentu untuk membuktikan kebenaran tafsir ini kita harus merujuk ke beberapa karya yang mengulas teori-teori tasawwuf.
Al-Ghazali, konon, seperti yang diklaim Ibnu Arabi dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah (lihat awal jilid 3) pernah mencetuskan teori kenabian secara iktisabi dalam kitab Kimiya as-Sa’adah. Inti gagasannya ialah bahwa kenabian bisa saja muncul pasca nabi Muhammad SAW. Ciri kenabian ialah kenabian yang tidak mendatangkan risalah baru dan syariat baru, namun kenabian yang harus mengikuti nabi pembawa syariat seperti Harun dan nabi-nabi lainnya bagi Nabi Musa dan para wali-nabi bagi Nabi Muhammad SAW. Posisi kewalian pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, kata Ibnu Arabi, sama seperti posisi kenabian pada syariat nabi Musa.
Kesimpulan ini bisa kita pertegas lagi dengan mengetengahkan beberapa kutipan dari kitab al-Futuhat al-Makkiyyah, kitab yang paling lengkap dalam menjelaskan berbagai pandangan-pandangan kesufian, terutama tentang kenabian:
“Kenabian yang terputus pasca nabi Muhammad SAW maksudnya ialah yang membawa syariat baru, jadi yang terputus bukanlah kenabian itu sendiri (la maqamaha) . Selain itu, pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW tidak ada lagi syariat baru yang menghapus ajaran-ajaran syariatnya dan tidak ada pula syariat baru yang menambahkan syariat yang sudah ditetapkannya. Adapun makna hadis Nabi yang berbunyi: ‘sesungguhnya risalah dan kenabian sudah terputus jadi tidak ada rasul dan nabi setelahku’ maksudnya ialah tidak ada nabi setelahku yang membawa syariat yang bertentangan dengan syariatku, bahkan jika pun ada nabi, nabi tersebut akan tunduk pada syariat yang kubawa, tidak ada rasul setelahku maksudnya ialah tidak ada orang yang diutus kepada seseorang yang membawa syariat baru. Jadi, yang dimaksud terputus dalam hadis ini bukanlah kenabian tapi ajaran-ajaran syariat. ”
Kutipan di atas dapat kita telaah lebih jauh di kitab al-Futuhat al-Makkiyyah jilid 3, bab ke-73, bab Fi Ma’rifati Adadi Ma Yuhsal minal Asrar lil-Musyahid Indal Muqabalah wal Inhiraf.
Jadi poin penting yang diutarakan Ibnu Arabi dalam kutipan di atas ialah soal tasyri atau adanya syariat baru yang dibawa kenabian, yakni, ajaran yang tidak mungkin ada lagi pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Adapun kenabian itu sendiri sebenarnya tidak pernah terputus sama sekali. Ibnu Arabi kemudian mencontohkan Isa AS yang akan muncul kembali di akhir zaman. Isa AS ialah nabi dan rasul yang muncul pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW dan beliau ini tidak mendatangkan syariat baru, bahkan beliau tunduk kepada syariat yang dibawa nabi Muhammad SAW.
Pertanyaan yang muncul terkait pandangan Ibnu Arabi ini ialah apakah kenabian itu dengan sendirinya bisa dicapai oleh semua orang atau hanya oleh orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah? Kalau kita melihat secara lebih jeli lagi, logika yang dibangun oleh Ibnu Arabi terkait teori kenabian ini ialah kemungkinan bisanya semua orang mencapai posisi kenabian asalkan dengan proses mujahadah yang terus menerus. Ini artinya hanya orang-orang tertentu yang mampu mendidik dirinya untuk selalu bermujahadah (para wali misalnya).
Tentu yang dimaksud dengan dapat diusahakannya kenabian (iktisab nubuwwah) oleh orang-orang biasa yang menempuh hidup sufi ini ialah soal kemungkinan bisa tercapainya posisi tertentu oleh seseorang di sisi Allah tanpa perlu mendatangkan syariat baru bagi dirinya maupun bagi orang lain (sebut saja wali). Karena itu Ibnu Arabi menegaskan pandangannya demikian:
فالنبوة مقام عند الله يناله البشر وهو مختص بالأكابر من البشر، يعطى للنبي المشرع ويعطى للتابع لهذا النبي المشرع الجاري على سننه
“Kenabian merupakan maqam ruhani di sisi Allah yang dapat diperoleh seorang hamba. Kendati bisa diperoleh, kenabian hanya anugerah yang diperuntukkan bagi manusia-manusia spesial (al-akabir minal basyar); singkatnya, kenabian bisa diberikan kepada Nabi Pembawa Syariat dan bisa pula dikaruniakan kepada para pengikut Nabi Pembawa Syariat itu sendiri. Tentu, dengan catatan mereka selalu mengikuti ajaran-ajaran nabi pembawa syariat. ”
Singkatnya, kenabian bisa dicapai melalui dua jalan: pertama, lewat penunjukkan dan pemilihan langsung oleh Allah tanpa melalui proses mujahadah dan riyadhah. Ini nabi secara fitrah. Nabi secara fitrah ini juga terbagi menjadi dua: pertama, nabi pembawa syariat baru dan nabi yang tidak membawa syariat baru. Kedua jenis kenabian ini terjadi di era nabi-nabi sebelum nabi Muhammad SAW. Kedua, kenabian yang didapat lewat proses mujahadah dan riyadhah yang terus menerus sehingga mencapai posisi puncak kewalian. Posisi puncak kewalian ialah sama dengan posisi awal kenabian. Namun kenabian jenis ini hanya mendukung nabi pembawa syariat yang sudah ada dan ini terjadi di kalangan umat Nabi Muhammad SAW.
Intinya kenabian itu, bagi Ibnu Arabi dan juga bagi para sufi lainnya, masih selalu terbuka bagi semua pengikut Nabi Muhammad SAW. Yang tertutup dan yang terputus hanyalah kemunculan ajaran baru pasca nabi Muhammad SAW. Jadi kenabian orang-orang suci di kalangan umat nabi Muhammad SAW ialah kenabian yang mendukung syariat yang sudah ditetapkannya. Inilah tentunya yang dimaksud terbukanya pintu kenabian dalam pandangan al-Ghazali, al-Hujwiri dan Ibnu Arabi seperti telah disebut di atas.
Menariknya, teori kenabian ini pada tahap selanjutnya dikembangkan secara lebih kreatif lagi oleh sebagian Jama’ah Ahmadiyyah. Mereka menobatkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan inspirasinya ialah dari kitab-kitab yang ditulis al-Ghazali, al-Hujwiri dan Ibnu Arabi ini. Allahu A’lam.