Siapa yang tak mau menjadi kepala negara, selain mendapatkan jabatan dan kehormatan tertinggi, juga gaji dan beberapa tunjangannya yang sangat menggiurkan. Lalu bagaimana dengan gaji Khulafaur Rasyidin? Apakah mereka mendapatkan gaji dan tunjangan seperti pemimpin sekarang?
Gaji Abu Bakar Sebagai Kepala Negara
Ketika menjadi khalifah, dewan Muslimin seperti ‘Umar dan Abu ‘Ubaidah menetapkan gaji Abu Bakar sebesar 250 dinar setiap tahun (kira-kira setara dengan 600 juta rupiah) ada yang mengatakan 6 ribu dirham (14,4 miliar rupiah) yang diambilkan dari Baitul Mal dan seekor kambing untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya setiap hari plus lemak dan susu.
Kambing tersebut digunakan sebagai jamuan para tamu negara, dan ia sendiri hanya berhak mendapatkan bagian kepala dan kaki kambing tersebut. Selain itu, Abu Bakar juga mendapatkan dana untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah, serta diminta memberikan baju-baju usang miliknya untuk ditukarkan dengan yang baru dari Baitul Mal (kas negara). (Ali al-Thanthawi, Abu Bakar Al-Shiddiq. Jeddah: Dar al-Manarah, 1986)
Pada awal kepemimpinannya, sebagaimana disebutkan Ali al-Thathawi, Abu Bakar mengalami kesulitan keuangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sehingga dengan penuh keterbukaan dan keterusterangan, ia mengatakan kepada rakyatnya bahwa perdagangannya tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Hal itu mengingat keluarganya yang begitu banyak, sehingga ia masih tetap berjualan di pasar-pasar Madinah.
‘Umar lalu mencarinya dan mendapati Abu Bakar sedang sibuk berjualan di pasar. ‘Umar menarik tangan Abu Bakar dan mengajaknya berbicara empat mata. Abu Bakar berkata, “Aku tidak memerlukan pemerintahan kalian. Kalian memberiku gaji yang tidak cukup untuk membiayai hidup keluargaku”.
“Kami akan menaikkan gaji anda,” jawab Umar.
Abu Bakar dengan penuh keterbukaan berkata, “Aku minta 300 dinar dan seekor kambing penuh”. Kata ‘Umar kembali, “Kalau segitu, saya keberatan.” Tiba-tiba ‘Ali bin Abi Thalib datang, lalu berkata kepada ‘Umar, “Berikanlah gaji itu untuk Abu Bakar!”
‘Umar bertanya, “Apakah engkau setuju dengan permintaan Abu Bakar?” ‘Ali menjawab, “Ya, saya setuju.”
Setelah disetujui, Abu Bakar berkata, “Anda berdua adalah orang-orang Muhajirin. Saya tidak tahu apakah yang lain juga akan setuju”.
Abu Bakar segera meninggalkan pasar, dan berpidato di hadapan orang banyak. Dalam pidatonya, ia berkata, “Wahai sekalian manusia, gajiku sebagai kepala negara adalah 250 dinar dan separoh kambing. ‘Umar dan ‘Ali menggenapkannya menjadi 300 dinar, dan seekor kambing utuh. Apa kalian ridla dengan gaji yang akan aku terima itu?”
Mereka semua serentak menjawab, “Ya, kami ridha.” Tiba-tiba ada seorang badui di samping masjid menyampaikan keberatannya, “Demi Allah, kami tidak rela. Lalu apa hak penduduk Badui?” Abu Bakar menjawab, “Jika orang-orang Muhajirin menyetujui sesuatu, maka kalian harus mengikutinya”.
Setelah mendapat kesepakatan dari rakyat, jumlah gaji yang diterima Abu Bakar setiap tahunnya adalah 300 dinar atau sekitar 720 juta rupiah, atau sekitar 60 juta per bulan dan seekor kambing utuh setiap harinya.
