Institusi pendidikan Islam zaman Al-Makmun, termasuk kategori lembaga pendidikan Islam di era klasik. Dalam Typology of Institution of Learning, George Makdisi membagi institusi pendidikan Islam klasik berdasarkan kriteria mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah Islam, menjadi dua jenis, yaitu: institusi pendidikan inklusif atau terbuka terhadap pengetahuan umum dan institusi pendidikan eksklusif atau tertutup terhadap pengetahuan umum.
Sedangkan menurut Charles Michael Stanton, berdasarkan kriteria hubungan institusi pendidikan dengan Negara yang berbentuk teokrasi, setidaknya ada dua macam, yaitu: institusi pendidikan Islam formal dan institusi pendidikan informal (Stanton, 1994:122). Jadi dapat dikatakan bahwa institusi pendidikan diatas mengandung pengertian bahwa pada zaman Al-Makmun sudah terbentuk dalam sistem pendidikan Islam yang bersifat umum dan khusus.
Berdasarkan penggolongannya George Makdisi, institusi pendidikan Islam zaman Al-Makmun dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Pertama, Maktab atau Kuttab, yaitu institusi pendidikan dasar. Mata pelajaran yang diajarkan di kuttab adalah khat atau kaligrafi, Alquran, akidah dan syair. Menurut jenisnya, kuttab dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kuttab yang tertutup terhadap ilmu pengetahuan umum dan yang terbuka terhadap pengetahuan umum.
Kedua, Halaqah: artinya lingkaran. Proses belajar mengajar yang berkembang dalam halaqah sangat sederhana, yaitu seorang syekh sambil duduk di sebuah kursi memimpin sebuah pertemuan dan menerima murid- murid yang duduk di lantai setengah lingkaran di sekitarnya. Murid-murid tersebut mendengarkan dengan baik, terhadap apa yang di baca dari tulisannya maupun komentar-komentar terhadap catatan-catatan orang lain.
Sebagai ilustrasi, dapat dilihat dari halaqah Ibnu Sina yang diselenggarakan mulai saat fajar di pagi hari. Ia membacakan materi yang diajarkan dan berdiskusi sampai pertengahan waktu pagi (Stanton, 1994: 156).
Ahmad Syalabi juga menjelaskan bahwa al-Ghazali sebagai seorang yang telah mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat umum, mendirikan sebuah lingkaran para ilmuan-ilmuan di rumahnya. Hal ini memperoleh perhatian secara pribadi, di samping kemampuan dan popularitasnya menarik para murid di halaqahnya sendiri (Syalabi, 1945: 31).
Ketiga, Majelis. Sebuah institusi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan transmisi dari berbagai disiplin ilmu, sehingga majelis banyak jenisnya. Setidaknya ada tujuh macam majelis, yaitu: majelis al-Hadis, majelis at-Tadris, majelis al-Munazarah, majelis al-Muzakarah,majelis as-Syu’ara, majelis al-Adab, majelis al-Fatwa.
Al-Makmun sering mengadakan majelis pertemuan para ulama di istana, ia sering mengundang berbagai ulama diseluruh negeri dalam berbagai keahlian. Yang dibahas adalah seputar permasalahan agama. Ia sendiri yang memandu jalannya acara, di samping ada tata tertib majelis yang diadakannya, antar lain tidak boleh saling menjatuhkan, dan menjunjung tinggi profesionalitas kebenaran.
Keempat, Masjid yang berfungsi sebagai sarana pengajaran telah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sebagai otoritas penafsir wahyu Allah (Alquran). Seringkali kepada beliau, baik di dalam maupun di luar masjid, masyarakat menanyakan tentang berbagai hal menyangkut aqidah dan akhlak. Maka Nabi pun memberikan penjelasan-penjelasan, sementara pendengarnya membentuk lingkaran (halaqah) di depan beliau. Sepeninggalan Nabi, tradisi ini diteruskan oleh para sahabat. Pada masa ini materi pengajaran bertambah dengan pembicaraan tentang hadis- hadis Nabi.
Di samping itu, penyelenggara pendidikan tidak hanya terbatas pada masjid utama, tetapi juga di masjid- masjid biasa. Di Mesir, selain di masjid ‘Amr bin Ash (sebagai masjid utama), pengajaran juga dilakukan di masjid Ibn Tulun dan masjid al- Azhar, yang dibangun belakangan.
Bahkan lebih dari itu, pada tahun 988 M. khalifah al-Aziz dari dinasti Fathimiyah dan wazirnya, Ya’qub bin Kilis, telah menyelenggarakan 35 perkuliahan di masjid al-Azhar, dan masing-masing pengajar diberi rumah pada seperempat dari seluruh areal kompleks masjid. (Arief, 2002: 109-110).
Kelima, Ribath, yaitu tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan berkonsentrasi sepenuhnya untuk ibadah. Ribath pada asalnya adalah kamp, yaitu tempat tentara yang dibangunkan di perbatasan negeri untuk mempertahankan Negara dari serangan musuh. Ribath banyak ditemukan pada masa Bani Umayah dan Abbasiyah, didirikan di antar Negara Islam dan Negara musuh (Yunus, 1992: 95).
