Jika aku kangen mbakyuku Suwarti dan kakak iparku Purwanto, bukan mereka yang kutelpon, tapi keponakanku, Dewi. Kabar mereka berdua cukup kurekam dari keponakanku ini. Begitu pun ketika hampir setahun lalu mbakyuku tiada, semua kabar yang kuinginkan tentang keluarga ini kusadap dari keponakanku. Mendung dan cerahnya keadaan bisa kusimpulkan dari murung dan renyahnya keponakanku dalam
menerima telpon.
Belum lama ini, seperti biasa, aku menelponnya untuk soal serupa. Tapi telpon tak diangkatnya. Esok paginya baru muncul balasan, itupun lewat DM bahwa malam itu ia sengaja tak menerima telpon. “Aku kangen Ibu, Om,” tulisnya. Aku paham, telpon dariku hanya akan menyangatkan rasa kangennya. Karena ia juga tahu, kami berdua sedang kangen pada orang yang sama.
Sore kemarin, Candra Malik, sufi gondrong itu menelponku. Suaranya buru-buru. ‘Segera tindak rembang saja Mas. Nyai
Mus seda,” katanya dalam bahasa Jawa krama. Kabar ini kuendapkan beberapa saat. Terlalu tiba-tiba. Tak biasa Candra bersikap begitu. Dalam keseharian ia lebih banyak memposisikan sebagai adik pergaulan. Tapi kali ini nadanya adalah perintah dari seorang sufi. Benar, Gus Mus berduka.
Lalu sederet bayangan kehilangan bermunculan. Mulai dari yang jauh dan imajinatif. Mulai dari Soeharto saat kehilangan Tien. Habibie yang kehilangan Ainun sampai yang dekat: kakak ipar yang kehilangan mbakyuku. Kehilangan yang tampak jelas sebagai pukulan besar. Dan pihak yang kehilangan itu kini bertambah lagi. Sepasang yang nyaris selalu berdua ke mana pergi, ke mana pulang.
Lepas subuh aku sowan ke Rembang dengan kesiapan menemui pihak yang kehilangan. Tapi yang kutemui adalah Gus Mus yang memelukku seperti halnya memeluk hampir semua orang. Gagah. Tak mirip pihak yang kehilangan seperti yang kusiapkan di bayangan. Humor-humornya deras bermunculan. “Kalau begini baru kau ke rumahku,” katanya. Kalimat ini pun telah kuperlunak karena beliau mengucapkannya dalam bahasa Jawa blaka, hampir dengan keriangan sempurna. Sama sekali aku tak merespon gaya ini. Aku cemas jika sementara beliau tertawa aku malah berisiko kehilangan kata. Maka diam itulah bahasa terbaikku.
Selebihnya sambil menemani beliau menerima tamu yang mengalir aku merekam gaya dialog kami yang kusarikan secara acak dan kususun menjadi seolah-olah satu rangkaian semata-mata agar mudah diingat sebagai pelajaran setidaknya untuk diriku sendiri. Kurang lebih hasilnya:
“Ya sudah. Dia sudah pergi. Aku mencintai. Tapi yang memanggil adalah Yang Memiliki yang pasti lebih baik dalam mencintai. Sejak tadi aku belum menangis. Sibuk mendahulukan tamu. Entah nanti. Nanti kalau sudah saatnya kan nangis sendiri. Anak-anak menangis. Tetapi kuminta secukupnya. Sementara mereka menangis aku malah sempat memotret Ibu. Mirip tidur. Persoalan kami berdua hanya ini saja: ia suka membersihkan meja, aku suka mengotori. Meja bersih. Tapi catatanku hilang semua. Sejak tadi yang salah jenazah tak henti-henti. Silih berganti. Keren ya istriku hehe..”
Humor yang lupa kutertawai karena aku belum hidup di gelombang ini. Ia gelombang yang hanya dihuni oleh pribadi yang digambarkan Rendra: kemarin dan esok adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan sama saja. Dan itulah yang terperagakan dari pribadi yang sedang di dekatku ini.
Tak seluruh dialog bisa kutuliskan. Sebagian kusimpan untukku sendiri karena sebuah alasan. Di sela itu aku melihat Ulil, duduk di samping jenazah, mendaras doa, sendiri.