Walaupun banyak, Abu Bakar tidak mengambil semua gaji yang telah ditentukan untuknya. Ia hanya mengambil sedikit dari gajinya, sekadar cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya yang sangat sederhana.
Gaji ‘Umar Sebagai Kepala Negara
Selama menjadi kepala negara, sedikit sekali ‘Umar mengambil uang dari Baitul Mal. Tentu saja ia harus mendapat gaji atas jabatannya yang mulia itu. Masalahnya lalu dibawa ke dewan khusus untuk dibicarakan. Sebagian anggota bermusyawarah, di antaranya ‘Utsman bin ‘Affan dan Sa’id bin Zaid mengusulkan bahwa ‘Umar akan menerima gaji berupa makanan dan minuman setiap hari. Sedangkan Ali mengusulkan bahwa khalifah harus menerima gaji dari Baitul Mal dengan jumlah yang dapat mencukupi kebutuhan orang biasa, pendapat Ali ini kemudian disepakati.
Setelah disetujui, Umar menyatakan kegembiraannya seraya berkata, “Aku menempatkan diriku sebagaimana aku punya tanggungjawab terhadap anak yatim, jika kebutuhanku telah tercukupi, maka aku tidak akan mengambil fasilitas dari Baitul Mal, namun jika aku kekurangan, maka aku akan mengambil dan memanfaatkannya dengan cara yang baik.”
Namun ada riwayat bahwa Umar mendapat gaji sebesar 5000 dirham (1,5 miliar) pertahun, atau 100 juta perbulan. (Ali Muhammad Muhammad Al-Shallabi, Fashl Al-Khithab fi Sirati Amir Al-Mukminin ‘Umar bin Al-Khatthab. Kairo: Maktabah al-Tabi’in, 2002)
Gaji ‘Utsman Sebagai Khalifah
Selama menjabat sebagai kepala negara (khalifah), Utsman tidak mengambil gaji dari Baitul Mal, karena kekayaannya dari hasil bisnis sudah sangat cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Ia menafkahi istri dan anak-anaknya, serta orang di sekelilingnya dengan uang pribadinya.
Al-Thabari, seorang sejarawan Islam ternama mengutip pidato ‘Utsman sebagai berikut, “Ketika kendali pemerintahan dipercayakan kepadaku, aku pemilik unta dan kambing paling besar di Arab. Sekarang aku tidak mempunyai kambing atau unta lagi, kecuali 2 ekor untuk menunaikan ibadah haji. Demi Allah, tidak ada kota yang aku kenakan pajak di luar kemampuan penduduknya sehingga aku dapat disalahkan. Dan apa pun yang telah aku ambil dari rakyat aku gunakan untuk kesejahteraan mereka sendiri.
“Hanya seperlima bagian yang aku ambil untuk keperluan pribadi (yaitu yang dari Baitul Mal). Di luar itu tidak ada. Uang itu dibelanjakan untuk orang yang pantas menerimanya, bukan untukku, tapi untuk kaum Muslim sendiri. Tidak satu sen pun dana masyarakat disalahgunakan. Aku tidak mengambil apa pun dari dana tersebut. Bahkan apa yang aku makan, dari nafkahku sendiri.” (Ali Muhammad Muhammad Al-Shallabi, Taisir Al-Karim Al-Mannan fi Sirati ‘Utsman bin ‘Affan. Kairo: Dar al-Tauzi’, 2002)
Gaji ’Ali Sebagai Kepala Negara
Menurut sebagian riwayat, ’Ali tidak mau digaji bahkan secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana bantuan Baitul Mal, bahkan menurut yang lainnya ia memberikan 5.000 dirham setiap tahunnya. Kehidupan ’Ali sangat sederhana dan ia ketat dalam menjalankan keuangan negara.
Suatu hari, Aqil kakaknya datang untuk meminta bantuan uang, tetapi Ali menolak karena hal itu sama dengan mencuri uang milik rakyat. Aqil kemudian pergi menemui Mu’awiyah mengajukan permohonan yang sama dan dia diberi uang dalam jumlah yang besar. (Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: IIIT, 2001)
Wallahu a’lam.