Seiring dengan berjalannya waktu, kemudian ribath tidak lagi menjadi tempat tentara yang berjuang untuk mempertahankan Negara, melainkan tempat orang-orang yang berjuang melawan hawa nafsunya, yaitu orang-orang Sufi. Mereka tinggal di ribath beribadah siang dan malam hari.
Dengan demikian maka arti ribath ialah tempat tinggal para sufi. Selain daripada beribadat dan membaca zikir mereka juga belajar agama di sana dari syekh kepala ribath. Dengan demikian ribath itu salah satu tempat belajar juga di samping masjid dll (Yunus, 1992: 96).
Keenam, Al-Manazil al-Ulama (rumah-rumah ulama) adalah tempat tinggal seorang guru yang digunakan untuk mentransmisi ilmu agama dan ilmu umum dan kemungkinan lain perdebatan ilmiah. Ulama yang tidak diberi kesempatan mengajar di institusi pendidikan formal akan mengajar di rumah-rumah mereka.
Mengutip pendapat Abuddin Nata, menjelaskan bahwa sebaik-baiknya tempat untuk belajar adalah di masjid, karena duduk di masjid untuk keperluan pendidikan dan pengajaran membutuhkan faedah guna menumbuhkan tradisi yang baik dan menghilangkan kebiasaan yang buruk (Nata, 2010: 155).
Hal tersebut kiranya berbeda dengan rumah yang privasinya selalu terjaga, tidak sembarangan orang dapat memasukinya, kecuali atas izin dari empunya. Oleh karenanya rumah hanya dapat dijadikan tempat belajar manakala ketika darurat saja.
Ketujuh, Toko buku berperan sebagai tempat transmisi ilmu dan Islam. Dalam sejarah tercatat, bahwa selama kejayaan khalifah Abbasiyah, toko buku berkembang pesat di wilayah Timur Tengah, dan peran pentingnya menyebar di seluruh wilayah Islam, khususnya melalui Afrika Utara dan semenanjung Siberia.
Sebelum perpustakaan dihancurkan oleh bangsa Mongol, Baghdad memiliki lebih dari 100 penjual buku. Para pembeli dan penjual manuskrip besar bagi kehidupan intelektual dalam sebuah masyarakat melalui karya-karya pilihan mereka yang diterjemahkan dari bahasa Yunani, Persia, atau bahasa-bahasa bangsa Timur, dan karya-karya bahasa Arab yang disalin dan di sediakan untuk umum (Stanton, 1994: 160).
Selain sebagai tempat menjual buku-buku dan manuskrip, toko buku juga sering dijadikan sebagai tempat halaqah untuk membahas dan mengkaji berbagai macam disiplin ilmu. Pemilik toko buku biasa berfungsi sebagai tuan rumah dan pemimpin halaqah tersebut. Ia mengundang para ilmuan yang ada di sekitarnya untuk melakukan diskusi tentang masalah-masalah intelektual dan keagamaan.
Bahkan tidak jarang ulama yang diundang untuk menyampaikan materi keagamaan dan berdiskusi dengan ilmuwan setempat. Proses pendidikan yang dilakukan oleh ulama dalam institusi informal toko buku memiliki tujuan yang amat berguna dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan menyediakan karya tulis, khususnya karya-karya filsafat dan sains Yunani klasik bagi masyarakat umum (Arief, 2002: 111).
Kedelapan, Observatorium adalah tempat kajian ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Guna mengembangkan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah, dibangun tempat untuk penelitian dan kajian ilmiah lainnya. Di zaman al-Makmun tempat ini digunakan sebagai tempat belajar mengajar, di mana siswa akan selalu aktif, seperti belajar memecahkan masalah, eksperimen, learning by doing, serta belajar menemukan sesuatu yang sifatnya ilmiah. Oleh sebab itu, kegiatan ini bukan hanya ada di kelas-kelas saja melainkan di lembaga pusat kajian ilmiah.
Kesembilan, Perpustakaan yaitu tempat koleksi buku dan tempat riset. Pada awalnya perpustakaan cenderung didirikan di rumah orang-orang kaya, bangsawan dan istana-istana para penguasa. Karena ajaran-ajaran Alquran memerintahkan individu-individu untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan menyediakan kekayaan yang dimilikinya bagi orang lain yang kurang beruntung, maka para hartawan muslim membiayai perpustakaan dan seringkali membukanya untuk para ilmuwan, juga untuk umum.
Kesepuluh. Zawiyah, yaitu tempat yang hampir menyerupai ribath, yaitu tempat untuk belajar, tetapi lebih kecil bangunannya dari ribath. Biasanya didirikan di padang sahara di tempat-tempat yang sunyi senyap, terjauh dari pada penduduk yang ramai (Yunus, 1992: 96).
Berbeda pandangan dengan Mahmud Yunus, Abuddin Nata mengatakan, “Zawiyah adalah tempat yang berada di pinggiran masjid yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan bimbingan spiritual, wirid, dzikir, mujahadah, muhasabah, dan istighasah untuk menyucikan diri dan memperoleh penghayatan dan pengalaman batin, serta merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya, yang selanjutnya memancar dalam sikap dan perbuatan terpuji berupa akhlak mulia,” (Nata, 2010: 206).
Jadi zawiyah merupakan tempat yang kecil di pinggiran masjid dan digunakan untuk bertahanus atau menyendiri agar dapat menemukan pengalaman spiritual batin.
Wallahu a’lam.