Sejak kemarin gambar ini sliweran di lini masa saya. Gambar sebuah iklan yang provokatif. Pemasangnya adalah sebuah perusahan yang memproduksi hijab.
Kata-katanya pun tidak kurang kontroversial. “Korban tu ga wajib, yang wajib itu berhijab.” Namun yang plaing menohok adalah gambarnya: kepala seekor kambing yang diberi hijab.
Saya menunggu reaksi atas iklan ini. Sejauh ini tidak terlalu banyak. Banyak yang mencetuskan kejengkelannya. Banyak pula yang menganggap seabgai sebuah bentuk kelucuan. Ada juga yang segera menangkap bahwa ini hanyalah sebuah ‘marketing gimmick.’ Jadi sesungguhnya tidak ada persoalan di sana.
Tidak ada yang mempersoalkan dari sisi teologis, misalnya. Saya bukan ahli teologis Islam. Tapi sejauh yang saya tangkap, ini adalah pembenturan antara kesalehan secara sosial dan beragama secara pribadi.
Kita tahu, di dalam masyarakat Indonesia akhir-akhir ini sangat berkembang ajakan untuk memperkuat kesalehan pribadi (personal piety). Banyak orang dengan senang hati ‘mengingatkan’ orang lain akan pentingnya menjadi saleh dan menunjukkannya secara publik. Yang paling menonjol, tentu saja, dalam bentuk pakaian.
Itu satu persoalan yang hinggap dalam pikiran saya. Ada juga persoalan lain, yang dimensinya lebih luas. Seandainya saja, kambing berjilbab itu dibikin oleh orang non-Muslim, bagaimanakah reaksi sosial dan politiknya?
Saya tidak bisa memperkirakan bagaimana reaksinya. Namun, belajar dari pengalaman, saya membayangkan reaksinya tentu akan sangat dahsyat. Segala macam peraturan akan dikorek untuk mengabsahkan bahwa foto seperti ini adalah salah. Demonstrasi akan dibikin. Bila perlu berjilid-jilid. Politisi berkedok agamawan akan dengan cepat tanggap menyalakan kipasnya agar bara tribalisme cepat menjadi api.
Di balik semua ketenangannya, negeri ini sesungguhnya sangat terpecah belah. ‘Kita’ dan ‘mereka’ sangat kuat. Jika saja, ‘mereka’ yang melakukan maka kita harus mengganyangnya sampai mampus. Namun jika diantara ‘kita’ yang melakukan, ya satu-satunya yang bisa kita berikan adalah permakluman.
Di dalam kondisi ini juga tercermin beratnya menjadi minoritas. Artinya bila ‘kita’ dan ‘mereka’ itu tidak seimbang. Celakalah Sodara bila menjadi ‘mereka’ yang minoritas. Sodara harus tidak boleh salah, tidak boleh menyinggung ‘kita’ yang mayoritas. Peluang khilaf dalam minoritas sangat kecil.
Itulah. Saya tidak mendengar seruan boikot terhadap perusahan ini. Tidak ada demo. Politisi-politisi diam-diam saja. Mereka tahu, tidak ada bara disana yang perlu dikipas.
Namun, satu tahu, satu hal yang pasti adalah bahwa modal yang ditanam di perusahan ini akan berbiak dan berlipat dengan cepat jika penjualan akibat iklan ini naik. Dan, kau tahu, modal itu tidak mengenal agama. Kau tidak pernah tahu kalau perusahan ini juga membiakkan duit yang ditanam oleh golongan yang kau musuhi!